Merujuk pada hasil survei Alvara, nampaknya tim oposisi patut merasa berada di atas angin karena Sandiaga effect juga tak kalah populer dari Jokowi effect
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]lvara Research Center merilis hasil survei tentang sosok calon presiden dan wakilnya dalam kacamata kapabilitas kreativitas yang dimiliki seluruh paslon. Kreativitas atau creativity yang dimaksud dalam survei ini adalah menggunakan cara-cara kreatif dalam berkomunikasi dengan pemilih.
Hasilnya cukup membuat publik terkejut. Menyoal indikator tersebut, perolehan poling untuk petahana disejajarkan dengan sosok Sandi yang hanya sebagai wakil.
Dalam survey tersebut, Alvara mengukur bagaimana publik menilai masing-masing kandidat dalam mendekati pemilih milenial melalui lima indikator yaitu practicality, authenticity, novelty, interactivity, dan creativity.
Untuk hasil survei, Jokowi unggul di tiga indikator, yakni authenticity, practicality, dan interactivity. Sedangkan untuk indikator novelty, hasil survei calon wakil presiden penantangnya, Sandiaga Uno cenderung mengimbangi.
Sementara dari indikator creativity, Sandiaga unggul dari Jokowi. Sandiaga Uno unggul secara kreatifitas dengan perolehan 62 persen, mengalahkan Jokowi dengan perolehan 59,8 persen.
Tentu hasil tersebut sebenarnya tidak apple to apple. Tapi begitulah penilaian publik. Bahwa ternyata sosok Sandiaga justru lebih mampu bersanding dengan Jokowi ketimbang dengan Jokowi dengan Prabowo atau Sandiaga dengan Ma’ruf Amin.
Lalu, mungkinkah kreativitas dalam menghadirkan kesegaran citra dalam politik ala Sandiaga memiliki potensi bahaya bagi petahana? Ataukah Jokowi effect masih lebih ampuh dibandingkan Sandiaga effect?
Kreativitas Dalam Politik
Kreativitas adalah bagian penting dalam sebuah kampanye politik. Di era milenial, bagi sebagian orang, politik adalah hal yang membosankan, apalagi bagi anak muda. Sehingga kondisi ini harus diakali supaya politik lebih terkesan lebih fun dan dapat diterima dengan mudah.
Nampaknya dasar itulah yang menjadikan kontestasi menjelang Pilpres 2019 di Indonesia terasa lebih panas. Baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo cukup responsif dalam menanggapi perubahan kultur dalam politik ini.
Berbicara tentang kreativitas, tak bisa dilepaskan dari peran budaya pop yang memaksa politisi untuk beradaptasi dengan sesuatu yang sedang tren atau viral saat ini. Lalu apa itu budaya pop dan bagaimana signifikansinya dalam politik?
Menurut Julie McGaha dalam tulisanya Popular Culture & Globalization, budaya populer adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya. Melalui media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan masyarakat dan akhirnya menjadi suatu hal yang populer.
Dalam politik modern, budaya populer menjadi semakin penting sebagai alat komunikasi politik. Hal ini diungkapkan Liesbet Van Zoonen dalam tulisanya Popular Culture as Political Communication yang menjelaskan bahwa fungsi budaya populer adalah sebagai panggung politik.
Ia juga mencontohkan banyak anekdot para politisi yang tampil di panggung budaya populer yang akhirnya berhasil menarik simpati para pemilihnya. Misalnya Bill Clinton yang tampil dalam salah satu talk show populer Amerika, Arsenio Hall, di tahun 1992. Pada waktu itu, ia memainkan saksofon yang seketika membuat dirinya kian populer menjelang pemilu.
Ada contoh politisi lain misalnya seperti Harold Wilson, mantan perdana menteri Inggris yang pada saat kemunculan band fenomenal The Beatles, ia mendapat simpati publik secara luas setelah berfoto dengan band yang sempat diketuai John Lennon tersebut. Boris Yeltsin, mantan presiden Rusia juga pernah mendompleng ketenaran sebuah band rock ketika menari bersama di panggung.
Dalam konteks politik Indonesia, kejenakaan penampilan Jokowi yang terkesan lebih pop melalui aksi menunggangi sepeda motor pada pembukaan Asian Games beberapa waktu lalu misalnya, bukan berarti tak memiliki tujuan secara politik. Aksi Jokowi tersebut memang dimaksudkan untuk mendatangkan atensi di media masa dan ledakan meme di internet.
Bahkan, sempat muncul istilah Jokowi effect yang diciptakan media untuk mendeskripsikan pengaruh kepopuleran Jokowi dalam kancah politik Indonesia.
Jokowi memang fenomenal berkat kreativitasnya dalam merangkul segmen pemilih terutama anak muda melalui cara-cara tersebut. Selain melalui cara-cara formal, kepopuleran Jokowi meningkat melalui pendekatan-pendekatan informal seperti melalui politik fashion.
Sebut saja beberapa fenomena Jokowi menyoal gayanya yang dianggap seperti anak muda melalui jaket bomber, jaket jeans, sepatu sneakers, modifikasi motor, menyukai musik metal, hingga menggunakan istilah-istilah dari film fiksi populer dalam pidato resmi kenegaraan.
Namun, dari kubu penantang kini juga tak mau kalah. Adalah Sandiaga Uno, calon wakil presiden nomer urut 02, pendamping Prabowo Subianto yang digadang-gadang popularitasnya mampu menantang sang petahana.
Hal ini tak terlepas dari kreativitasnya dalam memunculkan materi kampanye yang extraordinary atau bahkan terkesan mengikuti cara-cara petahana. Jika melihat aktivitas Sandiaga di media sosial, ia kerap kali mengadopsi sesuatu yang sedang tren di kalangan anak muda.
Misalnya, melalui video seberapa gereget dalam akun Instagramnya. Selain itu, ia juga tak ragu untuk menggaet para influencer instagram atau selebgram untuk terlibat dalam aktivitas daringnya.
Menyoal busana dan pembawaan, Sandi juga tak mau kalah dengan Jokowi. Ia mulai sadar bahwa pembawaan ‘anak muda’ itu penting dalam konteks politik. Apalagi ia diberkahi oleh tampang rupawan dan gelimang harta.
Meskipun usianya juga tak muda-muda amat, Sandi tetap berupaya berpenampilan selayaknya anak muda seperti memakai sneakers dan celana chino sebagai identitas kemudaanya.
Fenomena diatas adalah bentuk kemampuan para politisi mengakulturasi budaya pop sebagai senjata politik. Selain itu, dalam kadar tertentu, karakteristik pribadi para politisi serta persepsi publik yang dicitrakan melalui budaya pop ini sangat dipengaruhi bagaimana representasi mereka dalam media.
Untuk mengkonstruksi hal tersebut, para politisi harus menyesuaikan kebutuhan pencitraan dengan mempertimbangkan budaya politik yang ada. Sehingga, aksi-aksi para politisi di atas telah menjadi bagian penting dari karakteristik kampanye kontemporer dimana budaya pop atau budaya kekinian memainkan peran penting dalam mengkonstruksi personalitas politik.
Jokowi Versus Sandiaga, Gereget Mana?
Kontestasi merebut hati para milenial menjadi penting bagi kedua calon presiden dan wakilnya dalam menghadapi Pilpres 2019. Namun, merujuk pada hasil survey Alvara, nampaknya tim oposisi cukup bisa bernapas lega karena Sandiaga effect juga tak kalah populer dari Jokowi effect.
Pada titik itu, kubu petahana tentu patut khawatir. Terlebih, jika berbicara jam terbang secara politik, Jokowi harusnya lebih unggul secara personality dibanding Sandiaga.
Menariknya, majalah The Economist dalam artikel yang berjudul Wooing young voters in Indonesia, menyebut bahwa pada pemilu 2014 suara milenial atau pemuda memang cenderung memilih Jokowi yang dianggap sosok reformis.
Namun, menjelang Pilpres 2019 kali ini, ada pergeseran konstelasi politik di mana kesenjangan suara di kalangan pemuda semakin melebar walaupun beberapa survei menyebut bahwa elektabilitas Jokowi cukup tinggi.
Sehingga, The Economist menilai bahwa akan terjadi pertarungan perebutan suara pemilih millennial antara kubu Jokowi dan Prabowo. Hal ini terkait dengan bergesernya karakteristik pemilih Indonesia dari yang mayoritas muslim konservatif menjadi lebih banyak pemilih generasi milenial.
Dari demografi pemilih misalnya, usia rata-rata pemilih milenial adalah 28 tahun. Juga terdapat sekitar 45% pemilih antara usia 17 hingga 36 tahun dimana persentase para pemuda ini disebut akan memainkan peran penting dalam pemilu mendatang.
Lalu apa yang akan membuat para milenial ini tergerak menentukan pilihan politik? The Economist menyebut bahwa karakter milenial Indonesia yang aktif melakukan kegiatan menatap layar, memposting di media sosial dan menjelajahi internet membuat peran internet masih menjadi jembatan penting antara politisi dan pemilih.
Ganteng-ganteng Sandiaga Share on XSelain itu, tantangan politik bagi Jokowi maupun Sandi muncul dari apatisme pemilih milenial. Menurut survei Alvara, karakteristik pemilih anak muda Indonesia lebih apatis dan kurang loyal dibandingkan dengan generasi lebih tua karena dimata mereka esensi politik selama ini tak ubahnya jalan untuk mencari kekuasaan yang dianggap tak menguntungkan mereka.
Oleh karena itu, memenangkan dimensi pemilih yang sangat penting ini mungkin membutuhkan lebih dari sekadar wajah segar dan referensi budaya pop. Lalu, kalau sudah begini, mana yang akan lebih berpengaruh, Jokowi effect atau Sandiaga effect? (M39)