HomeNalar PolitikEksekusi TKI, Heroisme Prabowo vs Jokowi

Eksekusi TKI, Heroisme Prabowo vs Jokowi

Kegagalan pemerintahan Jokowi menyelamatakan Tuti Tursilawati dari eksekusi mati mendatangkan perdebatan. Sang petahana dianggap gagal melindungi TKI yang mendapatkan persoalan hukum. Hal ini kontras dengan aksi Prabowo Subianto yang pada 2013 lalu berhasil menyelamatkan Wilfrida Soik, TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia. Dua kutub perdebatan ini nyatanya menampilkan pentingnya faktor heroisme dalam politik – layaknya Iron Man dan Kapten Amerika yang bertarung dalam Civil War.


PinterPolitik.com

“A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.”

:: Joseph Campbell, penulis AS ::

[dropcap]E[/dropcap]ksekusi mati yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tuti Tursilawati di Arab Saudi beberapa hari lalu menjadi perbicangan yang menghiasi hampir semua media utama. Pasalnya, wanita asal Majalengka, Jawa Barat itu dieksekusi tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia.

Akibatnya, reaksi muncul dari berbagai piha. Umumnya kritik ditujukan terhadap Arab Saudi yang dianggap tidak memberikan pemberitahuan atau notifikasi eksekusi tersebut terhadap pemerintah Indonesia.

Namun, kritik juga diarahkan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap tidak maksimal menggunakan jalur diplomasi untuk membantu pembebasan Tuti.

Kegagalan diplomasi Jokowi dalam kasus eksekusi mati Tuti membuat mau tidak mau masyarakat akan membandingkannya dengan aksi Prabowo dalam kasus Wilfrida. Share on X

Menariknya, kritik tersebut mendapatkan bumbu-bumbu konteks Pilpres 2019. Sandiaga Uno misalnya menyinggung aksi penyelamatan TKI yang pernah dilakukan oleh pasangannya, Prabowo Subianto. Pada akhir 2013, Prabowo memang terlibat aktif membela Wilfrida Soik, TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia.

Wanita asal Belu, NTT itu awalnya dituntut hukuman mati untuk kasus pembunuhan majikannya. Tuntutan itu awalnya seolah sulit dilawan, namun Prabowo datang dan menyewa pengacara kelas wahid Malaysia, Tan Sri Shafee. Akhirnya, Wilfrida berhasil dibebaskan dari segala tuntutan yang menimpanya.

Aksi Prabowo itu memang mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang heroik. Sandi sendiri menganggap tindakan Prabowo tersebut sangat cepat dan mampu menunjukkan kapasitas politik sang jenderal sebagai pemimpin yang bisa diandalkan oleh masyarakat, khususnya dalam konteks perjuangan nasib TKI.

Menurut Sandi hal ini kontras dengan sikap pemerintahan Jokowi saat ini yang dinilai lambat dalam menangani kasus tersebut, mengingat vonis terhadap Tuti sudah terjadi sejak 7 tahun lalu atau pada tahun 2011. Apalagi, kasus Tuti ini juga berhubungan dengan konteks kekerasan dan pelecehan yang ia alami sebagai pekerja migran Indonesia.

Terlepas dari kritik terhadap Prabowo yang dianggap “memanfaatkan” kasus Wilfrida untuk kampanye politik jelang Pilpres 2014 lalu, yang jelas konteks kasus eksekusi mati TKI pada akhirnya melahirkan perdebatan tentang heroisme atau keberanian pemimpin dalam mengambil kebijakan atau keputusan tertentu dalam menyelamatkan warga negaranya.

Apalagi, jelang Pilpres 2019, perbandingan aksi Prabowo yang berhasil menyelamatkan Wilfrida Soik dengan kegagalan Jokowi menyelamatkan Tuti membuat banyak pertanyaan bermunculan. Benarkah Prabowo jauh lebih baik dari Jokowi dalam konteks keberaniannya menyelamatkan TKI yang terancam hukuman mati? Lalu, seberapa besar konteks heroisme mempengaruhi hasil akhir Pemilu?

Hero yang Sesungguhnya

Heroisme dalam konteks politik memang punya pertalian yang panjang dalam sejarah manusia. Pada tahun 1781, tentara Inggris di bawah pimpinan Letnan Jenderal Charles Cornwallis menyerah di tangan Revolutionary Army atau tentara revolusi Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh George Washington.

Cornwallis menyerahkan pedangnya sebagai penanda berakhirnya pertempuran Yorktown sekaligus “menyematkan” status pahlawan atau hero nomor satu AS kepada George Washington. Status politik tersebut sangat penting karena menjadi alasan utama mengapa George Washington menjadi pria yang wajahnya kini diabadikan di pecahan mata uang 1 dollar AS dan layak menjadi presiden pertama negeri Paman Sam itu.

Status hero ini kemudian menjadi pola politik yang cukup penting untuk menentukan seseorang layak atau tidak menduduki kursi kekuasaan tertinggi di sebuah negara. Setelah George Washington, nama-nama berikutnya seperti Andrew Jackson yang memenangkan Pilpres AS di tahun 1824, Theodore Roosevelt yang menduduki Gedung Putih di tahun 1901, Dwight Eisenhower yang menang Pilpres 1953 dan beberapa nama lainnya adalah mereka-mereka yang menggunakan status heroisme sebagai alat kampanye politik.

Terkait hal tersebut, Jeffrey C. Alexander – sosiolog AS yang dijuluki one of the world’s leading social theorists – menyebutkan bahwa narasi politik dan kontestasinya memang tidak pernah bisa dipisahkan dari konsep heroisme.

Kata “hero” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pelindung” atau “pembela”. Sementara, kamus Merriam Webster mengartikan hero sebagai seseorang yang dikagumi karena kebesarannya, keberaniannya, atau kualitas-kualitas personalnya.

Dengan demikian, kontestasi politik yang bertujuan untuk memilih pemimpin negara memang mengharuskan masyarakat menentukan kandidat yang punya kebesaran, keberanian dan punya kualitas-kualitas terbaik untuk menjadi seorang pemimpin. Pada titik ini, seorang pemimpin yang baik menjadi identik dengan hero – seseorang yang mampu melindungi dan membela rakyatnya.

Alexander lalu menunjuk persaingan politik antara Barack Obama dan John McCain pada Pilpres AS 2008 yang diwarnai dengan konteks pertarungan status heroisme tersebut.

McCain memang punya cerita heroisme yang jauh lebih dahsyat dibandingkan Obama. Pada perang Vietnam, pria yang terakhir berpangkat kapten itu menjadi pilot tempur Angkatan Laut AS. Pesawatnya pun pernah ditembak jatuh dalam satu kesempatan dan ia menjadi tahanan perang selama lima setengah tahun antara 1967-1973. Artinya sosok McCain adalah kisah heroisme itu sendiri.

Sementara, di kutub yang berbeda, Obama tampil dengan konteks heroisme yang berbeda. Ia adalah sosok pemimpin multirasial. Track record-nya adalah tentang kerja keras dan kesungguhan menjalani hidup serta berkontibusi untuk banyak orang.

Kisah Obama adalah tentang mimpi, dan tentu saja faktor terpentingnya: ia berkulit hitam. Heroisme Obama adalah pengejawantahan salah satu pidato paling terkenal sepanjang sejarah umat manusia yang diucapkan oleh Martin Luther King Jr. dalam tajuk “I have a dream”, merujuk pada emansipasi dan hilangnya diskriminasi rasial yang diimpikan pengacara tersebut.

Konteks pertarungan Obama dan McCain ini menjadi gambaran bagaimana kuatnya heroisme mempengaruhi citra seorang pemimpin.

Seiring waktu, konteks heroisme memang pada akhirnya sering kali bergeser dari murni kontribusi seseorang untuk keselamatan negara dan masyarakatnya, menjadi cenderung “pencitraan” politik sebagai strategi packaging kandidat yang bersaing. Hal tersebut kini semakin sering terjadi di banyak negara demokrasi.

Berebut Dukungan Politik

Di Indonesia sendiri, kita memiliki sosok-sosok hero yang mampu memanfaatkan heroismenya untuk meraih kekuasaan. Soekarno adalah number one hero layaknya George Washington. Soeharto pun adalah hero yang ikut berjasa dalam berbagai pertempuran dalam tajuk perang kemerdekaan.

B.J. Habibie adalah hero untuk intelektualisme Indonesia. Abdurrahman Wahid adalah hero dalam gagasan-gagasannya tentang pluralisme. Megawati Soekarnoputri adalah hero reformasi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah hero karena rekam jejak militernya.

Jokowi? Mungkin mantan Wali Kota Solo itu adalah yang paling mendekati konteks heroisme Obama sebagai ejawantah mimpi “everyone can be a president”. Maka, menjadi masuk akal mengapa tajuk kampanye sang presiden adalah “Jokowi adalah kita”.

Sementara Prabowo – sama seperti SBY – punya rekam jejak militer dan terlibat dalam berbagai pertempuran, salah satunya di Timor Timur. Ia juga terkenal karena strategi-strategi tempurnya dalam mengamankan kepentingan bangsa dan negara.

Lalu, jika sudah punya status heroisme, mengapa Prabowo sampai harus bersusah payah terlibat dalam kasus Wilfrida Soik pada 2013 lalu?

Nyatanya, jika berkaca dari kekalahan McCain dari Obama di Pilpres AS 2008, hero untuk saat-saat damai – tidak ada perang – sering kali dimaknai secara berbeda. Jeffrey C. Alexander menyinggung konteks crisis and salvation – krisis dan penyelamatannya – yang menjadi intisari bagaimana masyarakat mempersepsikan status heroisme seseorang.

Obama bisa menang karena ancaman terhadap negara saat itu bukanlah perang, tetapi konteks kesejahteraan dan ekonomi. Pada titik tersebut heroisme Obama dinilai jauh lebih “menjual” dibanding McCain.

Hal serupa nyatanya berlaku juga dalam konteks Jokowi dan Prabowo. Tidak ada perang dan kegentingan negara saat ini, sehingga pilihan heroisme masyarakat adalah sosok yang dianggap lebih mampu mengatasi persoalan-persoalan sosial-ekonomi.

Inilah yang mungkin membuat Prabowo harus menunjukkan sisi heroisme yang lain. Kemunculannya sebagai pahlawan dalam kasus Wilfrida Soik adalah salah satu cara untuk menonjolkan heroismenya tersebut – terlepas ada faktor lain yang mendorongnya melakukan hal itu.

Prabowo memang dianggap memanfaatkan momentum kasus tersebut untuk meraih dukungan politik, apalagi saat itu sedang menjelang kampanye Pilpres 2014. Walaupun pada akhirnya kasus Wilfrida belum berhasil mengantarkan Prabowo ke kursi RI-1, yang jelas ia telah membuktikan heroismenya melindungi seorang warga negara Indonesia.

Kini, kegagalan diplomasi pemerintahan Jokowi dalam kasus eksekusi mati Tuti Tursilawati membuat mau tidak mau masyarakat akan membandingkannya dengan aksi Prabowo dalam kasus Wilfrida. Pada titik ini, heroisme Prabowo itu mendapatkan pembenaran politiknya.

Mungkin saat inilah heroisme Prabowo mendekati pemenuhan cita-citanya. Karena, seperti kata Joseph Campbell di awal tulisan, seorang hero adalah dia yang memberikan dirinya untuk hal-hal yang lebih besar demi kepentingan banyak orang. (S13)

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.