Prabowo berjanji akan membentuk kementerian khusus bencana jika terpilih. Rencana brilian atau sekedar janji politik?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]araknya bencana alam beberapa waktu ini di Indonesia barangkali dilihat sebagai peluang secara politik oleh kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Setidaknya tiga bencana alam dengan daya rusak besar mengguncang Indonesia di tahun 2018.
Dari tiga kejadian itu pula, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dianggap tidak mampu menanggapi bencana dengan baik. Tidak ada sistem pencegahan yang mumpuni, sehingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Perlu disadari bahwa Indonesia merupakan wilayah dengan potensi tinggi terjadinya bencana alam, mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, hingga tanah longsor.
Atas dasar itulah Prabowo-Sandi berjanji akan membuat sebuah kementerian yang bertugas untuk menangani bencana, termasuk dalam hal pencegahan dampak bencana. Walaupun demikian, belum ada langkah yang jelas tentang bagaimana nantinya kementerian ini terbentuk.
Menurut Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Dahnil Anzar Simanjuntak, kementerian ini merupakan gabungan dari badan khusus yang sudah ada, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), serta Badan SAR Nasional (Basarnas). Kementerian Negara Penanggulangan dan Mitigasi Bencana, demikian namanya nanti.
Dahnil juga menyebutkan bahwa alasan membentuk kementerian tersebut adalah agar lebih fokus dari pemerintahan saat ini. Dahnil juga mengatakan bahwa Prabowo akan mendorong adanya literasi kebencanaan agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan ketika ada bencana.
Tentu saja hal ini menarik untuk diperdebatkan di tengah minimnya gagasan dari kedua paslon pada saat musim kampanye seperti ini.
Secara politik, tentu langkah ini akan memberikan dampak untuk paslon Prabowo-Sandi. Rencananya tersebut bisa menjadi sinyal positif bagi masyarakat yang selama ini cemas terhadap potensi bencana, apalagi sistem pencegahan atau mitigasi selama ini terkesan buruk.
Lantas, apakah ini merupakan rencana brilian dari pasangan nomor urut 02 tersebut dan akan mendapatkan keuntungan secara politik saat hari pencoblosan di bulan April nanti?
Perlukah Kementerian Baru?
Persoalan bencana secara tegas telah diatur dalam perundangan-undangan, misalnya dalam UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
UU No 8 secara jelas mengatur nomenklatur terkait badan khusus untuk menangani bencana, yakni BNPB, sebagai lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. BNPB memiliki tugas yang meliputi prabencana, saat tanggap bencana, dan pascabencana.
Namun, dengan persoalan bencana yang terjadi selama ini, timbul sebuah gagasan untuk melebur BNPB, BMKG dan Basarnas menjadi satu dalam sebuah kementerian.
Walaupun demikian, membuat sebuah kementerian bukanlah perkara yang mudah sebab harus mempertimbangkan beberapa hal. Dalam Pasal 13 Ayat 1 UU No 39 2008 tentang Kementerian Negara, pembentukan kementerian perlu memperhatikan beberapa hal, misalnya seperti efektivitas dan efisiensi lembaga tersebut. Sementara, dalam Pasal 15 UU yang sama, ditekankan bahwa jumlah keseluruhan kementerian adalah 34.
Jika Prabowo akan membentuk kementerian penanggulangan bencana, maka setidaknya harus melihat apakah peleburan tiga lembaga seperti yang disampaikan oleh Dahnil dapat berjalan dengan baik. Sebab, seperti diketahui bahwa tiga lembaga tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang berbeda-beda.
Sementara, ganjalan berikutnya adalah saat ini total kementerian telah berjumlah 34 atau mencapai angka maksimal sebagaimana disebut Pasal 15 UU Kementerian Negara tersebut. Sehingga, untuk membentuk kementerian yang baru harus memikirkan posisi kementerian lainnya.
Memang, negara-negara lain, terutama yang tingkat bencana alamnya tinggi, memiliki kementerian penanggulangan bencana. Salah satunya adalah Rusia. Negara tersebut memiliki Kementerian Pertahanan Sipil, Situasi Darurat dan Penanggulangan Bencana atau yang disingkat dengan Kementerian Situasi Darurat.
Namun, jika mengacu UU yang telah berlaku, sebetulnya secara keseluruhan saat ini Indonesia memiliki kerangka hukum yang kuat dan komprehensif untuk penanggulangan bencana. UU No 24 tahun 2007 memberikan dasar bagi penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana di Indonesia.
Rangkaian peraturan yang dikeluarkan seperti UU No 8 tahun 2008, juga telah menjabarkan seperangkat ketentuan komprehensif yang merangkum tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, tahap-tahap penanggulangan bencana yang berbeda, serta bantuan keuangan dan penanggulangan bencana.
Oleh karena itu, langkah yang tepat untuk menanggulangi bencana adalah dengan menguatkan perangkat-perangkat yang sudah ada.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari pemerhati kebencanaan, Gegar Prasetya yang menyebut bahwa sebagai daerah rawan bencana, permasalahan di Indonesia tidak berhenti pada pembuatan lembaga baru seperti yang ditawarkan oleh kubu Prabowo. Gegar sebagai Ketua Ahli Tsunami Indonesia justru memprioritaskan pada mitigasi dan riset.
Melihat kondisi tersebut, Indonesia saat ini tidak memerlukan kementerian khusus untuk penanggulangan bencana. Persoalan terpenting adalah bagaimana pemerintahan melakukan politik anggaran yang sesuai, sehingga mampu menjalankan tugas dalam tiga aspek seperti yang diemban oleh BNPB – yaitu prabencana, saat bencana, serta setelah bencana.
Perkuat Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam.
BNPB sendiri menyebutkan bahwa pemahaman terkait dengan mitigasi bencana di Indonesia masih sangat rendah, baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah. Sosialisasi dan pelatihan penyelamatan masih menyedihkan. Akibatnya, korban bencana di Indonesia tergolong besar dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju dalam mitigasi bencana.
Persoalan ini berpangkal dari minimnya anggaran untuk alokasi riset dan mitigasi bencana. Misalnya saja anggaran untuk tahun 2019 ini. BNPB bahkan mendapatkan anggaran dengan jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2018.
Merujuk pada data yang ada, alokasi anggaran BNPB tahun 2019 hanya Rp 619,4 miliar, turun 17,34 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 749,4 miliar. Sementara, anggaran BMKG tahun ini mencapai Rp 1,75 triliun, naik 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Namun, nilai ini mengalami pemotongan dari yang diajukan sebesar Rp 2,7 triliun.
Merujuk pada data tersebut menjadi bukti bahwa belum ada keseriusan dan arah yang lebih baik untuk meminimalisir terjadinya bencana. Apalagi, kondisi saat ini yang terjadi justru anggaran dialokasikan lebih besar pada saat pasca bencana (post disasters). Hal itu misalnya bisa dilihat saat bencana Palu dan Lombok terjadi.
Sebagai bandingan, Jepang adalah salah satu negara di ring of fire yang rawan bencana, namun memiliki kesadaran bencana yang baik . Sadar kerap diterpa bencana, negara tersebut telah melakukan sejumlah langkah antisipatif.
Negeri Sakura ini telah merancang bangunan-bangunan tahan gempa. Selain itu, mereka secara simultan memiliki program pemeliharaan lingkungan, seperti perlindungan hutan di pesisir samudera demi mengurangi dampak tsunami. Jepang juga memiliki sistem peringatan dini tsunami yang baik. Ini dimaksudkan agar lembaga terkait dapat merespons dengan cepat dan masyarakat juga dapat mempersiapkan perlindungan sejak dini.
Salah satu pembeda penting di Jepang adalah negara tersebut telah dipersiapkan dengan literasi bencana yang baik. Jepang memasukkan topik bencana alam ke dalam kurikulum sekolah, dan rutin melakukan pelatihan kepada masyarkat luas.
Dari segi anggaran, Jepang juga terbilang serius. Diperkirakan setiap tahunnya anggaran untuk pencegahan bencana mencapai 5 persen dari total anggaran belanja nasional. Anggaran per tahunnya dapat mencapai Rp 500-600 triliun.
Pembentukan kementerian khusus bencana tidak perlu, lebih baik fokus pada lembaga yang ada dengan perhatikan anggaran untuk riset dan mitigasi bencana. Share on XPolitik Proteksi Sosial Prabowo
Terkait wacana pembentukan kementerian tersebut, mungkin saja Prabowo memiliki maksud baik untuk memperbaiki problem kebencanaan. Namun, di tengah kontestasi politik seperti saat ini, mudah menerka bahwa langkah tersebut memiliki maksud politik.
Anna McCord dalam tulisan berjudul The Politics of Social Protection: Why Are Public Works Programmes So Popular with Government and Donors? misalnya menggambarkan bahwa ada asumsi tentang elemen politik dalam program proteksi sosial, termasuk dalam hal kebencanaan.
Anna menyebut wacana program proteksi sosial seperti ini dapat memberikan keuntungan politik berupa stabilitas keamanan, risiko ekonomi dan sebagainya. Program seperti ini memang memiliki keuntungan langsung atau tidak langsung terhadap tujuan ekonomi dan politik tertentu, serta bisa dianggap sebagai strategi yang populis. Dengan jalan tersebut, mudah bagi seseorang untuk memikat publik, sehingga memberikan keuntungan secara politik baginya dalam konteks elektoral.
Anna juga menyebutkan bahwa program-program semacam ini seringkali muncul saat seseorang memerlukan dukungan politik tertentu. Inilah yang menjadi dimensi politik dari rencana program sosial.
Dengan kondisi Indonesia yang sering tertimpa bencana alam, cukup mudah bagi Prabowo untuk membuat kampanye dengan membentuk kementerian khusus bencana. Sebagai oposisi tentu kondisi itu menjadi keuntungan (opposition advantage) sebab ia bisa masuk ke dalam ranah yang tidak bisa disentuh oleh petahana.
Bisa jadi langkah ini bisa memikat kelompok yang belum menunjukkan dukungan politiknya, terutama bagi yang cemas terhadap adanya bencana alam.
Oleh sebab itu, apakah Prabowo akan menjadikan topik ini sebagai bahan kampanye di sisa waktu tiga bulan sebelum pencoblosan? Menarik ditunggu. (A37)