Efektifkah menjadikan Jokowi App sebagai senjata politik baru Jokowi?
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]erkembangnya kampanye melalui media digital disebut-sebut sebagai konsekuensi logis dari adanya Revolusi Industri 4.0 yang belakangan menjangkiti banyak negara, termasuk Indonesia.
Selama ini, pemanfaatan platform digital di Indonesia lebih populer di gunakan dalam sektor ekonomi dan bisnis, dan dampaknya cukup signifikan bagi perkembangan ekonomi dalam negeri.
Namun, dewasa ini perkembangan media digital menjadi salah satu peluang manis bagi para politisi. Selain untuk tujuan ekonomi, pemanfaatan teknologi jenis ini juga masif digunakan dalam memaksimalkan dukungan politik.
Sayangnya, selama ini industri digital politik di Indonesia selalu dicitrakan buruk karena maraknya kasus hoaks dan tingkah buzzer politik yang menyebabkan tingginya polarisasi dalam masyarakat.
Demi merespons gegap gempita revolusi 4.0 dan polarisasi politik akibat hoaks, kemarin Tim Kampanye Nasional atau TKN Jokowi-Ma’ruf Amin meluncurkan aplikasi digital yang bernama Jokowi Apps.
Erick Tohir, sang ketua TKN menyebut bahwa aplikasi ini bertujuan untuk mendekatkan TKN Jokowi Ma’ruf Amin dengan masyarakat dan pemilih. Selain itu, fungsi aplikasi ini disebut sebagai ikhtiar menepis adanya hoaks yang selama ini beredar di masyarakat.
Selain Jokowi App, terdapat juga website www.01jokowiamin.id yang menjadi medium bagi TKN untuk mendekatkan diri dengan konstituen.
Langkah TKN sepintas memang terkesan canggih dan kekinian di tengah buramnya potret kampanye kedua calon yang akhir-akhir ini disorot karena tak adanya adu gagasan serta keterbaharuan ide menyoal permasalahan yang mengakar di masyarakat.
Namun, akankah akomodasi kubu petahana tentang kampanye digital model baru ini akan efektif mengurangi stigma buruk kampanye yang selama ini beredar di platform digital yang sudah ada layaknya sosial media? Dan benarkah kampanye jenis ini akan berhasil memaksimalkan suara pemilih di 2019 nanti?
Senjata Politik Baru
Banyak cara untuk menciptakan senjata politik. Salah satunya menggunakan media digital. Sejauh ini, perkembangan dunia digital memang menjadi salah satu pilihan menarik dalam marketing politik di berbagai belahan dunia.
Dalam konteks politik, penggunaan media digital dalam marketing politik sebenarnya telah dimulai di Amerika Serika sejak era Barack Obama maju mencalonkan diri menjadi kandidiat presiden AS di tahun 2008.
Kala itu, Obama menggunakan platform Facebook yang baru saja mengudara di jagat maya dan terbukti efektif menjadi medium bagi kampanyenya. Setelah itu, popularitas Facebook pun meningkat menjadi platform digital yang bisa di bilang berpengaruh dalam politik.
Menurut Ed Pilkington dan Amanda Michel, seperti yang dikutip The Guardian, memperkirakan Facebook akan dan bisa menjadi kekuatan politik yang dominan kala itu.
Mereka menyebut bahwa raksasa media sosial telah muncul dan tumbuh secara eksponensial sejak pemilihan presiden, menjadikannya untuk pertama kalinya alat kampanye besar yang memiliki potensi untuk mengubah persahabatan menjadi senjata politik.
Judith Freeman dari New Organizing Institute, yang bekerja sebagai konsultan digital kampanye Presiden John Kerry tahun 2004 dan Obama tahun 2008 pun juga mengatakan hal serupa bahwa ada lompatan ke depan dalam teknologi di setiap siklus pemilu presiden.
Unsur direct selling Jokowi berpotensi tidak maksimal karena aplikasi ini terbatas hanya pada orang yang sudah pasti memilih Jokowi Share on XPotensi tersebut kiranya telah banyak menginspirasi politisi-politisi dunia dewasa kini, termasuk di Indonesia. Maksimalisasi media digital sebagai platform kampanye nampaknya sudah mulai dilirik oleh TKN ditandai dengan mengudaranya Jokowi App dan website Jokowi-Ma’ruf Amin. Bahkan, belum lama diluncurkan, Jokowi App menduduki trending nomor satu di Google Playstore.
Jika dibandingkan dengan Facebook, memang aplikasi ini tak sebesar aplikasi milik Mark Zuckerberg tersebut. Namun, secara fungsi, JokowiApps bisa dibilang lahir dari inovasi dan kreativitas politik yang tengah menjadi semangat global hari ini, selaras dengan apa yang disampaikan Pilkington dan Michel, maupun Freeman.
“Relawan harus satu dan solid untuk memperjuangkan pasangan nomor satu,” tegas Erick.
Jadi, tunggu apalagi? Segera unduh aplikasi ‘Jokowi App’ di ponsel Anda dan temukan kegembiraan politik dalam masa kampanye Pemilu yang menyatukan Indonesia! pic.twitter.com/49m2JrDmeD
— Jokowi App (@jokowiapp) November 18, 2018
Namun, dalam konteks kampanye digital di Indonesia, eksistensi aplikasi ini patut untuk dipertanyakan. Pada satu sisi, peluncuran Jokowi App memang memunculkan semangat baru kampanye positif melalui media digital.
Tapi di sisi lain, seberapa kokoh bangunan platform digital ini mampu menghalau negative campaign yang selama ini dihasilkan oleh buzzer-buzzer politik? Tentu hal tersebut yang kini menjadi pertanyaan besar.
Strategi Propaganda, Berhasilkah?
Di tahun politik ini, pekerjaan rumah terberat TKN adalah memastikan kemana arah pilihan suara swing voters di Indonesia yang masih cukup tinggi.
Hasil survei SMRC misalnya, menyebut bahwa partai-partai politik di Indonesia diperkirakan harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan sekitar 40% swing voters jika ingin memaksimalkan suara di Pilpres 2019.
Prabowo Minta Doa ke Kiai Tasikmalaya, Jokowi Punya Aplikasi https://t.co/O1cAKGSPU1
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) November 17, 2018
Jika ditelisik, peluncuran Jokowi Apps bisa jadi sebagai medium untuk merebut swing voters karena visinya yang ingin mendekatkan diri ke pemilih.
Secara teoritis, sebenarnya menurut Philippe J. Maarek, seorang Professor komunikasi politik University of Paris East, media digital berpotensi sebagai media yang efektif untuk mempengaruhi swing voters.
Ia juga menyebut bahwa media digital mampu menjangkau pemilih potensial yang bahkan tidak tertarik dalam politik sekalipun. Hal tersebut tidak terlepas dari kemampuan media digital untuk mengarahkan dan menghubungkan para apolitis ini ke politisi atau partai dengan mudah melalui konten-konten propaganda visual, misalnya platform seperti YouTube atau Dailymotion.
Dalam konteks peluncuran Jokowi Apps, jika merujuk pada 6 kanal yang ditawarkan diantaranya Lebih Dekat Jokowi, Kerja Jokowi, Lebih Dekat KH Ma’ruf Amin, Indonesia Maju, Sudut Pandang, dan yang terakhir Suaraku, aplikasi ini memang menjalankan agenda propaganda politik Jokowi menjelang 2019.
Tapi efektifkah menjadikan aplikasi besutan PT. Ochabawez Dinamika Persada ini sebagai senjata politik baru Jokowi? Jawabannya bisa jadi belum tentu.
Jika melihat pada karakteristik pemilih Indonesia, tidak semudah itu menarik perhatian massa melalui aplikasi semacam Jokowi App.
Jika dibandingkan dengan Facebook sebagai senjata politik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentu medium ini bukanlah suatu medium yang populer, sepopuler media sosial Facebook atau media arus utama seperti televisi. Sejauh mana efektivitas medium ini untuk bekerja seperti buzzer politik juga masih belum jelas.
Selain itu, pendekatan direct selling dalam komunikasi politik masih menjadi cara yang lebih efektif di Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jacques Lendrevie dan Julien Levy, di mana terdapat evolusi standar komunikasi dan marketing politik yang awalnya hanya sebatas menggunakan media massa seperti koran dan televisi, lalu kemudian berkembang menjadi teknik ‘pemasaran langsung’ melalui surat massal, panggilan telepon, dan menggunakan survei, kini telah bergeser dengan adanya cara-cara yang lebih ‘akrab’ untuk terhubung dengan konstituen melalui direct atau personal komunikasi.
Sudah sejauh mana aplikasi ini beroperasi pada wilayah direct selling menjadi pertanyaan yang jawabanya masih ambigu. Tidak bekerjanya aplikasi ini sebagai political force bisa jadi menjadi penghambat optimasi efektivitas aplikasi ini.
Memang, hadirnya aplikasi dapat meningkatkan unsur direct selling kepada pemilih. Akan tetapi, aplikasi telepon pintar merupakan jenis platform yang penggunaannya bergantung pada pilihan pengguna telepon. Pengguna umumnya hanya akan memasang aplikasi yang ia sukai atau ia anggap berguna.
Pakar media sosial sekaligus pngembang aplikasi Drone Emprit, Ismail Fahmi, mngatakan kubu pasangan capres no.urut 01, Jokowi – Ma'ruf, lebih banyak memanfaatkan akun robot dlm kampanye di media sosial ketimbang pihak kandidat no. urut 02, Prabowo – Sandihttps://t.co/KrDQ3qd3AY
— Erna Sitompul (@erna_st) November 14, 2018
Merujuk pada kondisi tersebut, ada potensi aplikasi ini hanya akan diunduh oleh orang-orang yang sejak awal sudah memutuskan akan memilih Jokowi. Unsur direct selling kemudian berpotensi tidak maksimal karena aplikasi ini bisa jadi terbatas hanya pada orang yang sudah pasti memilih Jokowi. Hal ini dapat membuat Jokowi App memiliki kelemahan sebagai alat propaganda.
Pada titik itu, peran aplikasi sebagai media digital yang bisa menggaet swing voters seperti diungkapkan Maarek boleh jadi tidak maksimal. Dibandingkan dengan aplikasi seperti Facebook misalnya, aplikasi ini akan kalah pamor.
Perlu diakui, aplikasi ini memang jadi salah satu terobosan dalam kampanye politik. Akan tetapi, jika tidak ada kekuatan memaksa yang mendorong, Jokowi App bisa saja hanya menjadi alat propaganda yang lemah. Jika sudah begitu, mungkin perlu ada cara lain, meng-engage bundelnya dengan aplikasi populer lain seperti Facebook mungkin? (M39)