“Lika-liku ISIS memperbesar jumlah anggotanya di Indonesia sungguh dengan berbagai macam cara. Mulai dari buruh sampai pegawai swasta, dari pelajar sampai mahasiswa, jerat ISIS untuk menambah anggota sungguh dahsyat. Hingga yang menghebohkan yaitu sosok Triyono Utomo Abdul Sakti, mantan pegawai di Kementrian Keuangan.”
PinterPolitik.com
JAKARTA – Indonesia, negara dengan berbagai macam suku, budaya dan agama. Kemajemukan memang menjadi keunggulan sekaligus kelemahan di negara ini. Salah satunya yang menjadi masalah berat adalah radikalisme. Dimana pemahaman ini, khsususnya hal agama, sungguh sangat memberi pengaruh buruk di Indonesia.
Radikalisme dirasa tumbuh subur di Indonesia. Entah mengapa berbagai macam ajaran yang fanatik sangat mudah masuk. Karena itu, langkah Indonesia perlu lebih besar dan strategis untuk menghentikan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan dasar negara tersebut. Khususnya ajaran agama yang terlalu radikal. Agama dapat memberikan fungsi ideologi dan identitas terhadap masyarakat. Agama juga dapat menjadi perekat masyarakat dan memberikan rasa kepemilikan yang dapat memberikan stabilitas sosial, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos. Ajaran radikal yang didasari keyakinan agama ini pada awalnya hanya sekedar sebuah gerakan sosial yang kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan politik seperti halnya DI/TII dan jemaah islamiyah.
”Pemberantasan dan pencegahan terorisme mutlak dilakukan di Indonesia, namun juga wajib untuk menjaga keamanan dunia,” kata mantan Kapolri Badrodin Haiti.
Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang menjadi musuh kita bersama. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia kita harus memberikan terobosan dan berusaha keras demi membumi hanguskan aksi terorisme di bumi pertiwi. Namun, terobosan yang harus kita lakukan bukanlah dengan merevisi Undang-Undang Terorisme apalagi tanpa kajian yang jelas.
“Ajaran” Itu Berubah Menjadi “Aksi”
Mencermati dinamika kehidupan kebangsaan dan merebaknya fenomena radikalisme dan terorisme, domestik maupun internasional, di era demokrasi saat ini, menyisahkan sebuah pertanyaan dalam benak kita. Bagaimana radikalisme bisa berkembang dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia? Apakah benar konsep demokrasi yang dibanggakan saat ini kompatibel (mampu bergerak dan bekerja dengan keserasian dan kesesuaian) dengan kebudayaan Islam atau tidak? Pertanyaan tersebut setidaknya menjadi pemicu untuk merefleksikan kembali kualitas kehidupan keberagamaan kita dalam perkembangan demokrasi Indonesia masa kini.
Realitas kebangsaan kekinian menunjukkan bahwa kekerasan, politik uang, kemiskinan, dan korupsi masih mendominasi warna kehidupan politik Indonesia. Tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah, dan konflik agama yang sering terjadi telah menodai harmoni kehidupan keberagamaan.
Kilas balik dari kekerasan yang pernah terjadi lebih kejam berlangsung dalam konflik antaretnis dan antaragama, seperti Pontianak, Sampit, Ambon, dan Poso. Menurut sejarahpun, gelombang radikalisme sudah sejak lama ada di Indonesia. sejak pergerakan DI/TII oleh Kartosuwiryo, lalu gerakan PRRI/Permesta yang tidak bersifat ajaran agama, hingga terorisme yang menguat pada waktu ajaran Jamaah Islamiyah yang dipimpin oleh Osama Bin Laden menguat di Indonesia. kenyataannya radikalisme tidak hanya menjadi suatu ajaran, namun bertumbuh menjadi suatu gerakan kelompok tertentu dalam masyarakat. Menjai suatu aksi, yang nyata, terlihat, bahakan efeknya dirasakan di masyarakat.
Apa yang terjadi tersebut sudah menjadi aksi, yang disebut terorisme. Perlawanan, penyerangan hingga pengeboman. Hingga kini, dalam beberapa bulan terakhir, menguatnya kembali isu terorisme dan radikalisme agama yang ditandai dengan kehadiran gerakan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria). ISIS dibentuk pada April 2013 dan cikal bakalnya berasal dari al-Qaida di Irak (AQI), tetapi kemudian dibantah oleh al-Qaida. Kelompok ini menjadi kelompok jihad utama yang memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak. Jumlah mereka tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan memiliki ribuan pejuang, termasuk jihadis asing. Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi. Dia dikenal sebagai komandan perang dan ahli taktik, analis mengatakan hal itu yang membuat ISIS menjadi menarik bagi para jihadis muda dibandigkan al-Qaeda, yang dipimpin oleh Ayman al-Zawahiri, seorang teolog Islam.
https://www.youtube.com/watch?v=WAT3kui3FUo
Prof Peter Neumann dari King’s College London memperkirakan sekitar 80% pejuang Barat di Suriah telah bergabung dengan kelompok ini. ISIS mengklaim memiliki pejuang dari Inggris, Prancis, Jerman, dan negara Eropa lain, seperti AS, dunia Arab dan negara Kaukakus. Tak seperti pemberontak di Suriah, ISIS tampak akan mendirikan kekhalifahan Islam di Suriah dan Irak. Kelompok ini tampak berhasil membangun kekuatan militer. Sebelum menguasai Mosul, ISIS telah memiliki dana serta aset senilai US$900 juta dollar, yang kemudian meningkat menjadi US$2 milliar. Kelompok itu disebutkan mengambil ratusan juta dollar dari bank sentral Irak di Mosul. Dan keuangan mereka semakin besar jika dapat mengontrol ladang minyak di bagian utara Irak. Kelompok ini beroperasi secara terpisah dari kelompok jihad lain di Suriah, al-Nusra Front, afiliasi resmi al-Qaeda di negara tersebut, dan memiliki hubungan yang “tegang” dengan pemberontak lain. Di Suriah, ISIS menyerang pemberontak lain dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil pendukung opoisisi Suriah.
Lebih daripada itu, ISIS tidak hanya berperang atau beraksi diseputaran Timur Tengah saja. Saat ini ISIS melakukan pergerakannya di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan temuan adanya sejumlah masjid di Jakarta yang digunakan untuk merekrut anggota kelompok militan Negara Islam atau ISIS membuktikan bahwa sebagian masjid di Indonesia telah disusupi kelompok pendukung terorisme. Pernyataan itu diungkapkan guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN), Prof Doktor Bambang Pranowo dan peneliti radikalisme Doktor Najib Azca dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
“Mereka melakukan infiltasi (menyusup) ke masjid yang pengurusnya lemah secara keagamaan, itu yang mudah disusupi,” kata Bambang Pranowo.
Walaupun jumlah masjid yang disusupi “tidak banyak,” tetapi menurut Najib Azca, “ada kantong-kantong masjid yang menyimpan dukungan kepada kelompok teroris seperti ISIS.”
Terdapat sebuah laporan yang menyebutkan, ada pertemuan tertutup yang digelar sekelompok orang pendukung ISIS di masjid As-Syuhada di kawasan Jakarta pusat. Dalam pertemuan tersebut, pemimpinnya mempropagandakan sistem kekhalifahan yang dipraktekkan oleh kelompok Negara Islam di Suriah dan Irak. Mereka juga mengkampanyekan agar peserta pertemuan itu bergabung dengan Negara Islam di Suriah. Disebutkan juga sedikitnya ada lima masjid di Jakarta yang digunakan untuk mengkampanyekan dukungan kepada ISIS, termasuk masjid Al Fataa di kawasan Menteng, Jakarta. Lalu untuk apa dan mengapa ISIS mencoba meraih dukungan di Indonesia? Adakah pihak tertentu yang memanfaatkan momentum ini? Sungguh miris, ketika terorisme yang berada di dalam negeri saja belum beres, namun segelintir masyarakat malah terbuka dengan gerakan ‘garis keras’ yang baru dari Timur Tengah tersebut.
Pengamat terorisme dari Univesitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar, memprediksi jumlah anggota kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia berjumlah sekitar 2 juta orang. Disebutkan, basis gerakan radikal itu berada di Medan, Surabaya, Makassar, Balikpapan, Yogyakarta, dan Bandung. Dia juga meminta masyarakat mewaspadai gerakan tersebut.
“Kelompok ISIS ini jangan dianggap sepele, masyarakat harus lebih waspada,” ujar Al Chaidar.
Dia memprediksi jumlah pengikut ISIS di Aceh dan Medan sekitar 100.000 orang. Hal itu mengingat dua wilayah tersebut saling berdekatan sehingga memudahkan kelompok itu berkomunikasi. Cara-cara rekrutmen ISIS masih menggunakan doktrin jihad dan masuk surga untuk mengajak masyarakat bergabung.
Bujuk Manis ISIS
Lika-liku ISIS memperbesar jumlah anggotanya di Indonesia sungguh dengan berbagai macam cara. Mulai dari buruh sampai pegawai swasta, dari pelajar sampai mahasiswa, jerat ISIS untuk menambah anggota sungguh dahsyat. Hingga yang menghebohkan yaitu sosok Triyono Utomo Abdul Sakti, mantan pegawai di Kementrian Keuangan. Kejadian menghebohkan ini terungkap ketika ada informasi bahwa Turki mendeportasi sejumlah WNI karena di duga akan menyebrang ke Suriah untuk menjadi anggota ISIS. Lalu terjadi proses pengembalian mereka ke Indonesia dengan koordinasi Polri. Lima orang sekeluarga yang diduga simpatisan organisasi teroris ISIS sudah menjalani pemeriksaan intensif oleh Tim Khusus di Polda Bali. Merekapun akhirnya diberangkatkan ke Mabes Polri. Dengan dikawal oleh sejumlah anggota Densus 88 Antiteror, lima orang yang terdiri dari suami-istri dan tiga anak asal Jakarta melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai dikembalikan menuju Jakarta.
“Setelah menjalani pemeriksaan selama dua hari di Ditreskrimum Polda Bali oleh tim khusus yang terdiri dari reserse kriminal umum dan khusus, serta intel, satu keluarga itu diterbangkan ke Mabes Polri untuk kepentingan penyelidikan lebih mendalam. Berangkat dari Mapolda Bali sekitar pukul 11.40 Wita, mereka dikawal anggota Densus 88 Antiteror,” jelas Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Bali, AKBP Hengky Widjaja. Mereka ditangkap sesaat setelah mereka mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai dari Dubai (Uni Emirat Arab) pasca diusir oleh aparat keamanan Turki.
Lalu siapa sebenarnya sosol Triyono Utomo Abdul Sakti? Apakah ada jaringan besar yang terlibat? Indikasi kecurigaan ini sah-sah saja, karena Triyono berangkat ke Turki membawa istri dan anak-anaknya. Sungguh janggal. Triyono merupakan PNS di Kementrian Keuangan yang meminta untuk diberhetikan sejak Februari 2016 dan dikabulkan pada Agustus 2016.
“Dengan alasan Ingin mengurus pesantren anak yatim di Bogor,” kata Nufransa Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti.
Keanehan pada Triyono sudah terlihat sejak pengajuan pengunduran diri tersebut. Semenjak pengajuan pengunduran diri sebagai PNS, Triyono tidak dapat dihubungi. Akhirnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7591KM,1/UP.72/2016, Triyono diberhentikan sebagai PNS mulai Agustus 2016. Dengan pemberhentian itu, Kemenkeu mengatakan bahwa segala kegiatan dan aktifitasnya tidak dapat lagi dihubungkan dengan instansi dan menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
Triyono Utomo meraih gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST.) dan Akuntan (Ak.) di Sekolah Tinggi Akuntansi tahun 2004 dan Master of Public Administration di Flinders University of South Australia tahun 2009. Dia awal kariernya di Kemenkeu, ia ditempatkan pada Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN),Kemenkeu. Terakhir ia merupakan ekonom (Economist) di bidang Kebijakan Publik pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Dalam sebuah dokumen hasil seleksi tahap pertama dalam rangka pengangkatan dalam jabatan struktural eselon IV melalui pencalonan terbuka, nama Triyono Utomo tercantum sebagai salah satu dari 13 kandidat yang lolos untuk jabatan Kasubbid Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Sumber Daya Alam.
Sejumlah kajiannya tercatat, antara lain di laman resmi Kemenkeu, berjudul, “Kawasan Ekonomi Khusus Tidak Cukup dengan Insentif Fiskal.” Dalam tulisan ini, ia melancarkan kritik, agar Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus “jangan sampai berbeda implementasinya dengan realisasi di lapangan atau malah kemudian tidak selaras dengan undang-undang perpajakan itu sendiri, termasuk berbagai peraturan daerah seperti retribusi daerah.” Kajiannya yang lain menyangkut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), mengulas tentang perlunya rekonsiliasi untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh adanya konflik dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan dua negara. Dalam sebuah kajian berjudul MP3EI: Breakthrough Indonesia strategi Indonesia menuju negara maju yang disunting oleh Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Freddy Saragih, ia termasuk salah seorang penyumbang tulisan.
Sungguh pemikiran-pemikiran yang brilian dari seorang PNS bukan? Memang dalam tulisannya Triyono terlihat kritis dan penuh wawasan. Lalu bagaimana bisa, orang sepandainya berpikir singkat untuk ikut ISIS bahkan membawa serta isteri dan anak-anaknya? Walaupun menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, tetapi kita patut untuk bersikap cermat. Bisa jadi ada motif lain yang melatarbelakangi kenekatan Triyono tersebut. Atau ada pihak lain yang berada di belakangnya hingga ia melakukan ini semua.
Sebelumnya ada pula PNS di Badan Pengusahaan (BP) Batam bernama Dwi Djoko Wiwoho yang bergabung dengan ISIS. Ternyata, di Kemendagri pun ada PNS yang mengikuti jejak Djoko dan Triyono. Mantan anggota Komisi I DPR itu menegaskan, fenomena tersebut patut dicermati. Terlebih ada WNI yang ikut ISIS tapi kembali lagi ke tanah air.
“Saya kira ini sebuah fenomena yang harus dicermati dengan baik. Termasuk WNI lain yang kembali dari Suriah, yang diduga bergabung dengan ISIS. Ini juga perlu mendapat pemantauan dari aparat keamanan,” ujarnya. Apakah ada indikasi ISIS mengincar birokrasi? Tjahjo belum melihat indikasinya. Namun, katanya, yang direkrut masih personal.
“Saya tidak melihat birokrasinya, saya melihat personal-personal yang bisa dicuci otaknya. Ini kan kembali kepada kita,” tegasnya.
Aksi Yang Tak Berujung
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah khususnya langkah-langkah aparat keamanan dalam pengungkapan pelaku terorisme, mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam. Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidak percayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani terorisme di Indonesia.
Namun radikalisme dalam hal ini sesungguhnya masalah kita bersama. Banyak pihak yang bermain di dalamnya, sehingga isu agama maupun SARA dipergunakan untuk tujuan tertentu. Yang pada intinya, pihak-pihak tersebut “memainkan” komoditinya melalui aksi terorisme. Tak terkecuali Triyono, seorang pegawai Kementrian Keuangan yang tentu saja secara pendapatan lebih dari cukup, hidup di Jakarta yang notabene pusat informasi. Namun buktinya mau nekat menjadi anggota ISIS.
Praktisi hukum dan politik di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie, menuding akar radikalisme yang berujung pada aksi separatisme dan terorisme justru berada di Jakarta. Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, Jakarta, tempat bermukim oknum elit politik yang perkataan dan perbuatannya sudah terlalu jauh terperosok pada ranah psikologis kediaman paling dalam, yakni etnisitas dan religiositas, dengan menganggap diri dan kelompoknya saja yang paling benar.
“Mesti ada tindakan nyata pemerintah berlandaskan kepada sudut pandang yang mampu menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Tobias Ranggie.
Mengingat negara kita telah menjadi perhatian dunia, penanganan radikalisme dan terorisme harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Hal itu demi memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi seluruh warga negara dan warga-warga dunia lainnya yang hidup dan berdiam di Indonesia. Namun, penanganan kelompok radikal dan teroris ini tidak mungkin untuk dipikul sendiri oleh pemerintah. Peran masyarakat juga menjadi penting karena akar persoalan radikalisme dan terorisme itu lebih banyak bersentuhan dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, misalnya permasalahan atas pemahaman terhadap agama secara benar, masalah keadilan dan penegakan hukum, masalah kesenjangan sosial-ekonomi, masalah keyakinan ideologi yang berbeda, masalah penguasaan dan eksploitasi oleh kekuatan asing.
Penggunaan model criminal justice dalam pemberantasan terorisme tidak berarti bahwa aparat akan berdiri sendiri dalam memberantas terorisme.
“Yang dimaksud criminal justice dalam model pemberantasan terorisme ialah setiap penindakan tindak pidana terorisme, pelaku harus diproses secara hukum sebagai ending-nya,” kata Kapolri Tito Karnavian. Lebih dari itu, harus kita akui bahwa ada masalah besar ketika ada jumlah signifikan dari warga negara yang kehilangan keyakinannya kepada demokrasi, konstitusi, dan pemerintah yang berlegitimasi untuk mewujudkan keadilan sosial dan mengembalikan martabat diri yang hilang, sehingga mereka memilih keyakinan dan identitas lain untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang mereka dambakan. Seandainya tindakan teror tetap diklasifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), reformulasi peraturan perundang-undangan yang mengatur extraordinary criminal justice system yang mencakup penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan sistem pemidanaannya harus dibuat secara khusus.
Dalam menghadapi berkembangnya kelompok radikal dan teroris, pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun partisipasi masyarakat (swasta) agar tidak terjadi penyalahgunaan lembaga pendidikan oleh kelompok-kelompok tertentu (masuknya ajaran radikal ke sekolah dan kampus). Masyarakat yang mempunyai kesadaran untuk melawan radikalisme dan terorisme harus dibangun melalui kampanye sosiokultural. Seperti halnya Triyono, orang berpendidikan yang cukup. Bahkan ia mendapat gelar s2 di Australia, tapi tetap saja pola pemikiran dasar yang mungkin sudah salah, membuatnya mudah goyah dan terpengaruh ajaran radikal. Seorang Triyono yang berasal dari masyarakat lugu dan biasa, pada akhirnya secara mudahnya dibuai oleh janji-janji surga yang diberi oleh ISIS, sampai pada akhirnya tak mengerti harus berujung kemana arah perbuatan jihad –nya. Mungkinkah selama bersekolah di Indonesia ia mendapat ajaran radikal tersebut? Atau ketika ia di Australia? Kemungkinan bisa saja terjadi. Lebih dari itu, jika dirasa ada pihak yang men-setting ini semua dari belakang juga mungkin. Sah-sah saja, melihat latar belakang Triyono dari orang biasa, lalu menjadi pegawai Kementrian Keuangan, suatu hal yang sangat hebat.
“Saya belum lihat apakah mengedepankan penindakan atau pencegahan. Itu menyita perhatian publik. Jangan sampai publik jadi antipati. Jangan sampai publik punya simpati ke teroris yang tertangkap,” ujar Yandri Anggota Fraksi PAN. Menurutnya melibatkan berbagai unsur menjadi penting karena kecenderungan masyarakat yang bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, egoistis, dan indiviadualistis. Karena kondisi masyarakat saat ini memudahkan tumbuhnya radikalisme, jaringan teroris yang subur dan sulit putus. Dengan kondisi jaringan terorisme seperti ini, penangkapan dan pembunuhan gembong teroris saja bisa menimbulkan kejutan balik (backfire) berupa peningkatan publisitas dari para teroris yang tewas sebagai martir yang akan menarik anggota-anggota baru. Ini sebabnya mengapa teroris lebih baik ditangkap dan bukan dibunuh, tidak semata-mata demi penegakan HAM, tetapi demi efektivitas kontra-terorisme itu sendiri dalam menghancurkan organisasi terorisme.
Kontra-terorisme Indonesia ke depan harus mengintegrasikan penangkapan teroris dengan upaya memutus komunikasi pesan dan mobilisasi dukungan kelompok teroris, itulah yang dimaksud dengan memaksimalkan criminal justice system seperti yang dijelaskan Kapolri. Terorisme memandang benar apa yang mereka lakukan, rasionalitas dari pembenaran ini, berikut metode praktis untuk mengimplementasikannya, adalah memori organisasi yang diturunkan dari generasi ke generasi pelaksana teror, dan transisi pengetahuan ini krusial untuk segera dihentikan. Tanpa kemampuan untuk mengartikulasikan visi yang jernih dari tujuan akhir pergerakan kepada para penerus, kelompok terorisme akan tereliminasikan. Oleh sebab itu, mengembalikan hukum ke porsi yang benar adalah langkah tepat menangkal radikalisme. (y10)