Sakit yang menimpa Bu Ani Yudhoyono berpotensi membuat sang suami, SBY harus menepi untuk beberapa saat dari panggung politik. Sekalipun memang berlebihan melihat konteks ini secara politik, namun dengan waktu pemungutan suara yang semakin dekat, beberapa pihak menyebutkan bahwa hal ini sedikit banyak akan berdampak bagi Prabowo Subianto. Pasalnya, sosok SBY sangat vital dalam koalisi pemenangan Prabowo, berbekal statusnya sebagai mantan presiden serta kharisma politiknya yang akan sangat menentukan hasil akhir kampanye elektoral.
PinterPolitik.com
“This is no time for ease and comfort. It is time to dare and endure”.
:: Winston Churchill ::
[dropcap]P[/dropcap]residen ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini harus berhenti sejenak dari aktivitas politik jelang Pemilu 2019. Pasalnya, sang istri, Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono tengah terbaring sakit.
Mantan Ibu Negara itu harus dirawat di Singapura karena menderita kanker darah. SBY dalam sebuah rekaman video menyampaikan secara langsung hal tersebut. Akibatnya, sang jenderal dipastikan akan menepi untuk beberapa saat dari aktivitas kampanye politik, termasuk untuk pemenangan pasangan yang didukungnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Prabowo sendiri telah mengunjungi SBY di Singapura dan mendoakan kesembuhan Bu Ani. Sementara, Badan Nasional Pemenangan (BPN) Prabowo-Sandi dalam pernyataan resminya meminta SBY tidak perlu memikirkan persoalan kampanye Pilpres dan fokus pada proses penyembuhan Bu Ani.
Selama kurun waktu 2 periode SBY berkuasa, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 6 persen – sekalipun sempat terguncang krisis di 2008. Share on XHal serupa juga disampaikan oleh Sandiaga Uno, yang menyebutkan bahwa SBY memang harus fokus pada penyembuhan sang istri.
Sekalipun dianggap berlebihan untuk dikaitkan dengan persoalan politik, namun konteks cobaan yang harus dihadapi keluarga SBY lewat sakitnya Bu Ani ini tentu saja punya dampak yang besar jelang Pilpres.
Pasalnya, jika pada akhirnya SBY tidak bisa berkampanye untuk Prabowo-Sandi, beberapa pihak menyebut akan ada dampak yang cukup terasa bagi jalan menuju kemenangan pasangan tersebut.
Apalagi, sosok SBY sebagai mantan presiden punya kharisma kampanye politik yang besar – hal yang tidak bisa digantikan secara kualitas jika hanya bergantung pada Partai Demokrat semata sebagai entitas parpol koalisi Prabowo-Sandi. Pertanyaannya adalah seberapa besar dampak politik yang akan terasa dan apakah mungkin hal ini bisa mempengaruhi hasil akhir Pilpres nanti?
Jika SBY Tak Kampanye
SBY adalah Partai Demokrat, dan Partai Demokrat adalah SBY. Kedua entitas tersebut memang tidak terpisahkan. Bahkan citra politik Demokrat telah melekat utuh pada pribadi SBY, berbekal 10 tahun jabatannya sebagai presiden.
Faktor SBY – jika ingin disebut demikian – masih menjadi magnet politik yang besar, berbekal rekam jejaknya dan kharisma politiknya. Sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh masyarakat pasca reformasi, serta presiden pertama yang terpilih secara langsung untuk dua periode, sosok SBY punya warisan politik yang besar.
Koran tertua Australia, The Sidney Morning Herald (SMH) – sekalipun juga kerap mengritik sang mantan presiden – memang menyebut salah satu jasa terbesar SBY selama dua periode berkuasa adalah dalam hal konsolidasi demokrasi.
Bukti keberhasilan tersebut bisa dilihat dari Pilpres 2014 yang sekalipun saat kampanye penuh gesekan, namun nyatanya tetap berlangsung aman, damai dan tanpa kekerasan. Menurut SMH, hal tersebut menunjukkan kedalaman habit demokrasi telah berakar di era SBY.
Selain itu, “The Thinking General” – demikian ia dijuluki – juga punya rekam jejak yang mungkin akan sulit diiukuti oleh penerus-penerusnya dalam beberapa ke depan. Selama kurun waktu 2 periode berkuasa, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 6 persen – sekalipun sempat terguncang krisis di 2008. Demikian halnya dengan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang terus meningkat di era sang jenderal.
SBY juga punya citra politik yang kuat di mata dunia internasional. Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan bahwa meskipun berasal dari kubu militer, SBY adalah seorang jenderal moderat dan reformer yang mendorong pemisahan militer dari sipil. Ditambah dengan sikap kerasnya yang memerangi terorisme, membuat mantan Menkopolhukam di era kekuasaan Megawati Soekarnoputri itu sangat populer di mata dunia internasional.
Keberhasilannya menyelesaikan konflik Aceh dan meredam pemberontakan di Papua juga menjadi prestasi lain dari ayah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu.
Dengan segudang pencapian tersebut, jelas akan ada dampak yang sangat besar jika SBY berdiri di panggung kampanye dan menyerukan kepada masyarakat untuk memilih Prabowo-Sandi. Dukungan penuh sang jenderal dan ajakan kepada masyarakat untuk memilih kandidat nomor urut 02 tersebut akan menjadi booster atau pendorong yang berdampak besar bagi kemenangan Prabowo-Sandi.
Sebagai mantan presiden, SBY juga masih punya sisa jaringan kekuasaan yang tentu akan punya signifikansi politik, selain juga ditunjang oleh posisi Partai Demokrat dengan 12 juta suara (10 persen) pada Pilpres 2014 lalu.
Ditambah kharisma politik dan ketokohannya yang masih dianggap sebagai salah satu sentral politik nasional, kehilangan SBY dalam kampanye Prabowo-Sandi tentu akan menjadi pukulan yang berat. Pasalnya, sosok penerus seperti AHY, atau putra keduanya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), atau tokoh-tokoh elite Partai Demokrat lainnya belum punya level citra politik yang setara SBY.
Segudang prestasi dan pencapaian kekuasaannya adalah political tools yang akan sangat efektif untuk mendukung Prabowo-Sandi, katakanlah dalam kampanye terbuka atau pidato-pidato dukungan politik secara langsung.
Hal ini sesuai dengan pemikiran Hyangmi Choi, Peter Bull dan Darren Reed dari University of York, Inggris, yang menyebutkan bahwa kampanye atau pidato politik langsung punya dampak yang sangat besar untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Konteks tersebut sesuai dengan dimensi kultural pemilih yang cenderung terhubung dengan pidato-pidato politik secara langsung.
Artinya, kunjungan dan kampanye SBY di daerah-daerah – misalnya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang jadi lumbung suara, sekaligus titik lemah dan vital bagi Prabowo-Sandi – tentu akan punya dampak yang besar.
SBY dan Partai Demokrat sendiri masih punya basih pemilih yang kuat di dua provinsi itu, bukan saja karena pada Pilkada 2018 lalu calon-calon yang didukungnya menang, tetapi juga karena mesin partai yang secara tradisional kuat di wilayah-wilayah tersebut. (Baca: Jokowi, Terima Kasih Demokrat)
Pada titik ini, jika SBY pada akhirnya tidak berkampanye, maka jelas akan ada dampak cukup besar yang akan dirasakan oleh Prabowo-Sandi. Pertanyaannya adalah apakah dampak itu bisa memupus mimpi mereka menjadi penguasa di negeri ini?
Dari Obama, Prabowo Sulit Menang Tanpa SBY?
Kampanye politik yang melibatkan mantan presiden memang punya dampak yang cukup besar, apalagi jika presiden tersebut merupakan produk demokrasi langsung. Dalam konteks tersebut, posisi politik SBY akan sama menentukan dengan apa yang terjadi pada Barack Obama di Pemilu Sela Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu.
Kala itu Obama memang terjun langsung untuk memenangkan Partai Demokrat AS yang tengah berjuang mengimbangi kekuasaan eksekutif Presiden Donald Trump. Aksi tersebut nyatanya berdampak cukup signifikan bagi kemenangan Demokrat. Obama memang langsung head to head berhadapan dengan Trump yang juga berkampanye untuk calon-calon dari Partai Republik.
Kemenangan Partai Demokrat AS dalam Pemilu tersebut menunjukkan dampak signifikan sosok mantan presiden dalam kampanye politik langsung. Hal tersebut mungkin akan sulit terwujud andaikan presiden kulit hitam pertama di AS itu tidak berkampanye secara terbuka untuk kandidat-kandidat Partai Demokrat.
Dengan demikian, kehilangan sosok SBY dalam kampanye akan sangat mungkin membuat Prabowo-Sandi kesulitan mendapatkan efek serupa.
Selain itu, kondisi koalisi pemenangan Prabowo-Sandi saat ini juga masih harus berhadapan dengan persoalan partai lain – misalnya PKS – yang terlihat belum militan berkampanye. Persoalan tarik ulur kepentingan – katakanlah terkait posisi wakil gubernur DKI Jakarta – dengan Gerindra, membuat Prabowo-Sandi memang sedikit banyak harus bergantung pada Partai Demokrat. Konteks tersebut juga membuat posisi Demokrat terlihat jauh lebih penting dibanding partai lain.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat profesor ilmu politik dari Ohio State University, William Liddle dalam opininya di Harian Kompas, yang menyebutkan bahwa pada masa kampanye, gaya populis yang mirip Soekarno atau yang mendekatkan diri dengan kelompok Islam konservatif, memang lazim dilakukan oleh para capres. Ini terlihat dalam gaya kampanye Prabowo-Sandi.
Namun, menurut Liddle, pada saat menjabat, para pemimpin tersebut akan meniru gaya Soeharto atau cenderung menempatkan orang-orang profesional pada jabatan-jabatan publik – misalnya jabatan Menteri Keuangan atau Gubernur Bank Indonesia. Dalam hal ini, Demokrat tergolong lebih unggul jika dibandingkan dengan PAN dan PKS. Hal itu membuat posisi Demokrat dan SBY sebagai entitas politik utamanya menjadi sangat penting.
Pada akhirnya, kubu Prabowo-Sandi memang harus berhitung strategi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi persoalan ini.
SBY mungkin masih bisa memberikan dukungan terbuka, katakanlah lewat media sosial, atau dengan memanfaatkan teknologi lainnya, misalnya video atau yang sejenis. Apalagi, pada tahun 2018 disebutkan bahwa 143 juta masyarakat Indonesia sudah punya akses terhadap internet.
Namun, kampanye langsung tetap menjadi hal yang penting, terutama untuk para pemilih tradisional di daerah-daerah. Yang jelas pemikiran Hyangmi Choi, Peter Bull dan Darren Reed terkait hal tersebut telah dibuktikan secara langsung oleh Obama.
Persoalannya tinggal bagaimana kubu Prabowo-Sandi menyiasati permasalahan ini, jika tidak ingin mimpi tentang kekuasaan akan gagal untuk kedua kalinya lagi. (S13)