HomeNalar PolitikSindir Jas, Jokowi Plin-plan?

Sindir Jas, Jokowi Plin-plan?

Capres petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak pendukungnya untuk mengenakan pakaian putih saat datang ke TPS di hari pencoblosan. Mantan Wali Kota Solo tersebut mengatakan bahwa pakaian putih merupakan jenis pakaian yang murah dan banyak dimiliki oleh orang Indonesia.


PinterPolitik.com

“To spit liquor in the faces of this democracy of hypocrisy,” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat

[dropcap]D[/dropcap]alam kampanyenya di Dumai, Riau beberapa waktu lalu, Jokowi mengajak pendukungnya untuk mengenakan pakaian putih pada 17 April nanti. Namun, capres nomor 01 tersebut turut mengatakan bahwa jas merupakan pakaian yang mahal dan bergaya khas Eropa dan Amerika – hal yang seolah menyindir Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menggunakan jas dalam foto resmi serta penampilan dalam debat .

Pihak Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin turut mengkonfirmasi kembali pernyataan tersebut. Sekretaris TKN Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristiyanto menjelaskan bahwa pakaian putih melambangkan kebersihan dan segala hal yang baik, dan menambahkan bahwa warna hitam identik dengan politik fitnah.

Pihak Badan Pemenengan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga pun merasa tersindir dengan pernyataan Jokowi tersebut. Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandiaga, Priyo Budi Santoso mengritik bahwa pernyataan tersebut merupakan pemikiran kolonial dan mempertanyakan Jokowi yang juga beberapa kali mengenakan jas di berbagai kegiatan kepresidenan.

Selain mempertanyakan pernyataan Jokowi, pihak BPN Prabowo-Sandiaga juga memberikan justifikasi atas alasan penggunaan jas oleh pasangan calonnya dalam Pilpres 2019. Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga Suhud Alynudin misalnya menjelaskan bahwa Prabowo-Sandiaga mengenakan jas sebagai pakaian resmi dalam surat suara karena menganggap Pemilu sebagai kegiatan resmi.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah terkait latar belakang pernyataan Jokowi. Mengapa Jokowi menyindir penggunaan jas yang identik dengan Prabowo-Sandi? Lalu, apakah serangan tersebut justru salah tempat karena Jokowi sendiri juga pernah mengenakan jas?

Sindiran Propaganda?

Dengan memberi label jas sebagai gaya pakaian khas Eropa dan Amerika, Jokowi memang secara tidak langsung menyindir Prabowo-Sandiaga yang kerap kali mengenakan jas. Sementara dirinya yang sering terlihat mengenakan pakaian putih dan sederhana secara tidak langsung ingin mengesankan kepada publik sebagai sosok yang dekat dengan rakyat.

Pemberian label citra ini memang sering kali digunakan dalam dinamika dan kompetisi politik. Dalam studi propaganda, teknik ini disebut sebagai propaganda transfer atau pengasosiasian.

Magedah E. Shabo dalam bukunya yang berjudul Techniques of Propaganda and Persuasion menjelaskan bahwa teknik transfer merupakan metode yang memindahkan perasaan dan asosiasi atas suatu gagasan, simbol, atau sosok tertentu pada gagasan, simbol, dan individu lain.

Propaganda transfer ini sering kali digunakan dalam iklan, seperti iklan obat batuk dan iklan obat sakit kepala yang mengasosiasikan produknya dengan manfaat herbal dan tradisional melalui pelibatan individu dan tema tertentu – misalnya dengan budaya pengobatan tradisional Tiongkok.

Baca juga :  2029 "Kiamat" Partai Berbasis Islam? 

Sementara dalam politik, propaganda transfer digunakan untuk mengasosiasikan aktor politik dengan sesuatu hal yang dianggap baik untuk memperoleh dukungan atau hal lain yang buruk untuk menegasikan lawan politik.

Gagasan dan simbol pakaian pun tidak luput dari propaganda transfer oleh tokoh-tokoh politik. Di Jerman misalnya, para politisi mulai jarang menggunakan pakaian jas formal karena pakaian tersebut identik dengan orang yang berkharisma.

Tina Brown, penulis biografi Putri Diana, menjelaskan bahwa budaya anti-kharisma menjadi sering digunakan akibat adanya trauma atas masa lalu Jerman, yaitu terkait sosok Adolf Hitler – pemimpin Jerman pada Perang Dunia II yang kontroversial dengan kebijakan genosidanya.

Impresi atas kandidat politik dapat membuat pemilih melihat kandidat tersebut berdasarkan karakteristik penampilan, gaya bahasa dan perilaku non-verbal. Share on X

Dengan kata lain, pakaian-pakaian dengan gaya kharismatik menjadi lebih dianggap negatif karena terasosiasi dengan asumsi buruk di Jerman terhadap gaya Hitler dan sejarah politiknya yang kelam.

Lalu, bagimanakah asosiasi asumsi terhadap penggunaan setelan jas di Indonesia?

Guna melihat asosiasi citra setelan jas di Indonesia, kita perlu melihat juga sejarah setelan jas itu sendiri. Akar kelahiran setelan jas dimulai pada awal abad ke-17 dengan penggunaannya oleh kelompok bangsawan dan kelas atas Eropa yang umumnya dikenakan bersama wig. Jas pun mulai dikenakan sebagai pakaian kerja secara umum pada abad ke-20.

Di Indonesia, jas turut tersebar karena pengaruh dari kolonisasi Belanda. Penggunaan setelan jas juga hanya terbatas pada kelompok bangsawan dan kelompok terdidik. Pada masa Hindia Belanda, pakaian jas menjadi simbol kelas atas, sedangkan pakaian khas Jawa seperti sarung identik dengan kelompok bawah inlander – istilah Belanda untuk orang pribumi.

Akibatnya, banyak tokoh-tokoh intelektual dan pejuang Indonesia yang mengadopsi gaya berpakaian Eropa tersebut agar mendapat perlakuan yang lebih baik dari Belanda. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Haji Agus Salim kerap mengenakan jas meskipun dipadukan dengan beberapa atribut pakaian khas Indonesia seperti sarung dan peci.

Dalam konteks Pilpres 2019, apabila dilihat dari sejarah setelan jas, bisa jadi Jokowi menggunakan persepsi masyarakat untuk memberikan label elite pada Prabowo-Sandiaga. Di sisi lain, Jokowi juga memberikan citra sebagai pemimpin yang merakyat dengan pakaian putih.

Tentu, pemberian citra ini dapat memengaruhi diskursus di Pilpres 2019. Christ’l De Landtsheer dan kawan-kawan dalam tulisannya yang berjudul Political Impression Management menjelaskan bahwa impresi atas kandidat politik dapat membuat pemilih melihat kandidat tersebut berdasarkan karakteristik penampilan, gaya bahasa dan perilaku non-verbal.

Pengaruh impresi dalam Pemilu pun dapat dijelaskan dengan kemenangan Sebastian Kurz di Austria. Kanselir Austria yang berusia 32 tahun tersebut menggunakan strategi branding yang cukup mumpuni. Dalam hal pakaian, Kurz selalu berpenampilan menarik dengan mode yang berlawanan dengan cara berpakaian politisi konvensional.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Jokowi Plin-plan?

Terlepas dari pernyataannya mengenai jas adalah gaya khas Eropa dan Amerika, Jokowi memang dikenal dengan gaya berpakaiannya yang tidak biasa. Beberapa kali, gaya berpakaian Jokowi menjadi pembicaraan publik.

Salah satu pakaian unik yang pernah ramai dibicarakan adalah jaket bomber hijau yang dikenakannya saat menggelar suatu konferensi pers. Ramainya pembicaraan tersebut membuat banyak warganet ingin memiliki jaket serupa.

Kini, dengan kritikannya terkait jas, publik tentu bertanya-tanya, apakah hal itu berarti Jokowi benar-benar tidak mengenakan pakaian formal seperti jas sama sekali?

Selain jaket dan kemeja putih, Jokowi sebagai presiden tentu perlu mengenakan setelan jas lengkap dalam berbagai acara. Seperti pernyataan Suhud, Jokowi juga terlihat mengenakan setelan jas lengkap dalam foto kepresidenannya.

Dalam beberapa kegiatan internasional juga, Jokowi sendiri tetap mengenakan pakaian formal dengan setelan jas lengkap seperti pemimpin-pemimpin negara lain. Pada KTT APEC 2017 di Vietnam misalnya, Jokowi juga tampak berpose di depan Presiden AS Donald Trump dengan mengenakan setelan jas lengkap.

Jokowi pun seharusnya bisa konsisten menggunakan pakaian-pakaian sederhana yang selalu digaungkannya. Perdana Menteri India Narendra Modi, misalnya, jarang terlihat mengenakan setelan jaket jas meskipun harus menghadiri kegiatan-kegiatan internasional. Modi pun sempat terlihat mengenakan pakaian formal bandhgala khas India yang bertuliskan namanya sendiri ketika menemui Presiden AS Barack Obama pada tahun 2015.

Selain Modi, terdapat juga raja Arab Saudi yang secara konstan tidak mengikuti gaya pakaian Barat. Ketika menemui Presiden Jokowi dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2017, Raja Salman bin Abdulaziz al Saud tetap mengenakan gamis khas Timur Tengah.

Selain penggunaan jas oleh Jokowi di forum internasional, pernyataan seorang mantan sekretaris daerah Solo juga menjelaskan bahwa penggunaan pakaian sederhana hanyalah pencitraan karena Jokowi juga sering kali mengenakan setelan jas saat menjabat sebagai Wali Kota Solo, bahkan dalam momen seperti blusukan di tempat perbaikan jalan dan lain sebagainya.

Uniknya lagi, masyarakat yang sempat diramaikan oleh aksi stuntman Jokowi yang berkendara sepeda motor besar yang ditampilkan dalam Pembukaan Asian Games 2018 juga menunjukkan bahwa sang presiden mengenakan setelan jas lengkap.

Hal ini menunjukkan konteks pernyataan Jokowi di hadapan publik yang cenderung tidak konsisten dengan apa yang sebelumnya pernah ia lakukan. Dengan pemberian citra yang berbeda-beda ini, bisa jadi publik pun semakin bingung dengan citra yang ingin dibangun sang petahana itu jelang Pilpres 2019.

Pada akhirnya, mungkin benar apa yang dikatakan Eminem di awal tulisan, demokrasi kini dipenuhi dengan “topeng-topeng” yang ditampilkan oleh pemimpin. Lantas, bagaimanakah kita bisa memilih seseorang sebagai pemimpin apabila orang tersebut cenderung tak konsisten dalam tutur kata dan tindakan? (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?