“Sekali lagi, suara pak @prabowo di Indonesia sangat relevan dan sangat mewakili suatu kecemasan. Beliau adalah anak begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo dan keluarga yang sangat ‘melek’ dengan ekonomi suatu negara,” Fahri Hamzah
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]rabowo Subianto tak pernah berhenti menimbulkan kehebohan. Setelah sebelumnya hadir dengan pidato seperti Indonesia bubar 2030 atau Indonesia miskin selamanya, kini ia muncul dengan pidato bahwa Indonesia akan punah jika ia tidak menang pada Pilpres 2019.
Seketika, pernyataan itu menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Salah satu suara yang mendukung Prabowo muncul dari Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Ia menyebut bahwa kritik yang dilakukan oleh Prabowo relevan jika merujuk pada garis keturunannya. Mantan kader PKS ini mengungkit fakta bahwa Prabowo adalah pewaris darah dari keluarga Djojohadikusumo yang banyak memberi pengaruh dalam ekonomi Indonesia.
Garis keturunan Prabowo memang kerap menjadi salah satu bahan pembicaraan menjelang gelaran sebesar Pilpres. Dalam kadar tertentu, para pendukungnya kerap menjadikan garis keturunan Prabowo sebagai keunggulan dari mantan Danjen Kopassus tersebut.
Jika diperhatikan, terlihat bahwa orang seperti Fahri ini ingin memberikan legitimasi kepada Prabowo melalui garis keturunannya. Lalu, seberapa besar pengaruh faktor garis keturunan ini berperan dalam memuluskan langkah Prabowo menuju Istana?
‘Darah Biru’ Politik
Debat soal garis keturunan seolah menjadi isu musiman jelang Pemilu. Yang paling sering diungkit adalah soal garis keturunan Prabowo saat dibandingkan dengan lawannya dalam dua musim Pemilu, Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu kemudian kerap dikontraskan dengan Jokowi. Mantan Wali Kota Solo tersebut memang terbilang tidak memiliki garis keturunan khusus sebagai orang besar. Para pendukung Prabowo kemudian kerap membanggakan keunggulan Prabowo atas Jokowi ini di berbagai media.
Memang, Prabowo tergolong ‘darah biru’ dalam politik Indonesia. Di dalam tubuhnya mengalir darah klan Djojohadikusumo yang banyak memberi pengaruh dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Sang jenderal adalah putra dari Sumitro Djojohadikusumo yang dikenal sebagai begawan ekonomi Indonesia. Ia juga adalah cucu dari Margono Djojohadikusumo, tokoh yang mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI).
Tidak hanya itu, perkara keunggulan garis keturunan Prabowo juga kerap kali ditarik lebih jauh dari sekadar klan Djojohadikusumo. Para pendukungnya meyakini bahwa Prabowo masih memiliki warisan darah dari sosok yang aktif berperan untuk kemerdekaan Indonesia.
Peter Carey, seorang sejarawan asal Inggris, juga menggambarkan bahwa Prabowo memiliki garis keturunan dengan bangsawan-bangsawan tempo dulu. Carey, sebagaimana dikutip Patrick Tibke menyebut bahwa Prabowo memiliki garis darah langsung dengan Raden Tumenggung Kertanegara III, tokoh yang ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda.
Memang, banyak yang mempertanyakan posisi Carey yang dianggap dekat dengan keluarga Djojohadikusumo, termasuk soal film kampanye Gerindra yang menyoroti garis keturunan tersebut. Meski demikian, keterlibatan Carey justru memperkuat bahwa perkara keturunan memang menjadi ide penting dalam kampanye Prabowo.
Prabowo seperti mendapatkan legitimasi khusus melalui garis keturunannya. Share on XPerkara garis keturunan ini sendiri tampaknya akan menjadi salah satu isu resmi yang dibawa oleh tim kampanye Prabowo. Beberapa waktu lalu, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menerbitkan buku biru yang menyoroti fakta-fakta tentang kandidat yang mereka usung. Di dalam buku tersebut, disebutkan tentang keturunan Prabowo dapat ditarik hingga ke era Majapahit dan Mataram Islam.
Pada buku tersebut tidak hanya keturunan Prabowo yang dibahas, tetapi juga garis keturunan pasangannya, Sandiaga Uno. Hal itu dapat menjadi penanda bahwa tim pemenangan Prabowo memang menaruh perhatian pada perkara keturunan.
Sumber Legitimasi
Garis keturunan memang mau tidak mau masih dianggap penting dalam politik, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga secara umum. Masyarakat misalnya masih sering memilih kandidat tertentu karena masih memiliki pertalian darah dengan sosok kuat di masa yang lalu.
Max Weber sudah sejak lama menyebut hal ini dalam pandangannya tentang sumber otoritas. Ia menyebutkan bahwa ada otoritas tradisional dan legitimasi yang berasal dari tradisi atau kebiasaan. Otoritas ini memang lebih banyak berlaku untuk sistem monarki, tetapi dalam kadar tertentu dapat berlaku pada masyarakat lain yang meyakini keturunan sebagai hal yang penting dalam kekuasaan.
Selain itu, garis keturunan juga kerap kali menggambarkan posisi seseorang dalam hierarki masyarakat. Pandangan ini diungkapkan misalnya oleh Carlos M. Vilas. Ia menyebut bahwa garis keturunan termasuk menjadi identitas yang tidak bisa sepenuhnya menggantikan kelas sosial dalam struktur masyarakat. Ia bahkan membuka tulisannya dengan menyebut bahwa dirinya telah melihat banyak perubahan, tetapi ada satu hal yang masih terus berlanjut, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hubungan darah.
Sekali lagi, suara pak @prabowo di Indonesia sangat relevan dan sangat mewakili suatu kecemasan. Beliau adalah anak begawan ekonomi Prof. Sumitro Djoyohadikusumo dan keluarga yang sangat “melek” dengan ekonomi suatu negara. #NegaraBisaPunah
— #Setelah47 (@Fahrihamzah) December 18, 2018
Vilas menyoroti pentingnya keluarga berkuasa dalam membentuk struktur sosial-ekonomi, institusi politik, dan kehidupan budaya suatu negara. Vilas mengambil penggambaran ini merujuk pada kondisi yang terjadi di Amerika Latin.
Perkara keturunan ini dipercaya bisa memobilisasi dukungan politik cukup signifikan. Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As’ad menyebutkan bahwa klan politik seperti itu dapat menjadi kekuatan yang cukup mudah melakukan mobilisasi demi tujuan politik. Tak jarang, ada yang memanfaatkan garis keluarga tersebut sebagai sumber daya politik inti dari politisi.
Pada titik itu, munculnya fenomena politik dinasti boleh jadi menjadi sesuatu yang kerap tak terhindarkan. Beberapa klan atau garis keturunan memang dianggap memiliki posisi khusus dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk menyoroti garis keturunan Prabowo merupakan hal yang lazim dalam memobilisasi dukungan dan mendapatkan legitimasi kepemimpinan.
Kontradiksi Persona
Meski tergolong efektif untuk memberikan legitimasi kekuasaan, membawa urusan garis keturunan ke dalam kampanye Prabowo sebenarnya dapat dikatakan cukup kontradiktif dengan personanya selama ini. Sebagai pemimpin oposisi, Prabowo kerap menggambarkan diri sebagai sosok anti-elite yang peduli dengan persoalan warga kecil.
Melalui narasi tentang garis keturunan Prabowo, bisa saja muncul kesan bahwa Prabowo adalah sosok yang sebaliknya, yakni terkesan elitis dan bangga akan garis keturunannya. Apalagi, jika merujuk pada pernyataan Fahri Hamzah di atas, garis keturunan ini seperti dijadikan sebagai sumber legitimasi bahwa Prabowo boleh melakukan apapun.
Terlebih, jika merujuk pada pernyataan dari Vilas, garis keturunan justru menjadi penanda posisi seseorang di dalam struktur masyarakat. Hal ini dapat membuat Prabowo justru terlihat dalam posisi elite, alih-alih memerangi kelompok tersebut.
7. Jika ditelusuri, leluhur Prabowo adalah Panglima Laskar Diponegoro untuk wilayah Gowong (Kedu), Raden Tumenggung Kertanegara III.
— Fadli Zon (@fadlizon) October 17, 2013
Memang, narasi tentang garis keturunan Prabowo dapat dengan mudah membuat legitimasi Prabowo mengemuka. Peran keluarganya yang ditarik jauh hingga ke era Mataram atau Majapahit memang dapat menunjukkan bahwa di darahnya mengalir keturunan sosok yang berpengaruh. Posisi dalam struktur masyarakat ini dapat membuat mobilisasi dukungan mengalir lebih mudah.
Hal ini terutama jika ia akan dikontraskan dengan lawannya, yaitu Jokowi. Jika diperbandingkan, garis keturunan Prabowo memang lebih unggul dan lebih mudah untuk menggiring massa ketimbang Jokowi. Apalagi, dengan informasi garis keturunan yang tak sebanyak Prabowo, Jokowi rentan diserang fitnah terkait dengan garis keluarganya.
Akan tetapi, di sisi yang berbeda, hal itu justru mengukuhkan bahwa posisi Prabowo dalam struktur masyarakat ada di tataran elite. Di atas kertas, sulit untuk melihat Prabowo anti-elite dan pro penderitaan masyarakat bawah jika ia terlahir dari keluarga mentereng. Apalagi, keturunan tersebut ternyata digunakan untuk membenarkan sikapnya seperti dalam kasus kata-kata Indonesia punah.
Oleh karena itu, idealnya Prabowo tidak hanya mencari legitimasi kekuasaan dengan merujuk pada struktur sosial melalui garis keturunan saja. Sumber legitimasi sebenarnya bukan hanya ada dari garis keturunan, sehingga idealnya, Prabowo dan pendukungnya bisa menggarap sektor lain agar suara masyarakat dapat diraup secara lebih maksimal. (H33)