Pembunuhan karena perbedaan haluan politik di Madura menjadi sebuah ironi dalam demokrasi di Indonesia. Polarisasi politik menjelang Pilpres 2019 semakin memperkuat fanatisme dan melukai nilai-nilai kemanusiaan.
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]uka kembali datang dari dunia politik tanah air. Pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 menembak simpatisan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggunakan senjata rakitan.
Hilangnya nyawa Subaidi, warga Sokobonah, Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 21 November lalu tentu menjadi ironi bagi demokrasi di Indonesia.
Tragedi yang merenggut nyawa tersebut terasa semakin menguatkan polarisasi yang selama ini terjadi dalam masyarakat. Menariknya, dalam kejadian ini, sosial media ternyata berperan sebagai medium terjadinya konflik berdarah ini.
Mungkinkah tragedi ini adalah peringatan serius terhadap kebebasan bersosial media di Indonesia? Dan benarkah polarisasi politik dalam masyarakat telah berada pada level membahayakan?
Bahaya Polarisasi Politik
Polarisasi atau keterbelahan dalam politik menjadi diskursus yang populer belakangan ini. Bak penyakit, di berbagai belahan dunia, nampaknya tren ini menjangkiti masyarakat secara luas.
Menurut Morris Fiorinadan dan Samuel Abrams, polarisasi politik merujuk pada perbedaan sikap politik dengan ekstrem ideologis.
Secara khusus, dalam polarisasi politik, dibedakan menjadi dua jenis yakni polarisasi elite dan polarisasi massa.
"While core beliefs lead people to have different political opinions, they also obscure areas of agreement because they lead people to couch their arguments in different moral languages," writes @dyudkin @nytopinion https://t.co/uUDjj0ud7j
— Harvard Ash Center (@HarvardAsh) November 27, 2018
Delia Baldassarri dan Andrew Gelman dalam jurnalnya yang berjudul Partisans without Constraint: Political Polarization and Trends in American Public Opinion menyebut terjadinya polarisasi elite mengacu pada polarisasi yang terjadi dalam sistem pemerintahan demokratis parlementer dimana terjadinya gesekan-gesekan politik antar elite.
Sedangkan Nolan McCarty dalam jurnal berjudul Polarized America : the dance of ideology and unequal riches menjelaskan bahwa popular polarization atau polarisasi massa, terjadi ketika sikap pemilih terhadap isu-isu politik, kebijakan, dan kandidat sangat mencolok terbagi dalam garis partisan dan biasanya menyebabkan masyarakat cenderung menjadi kurang terbuka dan moderat dalam menghadapi perbedaan politik.
Kedua jenis polarisasi tersebut memiliki kait kelindan satu sama lain di mana seringkali polarisasi massa terjadi disebabkan karena terjadinya polarisasi elite.
Jika belajar dari negara lain, Thailand adalah salah satu contoh negara yang pernah mengalami keterbelahan ekstrem karena adanya polarisasi elite dengan munculnya kelompok pendukung kaos merah dan kaos kuning yang menyebabkan situasi politik di negeri gajah putih itu sempat memanas.
Adalah munculnya Front Demokrasi Melawan Diktator atau UDD yang juga dikenal sebagai kelompok kaos merah yang mendukung mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Sinawatra yang pada tahun 2006 digulingkan dalam sebuah kudeta. Banyak dari kelompok ini mendukung Thaksin karena kebijakan populisnya saat menjabat sebagai Perdana Menteri.
Sementara kubu kaos kuning disebut Aliansi Demokrasi Rakyat atau PAD yang terdiri dari kaum yang mendukung kerajaan, pengusaha serta warga kelas menengah perkotaan. Kelompok ini dipimpin oleh pengusaha media Sondhi Limthongkul dan Chamlong Srimuang, mantan jenderal yang memiliki hubungan erat dengan kerajaan. Kelompok ini diduga yang menginisiasi kudeta militer tahun 2006.
Chris Baker seorang pengamat politik Thailand, menyebut konflik kelompok kaos merah dan kaos kuning adalah cerminan polarisasi yang tajam dalam masyarakat Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia? Jika belajar dari Thailand, polarisasi massa adalah dampak adanya polarisasi yang terjadi dalam tataran elite. Nampaknya, hal tersebut juga terjadi di Indonesia.
Tim pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sedang bertarung menuju Pilpres 2019 memang kerap kali mengeluarkan pernyataan dan tindakan yang saling menyerang dan olok-olok yang pada akhirnya mengkonstruksi kebencian pada tingkat pendukung akar rumput.
Sehingga secara tidak langsung sebenarnya elite juga berperan dalam menyebarkan kebencian kepada para pendukungnya dimana telah membentuk fanatisme yang berlebihan.
Konflik Idris dan Subaidi bisa dibilang sebagai dampak polarisasi ekstrem yang kini menjangkiti masyarakat. Secara sosiologi politik, kebencian yang terus didengungkan melalui media dan ruang publik pada kadar tertentu bisa saja akan menjadi sebuah konstruksi dan delusi secara massal.
Peran Media sosial
Tragedi berdarah antara di Madura tersebut sebenarnya bersumber dari perkara di media sosial. Saling ejek dan tantang di media sosial Facebook ternyata tidak cukup bagi Subaidi dan Idris. Perbedaan pilihan tajam di antara keduanya kemudian harus berujung dengan timah panas bersarang di dada Subaidi.
Tragedi Facebook berdarah tersebut menjadi selaras dengan pendapat Marc Hetherington dalam tulisan Putting Polarization in Perspective yang menjelaskan bahwa media, dalam konteks ini sosial media, memainkan peran penting dalam terjadinya polarisasi politik.
Lingkungan media di Indonesia saat ini sayangnya telah terfragmentasi dan menyebabkan hilangnya kredibilitas penyampaian berita berimbang.
Prihatin sama kasus pembunuhan akibat beda pilihan capres, kadang saat ini politik juga menjadi media kekerasan ya…
Ironis.
— Riko (@oranduenijeh) November 27, 2018
Menurut Fahmi Ramadhiansyah, peneliti dari Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada hal tersebut terjadi karena media sosial telah berubah menjadi platform di mana politik pasca-kebenaran dan propaganda komputasional tumpang tindih di tengah teknologi algoritma yang akhirnya mengubah politik.
Kasus pembunuhan karena beda pilihan capres juga sebagai bentuk penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab sebagai alat politik akan semakin mengintensifkan perpecahan antara kelompok-kelompok politik, dan bahkan lebih buruk lagi, memperbesar kepicikan di antara masyarakat.
Sampai taraf tertentu, mengklaim bahwa media sosial telah berkontribusi pada polarisasi politik yang menyebabkan terjadinya kepicikan masyarakat Indonesia sepertinya memang benar adanya.
Realitas tersebut juga diperkuat dengan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika di mana menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, potensi konflik horisontal di media sosial semakin meningkat.
Idealnya, diskursus berpolitik sehat harus menjadi konsen bagi para politisi yang sedang bertarung menuju Pilpres 2019 Share on XIndikasi tersebut menguat dilihat dari jumlah konten provokasi, menyebarkan kebencian antar golongan, antar pendukung calon presiden nomor urut satu dan nomor urut dua, yang telah diblokir sebanyak sekitar 6.000 selama kurun dua bulan terakhir di seluruh platform; Twitter, Instagram, Facebook, dan WhatsApp Group.
Dalam kasus ini, media sosial pada akhirnya menjadi common tragedy yang sangat merugikan bagi masyarakat namun bisa saja dimanfaatkan oleh politisi untuk memuhi hasrat kepentingan politik mereka.
Polarisasi Politik = Hooliganism?
Apakah polarisasi politik berpotensi memunculkan politics hooliganism? Tentu hal tersebut menarik untuk ditelaah mengingat masih banyak potensi konflik lain akibat panasnya suhu politik menjelang Pilpres 2019 disamping kasus pembunuhan beda capres di Madura.
William Rosenberg dan Diane Koenker menjelaskan politics hooliganism adalah hubungan antara aksi kolektif dan kriminal yang didorong oleh motif politik, terutama ketika tindakan tersebut melibatkan kekerasan.
Meskipun istilah hooligan kerap kali dipakai dalam konflik sepak bola, bukan tidak mungkin bahwa polarisasi politik ekstrem akan membawa pada hooliganism di tahun politik ini di Indonesia.
Jika merujuk pada yang terjadi di Thailand, menurut laporan Human Right Watch, kisruh antara kaos merah dan kaos kuning juga tak terlepas dari fenomena hooliganism yang menyebabkan sedikitnya 90 orang tewas dan lebih dari 2.000 terluka dalam bentrokan antara dua kubu.
Menyedihkan sikonnya ya 🙁
Bukan cuman putus pertemanan/cinta, udah sampe pembunuhan segala gara-gara beda pilihan capres!
Padahal kalo capresnya sukses juga dia blom tentu kena imbasnya. Ego aja 🙁Kronologi Kasus Penembakan Akibat Cekcok Pilihan Capres https://t.co/ETEVk6u8Ib
— LEONITA JULIAN (@leonisecret) November 25, 2018
Lalu mungkinkah hal serupa juga terjadi di Indonesia? Mengingat bahwa nyawa menjadi begitu murah di banding dengan perbedaan politik, bukan tidak mungkin konflik Pilpres 2019 di tataran akar rumput akan memicu aksi hooliganism.
Dalam konteks politik Indonesia, seperti dikutip BBC, meskipun para elite mengklaim telah melakukan sejumlah langkah untuk mencegah percekcokan di kalangan akar rumput, namun sayangnya selama ini tidak sepenuhnya menyentuh lapisan bawah sehingga konflik horisontal rentan terjadi.
Bukan tidak mungkin Indonesia pun akan mengalami hal serupa dengan Thailand jika polarisasi politik tetap dibiarkan.
Idealnya, diskursus berpolitik sehat harus menjadi konsen bagi para politisi yang sedang bertarung menuju Pilpres 2019.
Dan lebih penting lagi, menjadi pemilih dan partisan yang cerdas adalah upaya terbaik untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan ini. Jika tidak, mungkin saja kasus pembunuhan beda capres di Madura akan terulang kembali di masa-masa mendatang. (M39)