Dalam konteks hukum dan politik, memang nasib perempuan di Indonesia bisa dibilang tak seberuntung laki-laki
PinterPolitik.com
“If the feminine issue is so absurd, is because the male’s arrogance made it a discussion” Simone de Beauvoir
[dropcap]A[/dropcap]dagium hukum tumpul ke atas tajam ke bawah nampaknya masih menjadi realitas di negeri ini. Setelah kasus perkosaan yang menimpa salah satu mahasiswa UGM beberapa waktu yang lalu dan berakhir tanpa ada proses hukum yang adil, kini kasus hampir serupa kembali menimpa perempuan Indonesia.
Baiq Nuril Maknun, mantan guru honorer di SMA N 7 Mataram menjadi korban kriminalisasi akibat kasus penyebaran rekaman berisi percakapan asusila yang melibatkan dirinya dengan kepala sekolah di tempat ia biasa mengajar.
Padahal, bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Ia mengaku jengah karena sebelumnya sang kepala sekolah kerap melecehkannya secara seksual. Penyebaran rekaman tersebut merupakan bentuk pembelaan Baiq Nuril, karena pelecehan itu sebetulnya terjadi lebih dari sekali.
Akhirnya, ia dinyatakan bersalah dengan tuduhan menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Kasus itu membuat komitmen pemerintah untuk mendukung HAM, penegakan hukum, dan kesetaraan gender semakin dipertanyakan.
Sayangnya, isu gender sering kali menjadi komoditas yang hanya dimanfaatkan oleh para politisi menjelang pemilu berlangsung. Terlebih, kedua kubu yang akan bertarung dalam Pilpres 2019 pernah menyatakan komitmennya mendukung kesetaraan dan keadilan gender.
Lalu bagaimana sesungguhnya ketidakadilan gender dan hukum ini dapat dijelaskan dalam kacamata politik? Apa yang menyebabkan perempuan selama ini rentan dieksploitasi secara seksual maupun politik?
Eksploitasi Perempuan di Tahun Politik
Dalam konteks hukum dan politik, memang nasib perempuan di Indonesia bisa dibilang tak seberuntung laki-laki.
Kami geram, marah, tenaga kami rontok begitu saja ketika mendengar apa yang dialami oleh Nuril, korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi. #SaveIbuNuril
— Remotivi (@remotivi) November 15, 2018
Betapa tidak, kuatnya dominasi maskulinitas dalam interaksi sosial, ekonomi, politik seringkali menyebabkan perempuan kehilangan ruang aktualisasi diri, bahkan tercederai keadilannya.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Pierre Bourdieu, dalam karya fenomenalnya La Domination Masculine yang menjelaskan tentang dominasi maskulin dalam sistem sosial yang pada akhirnya sangat merugikan perempuan.
Teori ini bertumpu pada pandangan bahwa perempuan yang selalu diidentikkan dengan dapur, sumur, dan kasur, sedangkan lelaki yang selalu diidentikkan dengan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan usaha keras.
Ia juga menyinggung kondisi tersebut dilestarikan dengan cara yang sedemikian mudah, misalnya dengan perlakuan istimewa yang menyentuh ranah psikologis perempuan.
Bourdieu juga melihat bahwa salah satu efek dominasi maskulin yang bisa diamati dalam keseharian adalah adanya dominasi dimana menjadikan perempuan sebagai barang-barang simbolik.
Secara sederhana misalnya, bagaimana perempuan merasa bangga dapat menjadi pasangan yang tampak membanggakan pasangannya. Sehingga dominasi maskulin selalu mengharap bahwa perempuan itu harus bersifat feminin, tunduk, dan tidak banyak bicara.
Relasi tersebut yang pada akhirnya menempatkan perempuan secara tidak sadar selalu pada posisi tersubordinasi, terlebih dalam konteks politik hari ini. Hal ini terlihat dari upaya pengentasan ketimpangan gender yang tidak pernah benar-benar menjadi konsen bagi pengambil kebijakan.
Dengan kasus Baiq, UU ITE menjadi ironi hukum bagi perempuan di Indonesia. Share on XBanyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya adalah lemahnya kebijakan publik yang bersumber dari sudut pandang perempuan. Sehingga seringkali produk kebijakan cenderung bersifat maskulin.
Hal ini diperkuat dengan argumentasi Toni Schofield dan Susan Goodwin dalam Jurnalnya yang berjudul Gender Politics and Public Policy Making: Prospects for Advancing Gender Equality bahwa masih menguatnya “masculine hegemony” dalam rezim pengambil kebijakan menyebabkan terjadinya gender inequality. Dalam hal ini, perempuan yang paling sering berada di posisi tidak diuntungkan. Salah satu contohnya adalah ketidakberdayaan melawan narasi hukum yang menjerat Baiq Nuril.
Di Indonesia, celakanya dominasi maskulin itu tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup pengambilan kebijakan tetap juga dalam konteks politik praktis. Dominasi maskulin dalam politik terjadi dalam bentuk kapitalisasi perempuan sebagai objek politik dan berhenti sebatas sebagai alat politik.
Hal ini tergambar misalnya melalui kesadaran politisi Indonesia tentang potensi politik yang dimiliki perempuan. Dengan adanya realitas bahwa jumlah pemilih perempuan di Indonesia yang mencapai hampir 50 persen, mendorong para politisi laki-laki untuk berlomba mengoptimalkan corong kampanye mereka melalui gerakan perempuan.
Di kubu petahana, ada organisasi yang tergabung dalam Perempuan Kreatif, Enerjik, Religius, dan Nasionalis atau Keren Bravo 5 yang menjadi corong kampanye Jokowi. Beberapa waktu lalu, organisasi ini menyatakan dukungannya terhadap pasang calon nomor urut satu.
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 Sandiaga Uno juga tak ketinggalan dengan lebih dulu memunculkan diksi emak-emak yang sempat viral dan upayanya dalam membentuk partai emak-emak. Gerakan ini kini bahkan memiliki website bertajuk partaiemakemak.co.id.
Belum lama ini, demi ingin memaksimalkan raihan suara pada Pilpres 2019, Sandi meminta pendukungnya yang sudah tergabung dalam partai emak-emak tersebut untuk merayu pendukung kubu petahana dan membujuk agar mau mengalihkan dukungan ke Prabowo Subianto.
Teori Bourdieu yang menempatkan perempuan sebagai barang-barang simbolik terkesan relevan dengan realitas tersebut. Perempuan dalam konteks elektoral seperti hanya menjadi bagian dari upaya para politisi untuk mempertahankan dominasi maskulinnya.
Yth bapak @jokowi
Saya mau sampaikan surat Ibu Nuril & anaknya buat bapak. Anaknya selama ini taunya Ibunya itu sekolah selama dipenjara bbrp waktu lalu. Semoga hati bapak tergerak. Ibu Nuril adalah korban pelecehan, dia tak layak dipenjara lagi & didenda 500jt #SaveIbuNuril pic.twitter.com/HeLVR1AULc
— #UKANIBRAHIM (@ustadgo) November 15, 2018
Melihat tingkah laku para politisi tersebut, alih-alih mengembangkan program untuk perlindungan terhadap perempuan dan kesetaraan gender, mereka justru terkesan mengeksploitasi kemampuan politik perempuan untuk kepentingan suaranya.
Dampak buruknya adalah dominasi maskulin dalam politik pada akhirnya akan memunculkan pemerintahan yang maskulin yang terkesan setengah hati menyelesaikan kasus-kasus ketidakadilan pada perempuan.
UU ITE, Ironi Hukum di Indonesia
Keadilan gender memang menjadi diskursus global ditengah perubahan dunia yang juga menuntut adanya kesetaraan bagi perempuan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Tapi nampaknya keadilan gender sulit tercapai bagi perempuan di Indonesia. Ditengah budaya masyarakatnya yang masih menempatkan kaum perempuan dalam dikotomi gender, menjadi perempuan di Indonesia nampaknya memang tak mudah.
Dengan peran yang hanya diidentikkan dengan urusan domestik, kerap kali posisi perempuan memang tak diuntungkan, terlebih menyoal hukum dan seksualitas.
Realitas Baiq Nuril semakin membenarkan bahwa perempuan Indonesia hingga hari ini masih menjadi kaum subordinat dimata hukum, apalagi di mata negara.
Untuk menyelamatkan ibu Nuril, maka terdapat dua jalan, yaitu tetap menempuh jalur hukum yaitu mengajukan Peninjauan Kembali dengan mencari bukti baru atau meminta Presiden menggunakan hak-nya berdasarkan konstitusi yaitu memberikan Amnesti.https://t.co/IjA2heoTam
— Perkumpulan ICJR (@ICJRid) November 14, 2018
Dalam kasus ini, keadilan bagi perempuan sulit diwujudkan karena sistem peradilan yang belum berpihak pada korban kekerasan seksual dan menjadi penyebab ia dinyatakan bersalah. Terlebih adanya keberadaan UU ITE kian mempersulit korban kekerasan seksual yang berupaya mencari keadilan.
Menurut anggota Komnas Perempuan Sri Nurherawati, kasus Baiq Nuril adalah hasil dari adanya sistem hukum di Indonesia yang belum kompeten untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual. Hal ini bisa terlihat dari paradigma penegak hukum yang kerap kali memiliki pola pikir maskulin.
Sejatinya Indonesia sudah memiliki Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman bagi hakim untuk memahami posisi perempuan di hadapan hukum sesuai perspektif gender dan HAM.
Namun dalam kasus Baiq, fakta persidangan tak menunjukkan adanya upaya hakim untuk membela perempuan dengan aturan tersebut.
Indonesia darurat revisi Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik atau UU ITE. Mungkin kini itulah seruan yang paling tepat bagi pemerintah jika berkaca pada kasus Baiq Nuril.
Dengan kasus Baiq, UU ITE menjadi ironi hukum bagi perempuan di Indonesia. Alih-alih melindungi perempuan dari praktik kekerasan, kini yang terjadi justru kriminalisasi terhadap korban pelecehan seksual.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fiona Suwana, dari Queensland University of Technology (QUT), yang menilai bahwa jeratan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik hanya karena mengeluh terhadap kondisi yang dialaminya melalui sosial media telah memakan banyak korban di Indonesia.
Sehingga, banyak pengamat yang telah mengkritik UU ITE ini sebagai peraturan yang berpretensi menyebabkan orang memilih bungkam atau “self censorship” atas kondisi ketidakadilan yang ada di masyarakat.
Pada akhirnya, selain ironi politik maskulin, ironi keadilan penegakan hukum yang masih menempatkan perempuan jauh dari keadilan bisa jadi yang menyebabkan ikhtiar penegakan keadilan gender di Indonesia selama ini juga tak berjalan maksimal.
Jika memang demikian, korban kekerasan seksual layaknya Baiq Nuril akan terus berjatuhan di masa mendatang. (M39)