HomeNalar PolitikGenggam Viking, Jokowi Amankan Jabar?

Genggam Viking, Jokowi Amankan Jabar?

Suporter sepak bola pada kadar tertentu dapat memiliki daya bargaining secara politik dan seringkali dimanfaatkan oleh politisi sebagai daya tarik untuk mendulang dukungan populer.


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]udah menjadi rahasia umum, industri sepak bola adalah salah satu yang mampu menghasilkan suporter yang cukup banyak dan fanatik. Barangkali realitas itulah yang seringkali menjadikan sepak bola lekat dengan dunia perpolitikan, tak terkecuali di Indonesia.

Menjelang Pilpres 2019, sejumlah perwakilan dari Viking, kelompok suporter Persib Bandung, menemui calon wakil presiden nomor urut 01, Ma’ruf Amin di kediamannya pada hari Rabu kemarin. Kedatangan mereka adalah untuk mendeklarasikan dukungan kelompok suporter tersebut kepada Jokowi-Ma’ruf.

Meskipun hanya diwakilkan oleh sekitar 4 orang, namun kunjungan sekaligus deklarasi dukungan ini disebut oleh Derek, salah seorang perwakilan Bobotoh yang hadir dalam pertemuan tersebut, merupakan perintah langsung dari Ketua Viking Persib Club, Heru Joko.

Dalam pertemuan tersebut, diungkapkan pula beberapa alasan kenapa Viking akhirnya mendukung Jokowi-Ma’ruf. Di antaranya adalah track record Jokowi yang sering menonton langsung pertandingan sepak bola ke stadion.

Selain itu, isu mafia bola yang mendorong munculnya Satgas Mafia Bola juga tak luput menjadi inspirasi para bobotoh ini untuk menyatakan dukungan ke Jokowi-Ma’ruf.

Dalam setiap menjelang gelaran pesta demokrasi lima tahunan, wajar jika sekelompok relawan atau organisasi menyatakan  dukungan kepada salah satu pihak pasangan calon.

Dalam konteks tersebut, menarik untuk melihat bagaimana politisasi suporter sepak bola menjelang Pilpres 2019 ini. Mungkinkah dukungan Viking ini akan berdampak signifikan terhadap elektabilitas Jokowi?

Sepak Bola dan Politik

Di beberapa belahan dunia, hubungan antara sepakbola dan politik adalah hal yang saling berkaitan. Sepak bola dan politik memiliki lebih banyak kesamaan. Keduanya memiliki jutaan pengikut dan mampu menciptakan fanatisme yang ekstrem.

Dalam konteks pemilu, politisasi penggemar sepak bola sebetulnya juga bukanlah hal yang baru. Seperti yang diungkapkan Graham Ruthven dalam tuilsanya yang berjudul Have Football Fans Been Recognised as a Political Force yang mengungkap bahwa penggemar sepak bola merupakan demografis pemilih yang cukup besar dan menjanjikan yang pada kadar tertentu dapat memiliki daya bargaining secara politik. Ia mencontohkan bagaimana politisi seringkali memanfaatkan sepak bola sebagai daya tarik untuk mendulang dukungan popular.

Organisasi suporter bola tergolong jarang bulat memberikan dukungan pada satu kandidat. Share on X

Misalnya, dalam upaya untuk memobilisasi dukungan terhadap Partai Buruh di Skotlandia, pemimpin partai tersebut, Jim Murphy melakukan pendekatan terhadap banyak suporter bola. Murphy juga mengakui penggemar sepak bola sebagai sumber suara yang belum dimanfaatkan, namun memiliki potensi besar.

Dalam konteks persepakbolaan Indonesia, Persib adalah salah satu klub terbesar dan ternama di Indonesia serta memiliki pendukung yang tidak sedikit dan tersebar  hamper di seluruh pelosok Indonesia.

Menurut penelitian Irham Pradipta Fadli dari Universitas Indonesia, jika merujuk pada jumlah pendukung Persib yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta saja, terdapat sekitar 5,3 juta yang mendaku diri sebagai Bobotoh.

Cianjur dan Garut yang merupakan wilayah terbanyak memiliki bobotoh dengan jumlah lebih dari 600 ribu suporter dan dilanjutkan dengan Bandung dengan jumlah lebih dari 200 ribu jiwa. Tentu bukan jumlah yang sedikit sebagai potensi ceruk masa pendukung politik.

Secara simbolis, klaim dukungan Viking kepada paslon nomor urut 01 ini bisa jadi akan menimbulkan efek ikut-ikutan bagi para para Bobotoh di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, upaya politisasi suporter Persib tersebut yang menjadi sebuah hal yang wajar.

Realitas tersebut selaras dengan studi Mart Vreeswijk dalm tulisannya berjudul Identity Politics of Football Supporters in the Era of Globalization and Commodification yang menyebut bahwa supporter sepak bola menjadi sasaran empuk bagi permainan politik identitas sepak bola dimana politik identitas jenis ini dapat menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan komunal yang akan sangat mudah untuk dikapitalisasi untuk tujuan-tujuan politik.

Oleh karenanya, wajar jika para politisi akan berlomba-lomba dalam merebut hati para pendukung klub asal Bandung ini menjelang Pilpres 2019.

Politisasi Bobotoh

Dalam konteks Persib dan Viking, politisasi bobotoh jamak terjadi dalam momen-momen politik. Lebih lanjut dalam investigasi Irham Pradipta Fadli, tercatat terdapat 5 mantan walikota Bandung yang menggunakan Persib sebagai salah satu kendaraan politik.

Yang terakhir adalah di era Dada Rosada pada pemilihan wali kota Bandung pada tahun 2008 lalu. Kala itu, ia berhasil memaksimalkan dukungan dari para Bobotoh yang tergabung dalam organisasi Viking mengingat bahwa dirinya merupakan ketua umum Persib pada saat itu.

Lebih lanjut dalam investigasi Irham Pradipta Fadli, pemenangan Dada Rosada juga tak lepas dari sosok Heru Joko sebagai ketua Viking yang menjabat hingga sekarang. Berkat mobilisasi masa yang terjadi dengan memberikan himbauan dan arahan kepada distrik-distrik Viking yang ada di kota Bandung.

Dalam konteks tersebut, kemenangan Dada memang didukung oleh modal sosial yang kuat yang terjalin antara dirinya dengan Bobotoh dan Viking. Sehingga dengan mudah ia mampu melakukan mobilisasi masa Bobotoh untuk mendukung dirinya.

Selain itu, seperti dilansir Tirto, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf saling berebut suara bobotoh pada Pilgub Jabar 2013 lalu.

Aher bahkan sempat hadir di tribun penonton dan menjadi dirigen supporter dan dibaca sebagai  upaya menetralisir pengaruh Dede Yusuf yang kala itu lebih dekat manajemen Persib karena Dede terlibat cukup intens dalam terbentuknya PT Persib Bandung Bermartabat pada tahun 2009.

Di sisi lain, Dede pun didukung oleh Partai Demokrat yang dikenal memiliki kedekatan dengan manajer Persib kala itu,  Umuh Muchtar, juga anaknya yang adalah ketua DPC Demokrat Kota Bandung.

Dalam konteks politik, modal sosial berupa dukungan supporter bola ini menjadi penting karena dalam kadar tertentu, sejalan dengan pendapat Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam tulisan yang berjudul Converting Social Capital into Political Capital, bahwa modal sosial sangat mungkin untuk dikonversikan menjadi modal politik.

Modal politik sendiri terdiri atas sumber daya yang dimiliki oleh aktor, yaitu individu atau kelompok, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik aktor tersebut. Jika seseorang memiliki modal sosial yang buruk, maka juga akan menyebabkan  modal politik yang buruk. Begitu pula sebaliknya.

Birner dan Wittmer menyebut aktor politik yang memiliki modal sosial tinggi dalam bentuk organisasi dan jaringan, dapat mengubahnya menjadi modal politik instrumental yang dapat dimanfaatkan dalam pemilu. Tak terkecuali bahwa politisasi Bobotoh menjadi amat wajar untuk dijadikan alat politik. Lalu bagaimanakah dengan Jokowi?

Jokowi Amankan Jabar?

Menjelang Pilpres 2019, mengkapitalisasi suporter sepak bola demi kepentingan politik nampaknya menjadi upaya cerdas Jokowi dalam memaksimalkan suara, khususnya Jawa Barat, mengingat bahwa elektabilitas pasangan nomor urut 01 tersebut dapat dikatakan masih kalah dengan pasangan oposisi, Prabowo-Sandiaga.

Namun, dalam konteks deklarasi dukungan Viking, mungkinkah Jokowi memiliki modal sosial yang cukup untuk memobilisasi Viking dan Bobotoh dalam gelaran sebesar Pilpres?

Nampaknya, untuk merangkul seluruh suara bobotoh Jawa Barat tak akan mudah bagi Jokowi.  Alasan utamanya karena organisasi suporter ini tergolong jarang bulat memberikan dukungan pada satu kandidat.

Sebut saja kala itu Viking Sumedang dan Subang, yang sempat diklaim menyatakan dukungan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat Tubagus Hasanudin dan Anton Charliyan.

Sementara itu, Heru Joko sebagai pimpinan justru mendukung pasangan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Lain lagi dengan Viking Purwakarta yang memberikan dukunganya kepada Dedy Mulyadi yang juga merupakan mantan bupati Purwakarta.

Dalam konteks mobilisasi Bobotoh, bola panas kini nampaknya ada di tangan Heru Joko, selaku ketua umum Viking. Jika merujuk pada studi Irham Pradipta Fadli, kemenangan Dada Rosada pada pemilihan Wali Kota Bandung 2008 memang berkat mobilisasi yang dilakukan oleh sosok Heru Joko. Secara khusus, Ketua Umum Viking tersebut sendiri kini telah masuk ke gelanggang politik menjelang pemilu legislatif 2019. Ia berangkat mencalonkan diri sebagai caleg Partai Nasdem untuk DPRD.

Sejauh ini, Viking sebagai organisasi telah merilis bahwa mereka secara organisasi memilih tidak berpihak pada capres manapun. Oleh karena itu, dukungan pihak-pihak yang bertemu dengan Ma’ruf Amin dapat dianggap sebagai klaim sepihak dari segelintir orang.

Klaim dukungan dari Viking tersebut kemudian dapat dimaknai sebagai upaya Jokowi-Ma’ruf untuk memobilisasi dukungan para pendukung Persib. Jika merujuk pada data bahwa 5,3 juta masyarakat Jabar mengaku diri sebagai Bobotoh, upaya untuk mempolitisasi kelompok ini memang tergolong wajar. Akan tetapi, apakah klaim dukungan ini bisa berbuah suara signifikan? Menarik untuk ditunggu. (M39)

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...