Mungkinkah keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menjual saham bir yang dimiliki Pemprov DKI menunjukkan adanya agenda Islamis yang dibawanya? Atau hal ini hanya faktor pemenuhan janji politik kampanye dan alasan ekonomis semata?
PinterPolitik.com
“Leave the politics to the politicians. And leave the beer for the publicans” ~ Anonymous
[dropcap]M[/dropcap]inuman setan, minuman keras, haram dan laknat. Begitulah kira-kira stigma bir dan minuman keras lainnya menurut nilai moral yang berlaku bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa minuman beralkohol menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah peradaban umat manusia, tak terkecuali di Indonesia.
Chelsea Follett dalam tulisannya mengatakan bahwa alkohol sangat berjasa membantu membentuk peradaban umat manusia. Bahkan keberadaanya lebih dulu ada dibandingkan dengan kopi, minuman yang kini juga menjadi primadona banyak orang.
Anggur palem, yang masih populer di beberapa bagian Afrika dan Asia saat ini, diperkirakan berasal dari tahun 16.000 SM. Sementara itu, minuman beralkohol Chili yang dibuat dari kentang liar bahkan sudah ada sejak abad ke-13 SM. Bangsa Tiongkok pun juga telah minum anggur beras sejak setidaknya tahun 7.000 SM.
Lepas saham bir tunjukkan Anies islamis? Share on XSejarah tersebut menunjukkan bahwa peradaban manusia begitu familiar dengan minuman beralkohol. Dalam naskah Nagarakretagama (1365) misalnya, dikisahkan minuman beralkohol seperti tuak nyiur dan arak kilang menjadi hidangan utama sebuah jamuan agung di keraton Kerajaan Majapahit. Minuman berupa arak juga digunakan sebagai tanda pembukaan perayaan pesta panen raya oleh raja pada masa itu.
Masyarakat Bali juga menggunakan minuman beralkohol dalam ritual Bhuya Yadnya untuk mengusir roh jahat. Ada pula tradisi ritual yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Doko, Kediri yang juga menggunakan minuman beralkohol sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.
Serupa dengan masyarakat di pulau Jawa dan Bali, penduduk di Indonesia timur juga menggunakan minuman beralkohol dalam ritual adatnya. Masyarakat Lombok kerap menghidangkan Arak saat menyambut tamu, demikian halnya masyarakat Papua yang juga menghidangkan Sopi sebagai simbol persaudaraan.
Meskipun memiliki rekam jejak budaya yang cukup luas, kehadiran minuman beralkohol kerap kali menjadi bulan-bulanan masyarakat karena stigmanya yang negatif, terutama ketika konsumsi berlebihan atas minuman ini menyebabkan kemabukan serta melahirkan masalah-masalah sosial.
Kondisi ini pun juga sering kali dimanfaatkan oleh para politisi untuk mendulang simpati masyarakat. Isu bir dan berbagai macam minuman beralkohol, kerap kali memunculkan stigma moral yang cukup lekat dengan nilai-nilai agama.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, setelah menggulirkan bola panas isu pelepasan saham bir PT Delta Djakarta yang merupakan pemegang lisensi produksi dan distribusi beberapa merek bir lokal seperti Anker, maupun merek internasional seperti San Miguel dan Carlsberg. Sengkarut isu ini pun bertambah runyam karena mendapatkan benturan di sana-sini.
Selain menimbulkan konflik baru antara Anies dengan DPRD DKI Jakarta yang mengaku kecewa dengan rencana mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, kasus ini juga menyeret ormas Front Pembela Islam (FPI) yang mendesak DPRD menyetujui rencana tersebut.
Tentu menarik menelaah kebijakan Anies ini. Setelah mendorong penutupan Alexis pada awal 2018 lalu , apakah ada maksud lain dari upaya penjualan saham perusahaan bir tersebut?
Siapa Yang Untung dan Rugi?
Rencana pelepasan saham bir PT Delta Djakarta kini menuai polemik dari berbagai pihak. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra datang dari beberapa fraksi di DPRD DKI Jakarta seperti PDIP, Nasdem, Hanura hingga PPP.
Isu ini sebenarnya bukan hal yang baru. Rencana ini memang merupakan salah satu janji kampanyenya ketika maju pada Pilgub di 2017 lalu.
Anies berdalih, pelepasan saham bir ini tak memiliki dampak kerugian bagi DKI Jakarta. Namun, mungkin saja kebijakan Anies ini akan membuat gerah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Memang, DPRD DKI Jakarta menolak rencana Anies tersebut. Hal ini salah satunya disampaikan oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi. Politisi PDIP itu menyatakan bahwa keputusan Anies ini terkesan grasak-grusuk dan tak berdasar.
Kami sudah minta timses bersama masyarakat untuk memenangkan Parlemen di tingkat Provinsi (DPRD), dengan memenangkan PKS DKI segera putus hubungan dgn saham bir. Kami TEGAS terhadap hal2 perusak negeri !.
PKS bersama Warga DKI, Kompak ?.#2019GantiPresiden #2019LepasSahamBir pic.twitter.com/Su8iaJY5xS
— Mardani (@MardaniAliSera) March 11, 2019
Dalam konteks penolakan DPRD terhadap rencana Anies ini, bisa saja pemerintah DKI akan kehilangan kontrolnya terhadap pasar bir.
Asumsi tersebut bukan tanpa alasan, mengingat perusahaan-perusahaan bir hari ini beroperasi di bawah status “industri yang dilindungi” oleh kebijakan pemerintah.
Memang secara historis, Pemprov DKI Jakarta telah memiliki saham Delta Djakarta sejak tahun 1970-an, ketika Ali Sadikin berkuasa sebagai Gubernur saat itu.
Adapun saham Pemprov DKI Jakarta di Delta Jakarta sebesar 26,25 persen dimiliki oleh dua institusi, yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Badan Pengelolaan Investasi Penyertaan Modal DKI Jakarta (BPIPM).
Sedangkan susunan pemegang saham lainya adalah San Miguel Malaysia sebesar 58 persen, dan sisanya dimiliki masyarakat sebesar 18 persen.
Menurut praktisi value investing dan angel investor, Chris Angkasa, dari sudut pandang ekonomi, “industri yang dilindungi” ini berdampak pada persediaan (supply) yang terbatas dibandingkan dengan permintaan atau demand, meskipun konsumen bir di Indonesia dapat dikatakan masih rendah.
Hal ini merupakan dampak dari penutupan keran perizinan asing untuk produksi minuman beralkohol di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Penanaman Modal. Selain itu, juga karena minuman beralkohol tidak populer di kalangan penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Akibatnya, produsen lokal, dalam konteks ini Delta Djakarta, dan beberapa perusahaan lain seperti Multi Bintang dan Bali Hai, dapat menikmati keuntungan di atas rata-rata dikarenakan persaingan yang terbatas.
Selain itu, Pemprov juga bisa menikmati keuntungan tersebut dari hasil cukai atau pajak yang tinggi untuk industri ini.
Oleh karenanya, wajar jika kebijakan ini mengundang pro kontra di internal pemerintahan DKI Jakarta sendiri. Pada tahun 2018 lalu, Pemprov DKI Jakarta mendapatkan deviden mencapai Rp 48 miliar dari kepemilikan saham bir tersebut. Mungkin saja, memang ada pihak-pihak yang tengah terancam atas kebijakan Anies ini.
Agenda Islamis Anies?
Sekilas, kebijakan Anies tentang pelepasan saham tersebut memang heroik, mengingat hal-hal yang berbau moralitas merupakan isu yang sangat populer di kalangan masyarakat.
Tak hanya menyoal bir, Anies juga pernah menggegerkan publik dengan kebijakan penutupan pusat hiburan malam, Alexis. Pasalnya, tempat tersebut diduga menjadi sarang prostitusi dan human trafficking Jakarta.
Akibatnya, rencana pelepasan saham bir ini lebih lekat dengan citra moral dibanding dengan esensi sesungguhnya. Dalam konteks ini, penting untuk melihat kembali latar belakang politik Anies untuk memahami apa yang terjadi.
Ini contoh hoax yang terus ditebar tanpa henti, padahal F-PPP DKI sejak gubernur lalu sdh minta cabut saham bir.
Buat yg naikin hashtag, tanya nih, bgmn hukum pilih pemimpin yg gak sholat 5 waktu & gak bisa baca Qur'an? Semoga habis baca twit ini, ada undangan sholat 5 waktu ? pic.twitter.com/yP08Nx0klf— M. Romahurmuziy (@MRomahurmuziy) March 11, 2019
Naiknya Anies dan Sandiaga Uno ke tampuk kekuasaan puncak di ibukota tak terlepas dari rekam jejaknya menggandeng kelompok-kelompok Islam konservatif yang tergabung dalam gerakan 212.
Kala itu, ia disebut-sebut memanfaatkan momentum “kepleset lidah” Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi bulan-bulanan karena dituduh menistakan agama. Hingga akhirnya, Anies Baswedan, dianggap sebagai representasi para kelompok Islam ini dan berusaha menggaet pemilih, salah satunya dengan janji penjualan saham perusahaan bir tersebut.
Dengan label sebagai bagian dari kelompok Islamis, beberapa kebijakan publik sang Gubernur akhirnya menjadi sorotan dan memunculkan skeptisme tentang populisme Islam.
Secara teoritis, populisme Islam merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, di mana populisme dan doktrin agama menjadi sebuah gerakan politik kelompok Islam. Dengan merebut ruang-ruang wacana publik dalam mengusung dan menyuarakan agenda-agenda tertentu, populisme Islam ini berhasil mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, terutama pasca Aksi Bela Islam 212.
Maka tak salah jika Anies kini kembali menggaungkan kebijakan populis Islamnya dan kembali menggandeng kelompok Islam konservatif. Sedangkan yang pro terhadap kebijakan pelepasan saham bir ini, misalnya dari Gerindra dan PKS, serta FPI yang sempat melaksanakan demonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta.
Dukungan FPI terhadap rencana pelepasan saham bir ini menunjukkan bahwa Anies tersandera citra sebagai sosok populis Islam.
Sebagai bentuk dari agenda populisme Islam, bisa saja isu moralitas yang dimainkan dalam pelepasan saham bir ini akan berdampak secara politis baik bagi Anies dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Dengan realitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa isu pelepasan saham ini juga bagian dari agenda populisme Islam Anies. Di satu sisi, jelang Pilpres 2019, isu ini bisa saja menjadi momentum bagi partai politik tertentu, misalnya saja Gerindra dan PKS yang mendukung kebijakan Anies ini untuk mendapatkan tuah populisme Islam lewat perkara saham perusahaan bir itu.
Dengan mudah, hal ini bisa saja menggulung popularitas partai-partai yang menolak rencana tersebut, terutama di hadapan pemilih muslim.
Pada akhirnya, perkara bir ini tidak hanya menjadi isu isapan jempol semata karena melibatkan ranah moralitas yang pada kadar tertentu memiliki dimensi politik yang cukup rawan untuk dimainkan. Lalu mungkinkah keputusan Anies akan membawa keuntungan politik atau justru merugikan baginya? Menarik untuk ditunggu. (M39)