Di Indonesia, karakter personal kandidat adalah faktor yang dianggap penting dalam membentuk pilihan politik pemilih.
Pinterpolitik.com
“Voters cast the ballots for the person, not the party”
:: adagium politik kontemporer ::
[dropcap]F[/dropcap]oto Ibu Negara, Iriana Joko Widodo yang sedang menunggu pesawat yang telat datang tersebar luas di media sosial. Tidak tanggung-tanggung, Iriana menunggu selama tiga jam.
Warganet pun ramai-ramai memberikan penilaiannya. Mayoritas dari mereka memuji sikap Iriana yang mau menunggu dengan sabar, dan terlebih tanpa adanya pengawalan. Dari pembicaraan tersebut, warganet juga menilai sosok Iriana sebagai pribadi yang sederhana dan bersahaja.
Lebih lanjut, mereka berujar bahwa Iriana adalah sosok yang tepat mendampingi Joko Widodo (Jokowi) sebagai ibu negara saat ini dan untuk lima tahun selanjutnya.
Keharominisan antara Jokowi dengan Iriana juga bisa dilihat dalam akun Instagram Jokowi. Dalam ungahannya tersebut, sering kali orang nomor satu di Indonesia itu mengunggah foto bersama Iriana dalam berbeagai kesempatan.
Apakah hal tersebut sesuatu yang biasa? Mungkin, jika Jokowi adalah orang biasa, maka jawabannya adalah ya. Namun, dalam konteks dirinya sebagai kepala negara sekaligus kandidat untuk Pilpres 2019, tentu unggahan-unggahan tersebut memiliki makna tersendiri.
Penampilan Iriana dalam berbagai kesempatannya di ruang publik, memberikan persepsi yang pada akhirnya berimplikasi terhadap Jokowi. Hal ini dalam konteks tertentu – tanpa menempatkannya secara personal – tentu saja kontras dengan yang terjadi pada Prabowo Subianto, mengingat sang jenderal telah bercerai dengan Titiek Soeharto.
Memang, dalam politik kontemporer, sisi personalitas masih dianggap penting oleh masyarakat. Karakter personal kandidat adalah faktor yang dianggap jauh lebih penting dalam membentuk pilihan politik pemilih.
Di Indonesia, sering kali faktor personalitas kandidat mengeser hal lain sebagai variabel yang paling menentukan kemenangan elektoral dalam Pilpres. Oleh sebab itu, para kandidat sering kali berlomba-lomba membentuk personalitasnya masing-masing di hadapan publik.
Lantas, pertanyannya adalah kenapa personalitas penting dan bagaimana hal itu memainkan peran dalam politik elektoral di Indonesia?
Personalitas Jokowi: Family Man
Bagi Jokowi, dirinya adalah jelmaan sosok yang sederhana atau low profile. Siapa saja cukup mudah mengidentifikasi citra Jokowi yang apa adanya tersebut. Ternyata hal tersebut tidak hanya melekat pada diri Jokowi, namun juga terlihat pada Iriana Jokowi.
Beberapa kali penampilannya yang tertangkap kamera menggambarkan sosok Iriana yang tidak kalah sederhananya dengan sang suami. Sebut saja misalnya ketika melakukan sesi foto dengan pewarta di Istana Negara, Iriana yang mengenakan gaun berwarna merah rela bersimpuh bersama para pewarta.
Selain itu, kunjungan Jokowi ke Merauke yang didampingi Iriana juga menyita perhatian. Foto yang diunggah melalui akun Instagram Jokowi memperlihatkan dirinya meresmikan Monumen Kapsul Waktu. Sementara Iriana terlihat sedang menggendong seorang anak warga lokal.
Mungkin hal ini terkesan konyol, menentukan pilihan politik melalui foto-foto yang tersebar di media sosial. Namun faktanya, banyak kandidat politik yang memanfaatkan sosok orang terdekatnya untuk meningkatkan citra personalitasnya. Misalnya saja Ani Yudhoyono yang memberikan efek tersebut untuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Michelle Obama terhadap Barrack Obama di Amerika Serikat (AS).
Dalam hal ini Jokowi bisa saja mendapatkan efek positif dari sosok Iriana yang terkonstruksi melalui media sosial.
Selain itu, penggambaran hubungan yang harmonis antara keduanya juga memiliki makna bahwa Jokowi adalah sosok yang mementingkan nilai-nilai kekeluargaan. Personalitas macam ini bisa jadi dapat menggugah pemilih. Apalagi, di Indonesia personalitas dalam kadar tertentu masih dianggap penting dalam menentukan pilihan politik.
Penggambaran seperti ini dalam politik disebut sebagai family man. Lema ini pertama kali digunakan oleh mantan Presiden AS Theodore Roosevelt. Menurut Lewis L. Gould dari Universitas Texas, Roosevelt menggunakan strategi ini untuk meningkatkan daya tarik publik terhadap dirinya.
Dengan menunjukkan kedekatan yang serupa, Jokowi bisa mendapatkan citra diri sebagai sosok yang memiliki sisi humanis, punya nilai-nilai keluarga, dan juga hangat. Ia tidak hanya dipandang sebagai seorang kepala negara dengan berbagai formalitasnya, tetapi juga seorang suami yang mencintai istrinya, anak-anaknya, juga cucunya Jan Ethes yang sempat pula tersorot kamera.
Bagi masyarakat Indonesia, nilai kekekluargaan masih dianggap penting. Menurut Kim Friedkin dan Patrick Kenney, ciri-ciri personalitas yang dilekatkan pada sosok politisi, akan penting untuk mendukung upaya kampanyenya.
Menurut mereka, kebanyakan masyarakat masih menggunakan metode evalusi sifat untuk menyatakan dukungannya. Oleh karenanya, perlu ciri-ciri personal yang positif agar mendapatkan penilaian yang baik.
Dengan ciri-ciri personalitas positif seperti itu, bisa jadi langkah Jokowi dengan menggandeng Iriana ke mana ia pergi – terlepas kewajarannya sebagai pasangan suami-istri – menjadi nilai positif untuk membentuk persepsi publik.
Personalitas Prabowo: Strongman
Sementara itu, posisi sebaliknya terjadi pada diri Prabowo Subianto. Meskipun sempat berupaya untuk mencitrakan dirinya sebagai sosok family man, misalnya dengan aksi saling unggah foto dengan mantan istrinya, Titiek Soeharto beberapa waktu lalu, namun ternyata upaya itu tidak berdampak signifikan. Sebab hal itu nampak seperti repetisi yang pernah dilakukan pada Pilpres 2014, dan publik sepertinya masih melihat hal itu sebagai sesuatu yang “kurang baik”.
Pada akhirnya personalitas yang menonjol dalam diri Prabowo adalah sosok pribadinya yang tegas, dan berjiwa disiplin tinggi.
Namun, bukan berarti Prabowo tidak memiliki personalitas yang dapat diperhitungkan. Dalam kadar tertentu, personalitas Prabowo yang tegas menjadi penting dalam kontestasi politik di Indonesia, terutama bagi kalangan milenial.
Sebab, dalam penelitian Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk dalam Journal of Democracy, terlihat bahwa terdapat pergeseran preferensi politik di kalangan anak muda saat ini.
Western narrative is often that Prabowo is a strongman and hence his supporters must simply be hardliners. Ignores that unlike Duterte he’s intellectual and speaks to educated people. Unlike Jokowi he’s also seen to have dedicated his life to Indonesia, started charities etc
— Max Walden (@maxwalden_) November 4, 2018
Dalam penelitian itu, terdapat pergeseran pandangan masyarakat dalam politik, misalnya anggapan tentang kemungkinan militer untuk berkuasa. Kemudian Foa dan Mounk juga menemukan bahwa ada kenaikan tingkat preferensi terhadap sosok pemimpin kuat. Menariknya, hal tersebut terjadi pada kalangan milenial.
Menurut Mounk, anak muda saat ini tidak mengalami kehidupan masa suram saat pemimpin fasis berkuasa. Dengan kualitas demokrasi dan kehidupan secara umum mengalami penurunan, mereka berharap ada sosok tangan kuat untuk menjadikan hidup jadi lebih baik.
Oleh sebab itu, bisa jadi dengan personalitas Prabowo yang kuat, dirinya akan diuntungkan jika mengacu pada penelitian Foa dan Mounk tersebut.
Hal ini dibuktikan juga oleh survei CSIS, di mana Prabowo lebih digemari oleh generasi milenial. Survei tersebut dilakukan menggunakan media sosial. Temuan CSIS menangkap bahwa penetrasi media sosial tergolong memiliki pengaruh kuat dalam generasi tersebut.
Hasil survei CSIS tersebut bisa saja memiliki kaitan dengan penelitian yang dibuat oleh Foa dan Mounk seperti disebutkan sebelumnya. Bisa saja gaya yang ditampilkan Prabowo saat ini jauh lebih memukau kelompok milenial ketimbang gaya Jokowi.
Taruhan Personalitas
Tentu saja sulit untuk menentukan personalitas mana yang paling unggul antara Jokowi dan Prabowo. Kedua personalitas tersebut sama-sama penting dan memiliki keunggulan masing-masing. Dari personalitas tersebut juga keduanya memiliki core voters atau pemilih inti.
Oleh karenanya, yang menarik untuk diketahui adalah tipe pemilih seperti apa yang ada di Indonesia, dan bagaimana kemungkinan pemilih tersebut mengartikulasikan pilihannya.
Dalam bukunya yang berjudul Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Firmanzah membagi tipologi pemilih dalam dua dimensi besar, yakni pemilih berorientasi policy-problem-solving (selanjutnya disebut orientasi kebijakan) dan pemilih yang berorientasi pada ideologi.
Lebih lanjut, ada empat karakter dalam memahami perilaku pemilih. Kategori pertama adalah pemilih rasional yang lebih melihat kandidat pada sisi personal dengan pendekatan psikologis
Kategori yang kedua adalah pemilih kritis yang mencoba menggabungkan antara dasar kebijakan dengan pemilih atas dasar ideologi.
Kelompok ketiga adalah pemilih skeptis yang merupakan pemilih kritis yang gagal menemukan kesejalanan ideologi dan program kandidat.
Sementara kelompok keempat adalah pemilih tradisional, yang paling mudah dimobilisasi selama periode kampanye. Kelompok ini adalah yang loyalitasnya begitu tinggi dan apa saja yang dikatakan oleh pemimpin kelompok adalah sabda yang tidak akan pernah terlihat salah atau keliru.
Dengan mengidentifikasi tipologi pemilih terebut, besar kemungkinan proses pemilihan antara Jokowi dan Prabowo sama-sama kuat. Jika mengacu pada berbagai survei belakangan ini, tingkat elektabilitas keduanya memang masih membentang di kisaran 20 persen, dengan Jokowi masih unggul terhadap Prabowo. Namun, bukan tidak mungkin jika Prabowo dapat menyalip Jokowi dalam beberapa waktu kedepan.
Oleh sebab itu, jika melihat bahwa preferensi politik masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan pada sisi personalitas, keduanya perlu membuat penebalan antara personalitas yang dapat menggugah persepsi publik.
Seperti yang disebutkan oleh Kim Fridkin dan Patrick Kenney bahwa mengkampanyekan personalitas itu penting, sebab pada umumnya, masyarakat senang membuat evaluasi sifat orang lain. (A37)