Veronica Tan adalah korban sesungguhnya dari relasi pernikahan yang patriarkis yang menempatkan perempuan menjadi subordinat laki-laki
PinterPolitik.com
“Patterns of plural marriage also overwhelmingly attest to the dominance of males. Men are polygamous a hundred times more frequently than women are” ~ Marvin Harris
[dropcap]B[/dropcap]asuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang kini telah berpindah nama panggilan menjadi BTP telah bebas. Bak seorang pahlawan, ia yang dielu-elukan oleh para Ahoker-sebutan bagi para pendukungnya, telah resmi bebas dari status narapidana penistaan agama.
Pasca bebas, sosoknya pun tak begitu saja lepas dari kontroversi. Seperti yang telah dibahas oleh Tirto.id, ia adalah representasi apa yang disebut newsmaker yakni sosok yang selalu jadi bahan berita. Apa pun yang menyangkut Basuki Tjahaja Purnama, mulai dari ucapan hingga tindakannya akan menjadi sorotan media.
Ahok adalah seorang male chauvinist Share on XBaru-baru ini, rencana pernikahanya dengan Bripda asal Nganjuk, Jawa Timur, Puput Nastiti Devi pun kembali menimbulkan bermacam-macam spekulasi.
Banyak yang mengamini dan mendoakan rencana bahagia tersebut. Namun tak sedikit pula yang menghujat, mengingat bahwa statusnya belum lama berganti menjadi duda.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, ia telah menceraikan mantan istrinya Veronica Tan yang telah menemaninya dalam bahtera pernikahan selama 21 tahun.
Kini, BTP seolah harus berhadapan dengan adik kandungnya sendiri ketika Fifi Lety Indra dalam akun sosial medianya mengungkapkan kekecewaannya kepada sang kakak.
Pengacara berlesung pipit tersebut mengungkap kekecewaannya di akun pribadinya terkait keputusan BTP untuk menikah lagi dalam waktu yang begitu singkat setelah perceraiannya.
Ia bahkan menuliskan sebuah pernyataan “Iya saya memang terlalu percaya dengan Ahok seharusnya saya berani melawan dia. Dari awal saya tidak setuju cerai dan tidak setuju ditulis. Di surat gugatan cerai cuma saya tulis alasan ketidakcocokan. Tetapi Ahok suruh ubah dan paksa” tulisnya dalam akun Instagram.
Tentu pernyataan tersebut sedikit banyak telah menjelaskan tentang teka-teki yang selama ini menyelimuti gonjang-ganjing hubungan BTP-Vero. Yang awalnya Vero dituduh memiliki affair dengan pria yang bernama Julianto Tio, kini pemberitaan yang ada justru malah berbalik menyerang mantan Bupati Belitung Timur tersebut.
Sebagai seorang newsmaker sekaligus tokoh politik, bagaimana memaknai drama yang kembali dihadirkan oleh sang mantan Gubernur DKI ini dalam kacamata feminism dan etika politik?
Veronica, Korban Sesungguhnya
Pernikahan memang bukan sebuah dosa. Namun ketika pernikahan tersebut terkesan terburu-buru selepas adanya perceraian, dan bahkan mendapat resistensi dari keluarga sendiri, tentu hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi sosial. Apalagi, jika drama ini menimpa seorang figur publik bahkan tokoh politik.
Dalam memaknai rencana pernikahan BTP dengan Puput dan ketidaksepemahaman Fifi tentang rencana tersebut semakin menunjukkan bahwa ada fakta yang timpang sekaligus adanya pihak yang dirugikan. Lalu siapa disini yang merugi?
Kalau Veronica Tan tidak berzinah, maka Ahok hidup dalam zinah; tetapi kalau benar Veronica Tan berzinah, maka Ahok bebas dari salah, boleh menikahi Puput karena sdh menceraikan Vero.
Ini dari sudut pandang Alkitab. pic.twitter.com/XX0Uocifa2
— Albert Kakiay (@albertkakiay) January 24, 2019
Jika melihat latar belakang kasus perceraian BTP-Vero, tingkah polah BTP kini justru semakin mengungkap kejanggalan-kejanggalan terhadap citra yang selama ini dikonstruksi oleh media.
Vero tukang selingkuh. Kira-kira begitulah konstruksi yang berhasil dikapitalisasi oleh media selama ini. Dalam dakwaan perceraian, ia dituduh memiliki pria idaman lain yang disebut sebagai Julianto Tio.
Sayangnya, realitas rencana pernikahan BTP dan pengakuan Fifi pada akhirnya menegaskan bahwa dalam setiap relasi antara perempuan dan laki-laki, pihak perempuanlah yang kerap kali dirugikan. Terlebih jika seorang perempuan telah dicap sebagai tukang selingkuh.
Sikap terburu-buru BTP untuk menikah lagi serta kritikan keras dari sang adik justru kembali menimbulkan pertanyaan besar, siapa sebenarnya kira-kira yang melakukan perselingkuhan?
Konstruksi perempuan tersebut merupakan konsekuensi dari adanya budaya patriarki yang begitu kuat dalam sistem sosial masyarakat di Indonesia. Tidak adanya konsep keadilan gender yang konkret kerap kali membuat perempuan terkadang harus menerima apa adanya label yang disematkan pada mereka, walaupun label tersebut belum tentu benar faktanya.
Marvin Harris, seorang jurnalis The New York Times dalam sebuah artikel berjudul Why Men Dominate Women telah memperingatkan bahwa dalam sebuah hubungan pernikahan yang jamak terjadi adalah adanya dominasi laki-laki.
Bahkan ia juga menyebut bahwa kecenderungan pria seratus kali lebih rentan poligami dibanding wanita. Oleh karenanya, perempuan akan lebih rentan menjadi korban psikis bahkan fisik dalam sebuah hubungan pernikahan.
Mungkin itulah yang kini tengah dirasakan Veronica. Ketika namanya kini kembali dikait-kaitkan dengan rencana pernikahan BTP dengan sang Bripda, hal tersebut semakin menunjukkan bahwa dirinya kini menjadi korban dari kebijakan sepihak dari seorang BTP.
Wajar jika sang adik, Fifi Lety merasa menyesal dengan tingkah laku sang kakak. Sebagai seorang perempuan, mungkin saja ia bisa merasakan apa yang kini menjadi jeritan hati Veronica.
Terlepas bahwa urusan rumah tangga merupakan hal yang bersifat pribadi, namun sebagai seorang tokoh publik, bahkan seorang politisi tentu secara etika politik, dengan adanya pemberitaan ini akan menjadi sebuah bumerang bagi BTP, apalagi terhadap karir politiknya.
BTP, Mulutmu Harimaumu
Siapa yang menyangka, bahwa rencana pernikahan sang mantan Gubernur DKI ini kini menuai banyak batu sandungan.
Dalam sebuah kesempatan, usai keluar penjara, pada saat ia menemui Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) beberapa waktu lalu, ada pernyataan yang cukup menggelitik dari sosok pria kelahiran Belitung ini.
Obrolannya seputar alasannya menikahi Puput terkesan tak fair bagi kebanyakan perempuan dan menjadi viral di berbagai media. Dalam obrolan tersebut, ia terlihat membandingkan urusan masak-memasak yang terkesan memojokkan sang mantan istri.
Tapi mbok ya jangan membanding-bandingkan mantan istri dg calon istri dg garis tangan? Hubungannya apa punya garis tangan yg sama? Aneh bener Ahok ini. Kasian Veronica Tan.
— ✌️ Peace n Victory ? (@tiaraboni) January 27, 2019
Menurutnya, Vero selama ini bukanlah sosok istri yang ideal dengan menggunakan masak sebagai tolak ukur kapabilitas seorang istri. Dalam video yang sempat tersebar di channel Youtube OSO TV tersebut, ia bahkan membanding-bandingkan sosok calon istri yang lebih piawai memasak ketimbang sang mantan istri.
Mama saya sudah bilang ‘istri kamu itu harusnya pengganti saya, soal masak memasak, bikin kue dan mengurusi kamu. Yang dulu kan nggak mau” ungkapnya dalam percakapannya dengan OSO.
Ia bahkan juga terkesan membawa nama sang ibu, untuk menguatkan legitimasi pernikahannya dengan sang Bripda agar dilaksanakan secepatnya.
“Iya kan mama saya bilang ‘gini Hok, saya nggak mungkin ngurus kamu, tinggal sama kamu, saya sudah 70-an, mau sampai kapan?’”
Berdasarkan sikapnya tersebut, jika BTP digolongkan sebagai sosok male chauvinist, tentu label tersebut sungguh bukan hal yang berlebihan. Male chauvinism sendiri adalah sebuah paham yang mempercayai bahwa laki-laki akan cenderung superior di banding perempuan, selaras dengan pendapat Jane Mansbridge dan Katherine Flaster dalam tulisannya yang berjudul Male Chauvinist, Feminist, Sexist, And Sexual Harassment: Different Trajectories In Feminist Linguistic Innovation.
Serupa dengan gagasan patriarki, male chauvinism ini merupakan bagian dari bentuk penindasan terhadap eksistensi perempuan dimana peran perempuan tak sepantasnya mendominasi ruang publik dan hanya sesuai dengan urusan domestik.
Apa yang dipertontonkan BTP kepada publik tersebut justru berpotensi mendegradasi peran perempuan yang seharusnya tak hanya berhenti pada urusan masak, macak, manak, yang merupakan semboyan popular dalam kultur Jawa dimana para perempuan Jawa kerap kali diidentikkan hanya dengan urusan dapur, kasur dan bersolek.
Sebenarnya, male chauvinism tidak melulu menjadi kultur Jawa. F. Chen dalam sebuah tulisan yang berjudul Residential Patterns of Parents and Their Married Children in Contemporary China: A Life Course Approach mengungkap bahwa di dalam kultur Tionghoa, male chauvinism ini sangat dominan sekali.
Ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh ajaran filsafat Mencius yang mendasarkan doktrin bahwa lelaki mengurusi dunia luar, wanita mengurusi di dalam rumah tangga, wanita harus taat kepada ayahnya sebelum menikah, taat kepada suaminya setelah menikah dan harus juga taat kepada anak lelakinya kalau suaminya meninggal.
Secara kultur, bisa saja BTP memang memiliki pandangan chauvinis terhadap perempuan karena tak terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang keturunan Tionghoa totok.
Terlebih, sikap yang dipertontonkan tersebut seolah-olah bertolak belakang dengan citra BTP yang selama ini dianggap progresif pada saat ia memimpin Jakarta.
Betapa tergadaikannya kebanggaan seorang perempuan ketika ia hanya memandang bahwa urusan perempuan hanya soal kepiawaian memasak.
Pandangan patriarkis tersebut pada akhirnya juga berdampak buruk bagi kualitas kepemimpinan seseorang. Hal ini berkaitan dengan cara pandang seorang pemimpin yang chauvinis dalam menjalankan kekuasaa nantinya.
Pendapat tersebut juga telah didukung oleh Marvin Harris, bahwa pandangan male chauvinism seseorang akan mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin terhadap perempuan dalam menjalankan kekuasaanya, dan tentunya akan berbahaya bagi perempuan.
Berbagai kondisi-kondisi tersebut jelas menumbulkan pertanyaan, masihkah BTP pantas menjadi pemimpin jika dalam tindakannya saja menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang gemar memandang perempuan sebagai subordinat dari laki-laki? (M39)