Jokowi coba mengaitkan perang antar Great House dalam film Game of Thrones dengan persaingan negara-negara di dunia saat ini.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]idato Presiden Jokowi pada pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018 disambut sangat antusias oleh para delegasi dan ditandai dengan standing ovation. Pada kesempatan itu, Jokowi coba menganalogikan permasalahan global dengan serial Game of Thrones. Seluruh ruangan pun terdengar bergemuruh ketika sang presiden melontarkan kalimat The Winter is Coming kepada para delegasi dari seluruh dunia.
Terhitung, Jokowi sudah dua kali menggunakan budaya populer sebagai alat untuk menjelaskan fenomena global di hadapan publik internasional. Sebelum di forum pertemuan IMF-Bank Dunia, Jokowi pernah menggunakan film Avengers: Infinity War untuk memberikan gambaran mengenai kondisi perekonomian dunia pada World Economic Forum on ASEAN di Vietnam.
Sementara, pada pertemuan IMF-Bank Dunia kali ini, Jokowi berhasil memukau dunia melalui pidato ala Game of Thrones. Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengaku terkesan dengan pidato Jokowi tersebut.
Namun, dalam arena politik Indonesia Jokowi justru mendapat tanggapan sebaliknya. Para tokoh dari kelompok oposisi melontarkan kritik terhadap sang presiden atas pidato tersebut.
7) Pidato Presiden @jokowi kemarin, yg menyatakan, "Kami bergantung pada Bapak/Ibu semuanya, para pembuat kebijakan moneter dan fiskal dunia untuk menjaga komitmen kerja sama global,” sama sekali tak menunjukkan wibawa.
— Fadli Zon (@fadlizon) October 15, 2018
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menganggap Jokowi sangatlah lemah di hadapan IMF-Bank Dunia dengan mengatakan Indonesia bergantung pada pembuat kebijakan moneter dan fiskal internasional.
Sementara cawapres nomor urut 2 Sandiaga Uno mengatakan saat ini Indonesia bukan sedang terancam oleh musim dingin, seperti apa yang dikatakan oleh Jokowi. Melainkan Indonesia sedang terancam oleh musim kemarau. Benarkah begitu?
Analogi Game of Thrones Tak Tepat?
Game of Thrones adalah serial tentang perebutan takhta dalam benua bernama Westeros. Dalam serial tersebut, diceritakan para Great House (pimpinan wilayah) saling bersekongkol dan berperang untuk menguasai The Iron Throne. Maka segala cara pun dilakukan demi mengambil alih takhta tersebut.
Akan tetapi ketika para Great House sibuk berperang, ancaman dari Utara datang. Ancaman itu berupa musim salju berkepanjangan dengan membawa pasukan mati atau disebut Wights. Pasukan mati ini mengancam eksistensi penduduk dalam benua Westeros.
Maka ketika muncul seruan “The Winter is Coming”, seluruh Great House yang sibuk berperang pun sadar bahwa yang terbaik bukanlah siapa yang menguasai The Iron Throne. Jika perang diteruskan, maka seluruh Great House akan hancur oleh serbuan pasukan musim dingin. Pada akhirnya para Great House saling bekerjasama untuk melawan ancaman musim dingin tersebut.
Dalam pidato tersebut, Jokowi coba mengaitkan perang antar Great House dalam film Game of Thrones dengan persaingan antarnegara di dunia saat ini. Menurut Jokowi, ketika negara-negara saling berseteru dan berkompetisi, mereka tak sadar bahwa mereka sedang terancam oleh permasalahan global seperti perubahan iklim, bencana alam, pencemaran sampah plastik hingga krisis ekonomi.
Pada titik itulah Jokowi menegaskan kepada para hadirin, apakah rivalitas dan kompetisi antarnegara masih penting? Sedangkan ancaman global bisa memporak-porandakan dunia jika negara-negara tak saling bekerjasama.
Ibarat serial Game of Thrones, kita menghadapi Evil Winter yang ingin menyelimuti seluruh dunia dengan es dan kehancuran. Berhentilah berebut kendali the Iron Thrones demi kebaikan bersama.
Tidak ada artinya menjadi kekuatan ekonomi yang terbesar, di tengah dunia yang tenggelam. pic.twitter.com/T4Lv94SsfB
— Joko Widodo (@jokowi) October 12, 2018
Jokowi pun seperti ingin mengkritik pola perdagangan bebas saat ini, dimana pasar bebas justru tak mencerminkan kerjasama dan kolaborasi antarnegara, melainkan mencerminkan persaingan. Sehingga mudah bagi negara-negara maju untuk menaklukkan perekonomian negara miskin, sementara dengan perlengkapan seadanya negara-negara miskin tak mampu menahan arus ekspansi negara-negara maju.
Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo tahun 1887. David Ricardo dikenal karena telah menciptakan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif menjadi alasan perdagangan bebas tak bisa dihindari karena keunggulan setiap negara berbeda-beda.
Sebagai contoh, Inggris mampu memproduksi kain murah. Portugal mampu membuat anggur murah. Ricardo meramalkan bahwa Inggris akan berhenti membuat anggur dan Portugal berhenti membuat kain. Dia benar. Inggris menghasilkan lebih banyak uang dengan memperdagangkan kainnya untuk bertukar anggur dengan Portugal, dan sebaliknya.
Jika landasan awal perdagangan bebas adalah kerjasama antarnegara, maka bisa dikatakan bahwa yang terjadi saat ini justru jauh panggang dari api. Seperti yang dikatakan oleh Jokowi, hubungan antarnegara justru dipenuhi dengan kompetisi dan rivalitas. Lantas, tepatkah pendapat tersebut dilontarkan oleh Jokowi dalam forum IMF-Bank Dunia?
Beberapa pihak menilai, Jokowi mengincar perhatian generasi milenial dengan mengaitkan fenomena global dengan referensi populer seperti Avengers dan Game of Thrones. Tetapi, konten pidato tersebut dirasa kurang tepat dibicarakan dalam forum IMF-Bank Dunia. Mengingat, kedua lembaga keuangan internasional itu adalah pintu masuk bagi perdagangan bebas.
Joseph E. Stiglitz bahkan menuding IMF-Bank Dunia adalah pangkal kehancuran sebuah negara dengan agenda rekomendasi pembangunan mereka. Stiglitz menilai lembaga keuangan internasional itu kerap kali menekan pemerintah untuk mengurangi peran dalam perekonomian, misalnya seperti saran untuk menghilangkan subsidi makanan bagi orang miskin yang dilakukan Indonesia atas perintah IMF tahun 1998.
Selain itu, Stiglitz mengatakan IMF-Bank Dunia merekomendasikan perdagangan bebas sebagai syarat bagi negara untuk meminjam dana dari mereka. Negara-negara itu dipaksa untuk menghilangkan hambatan perdagangan bebas, sehingga implikasinya adalah negara mereka diserbu oleh arus impor.
Berdasarkan pemaparan Stiglitz, bisa dikatakan pidato Jokowi seperti salah sasaran, karena Jokowi meneriakkan kerjasama internasional di antara lautan peserta yang pro terhadap persaingan dan kompetisi global.
Bisa saja hal itu yang membuat beberapa pihak mengkritik Jokowi karena terindikasi sedang mencari sensasi di tahun politik. Seperti Sandiaga, ia mengkritik Jokowi karena bilang musim dingin telah datang. Sedangkan Sandiaga lebih sepakat kalau saat ini Indonesia sedang menghadapi musim kemarau, bukan musim dingin.
Serangan Winter atau Kemarau?
Sandiaga Uno tak sepakat jika perekonomian Indonesia disebut telah terancam oleh musim dingin, yang dalam penggambaran Jokowi merupakan ancaman global. Bagi Sandiaga, ancaman ekonomi Indonesia saat ini tak cuma datang dari faktor eksternal, melainkan juga dari faktor internal.
Hal ini tentu saja sejalan dengan manuver politik kelompok oposisi selama ini. Kelompok oposisi sering kali mengkritik kubu Jokowi karena dianggap telah mengkambinghitamkan situasi eksternal atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Seperti pada kasus dolar, kubu Jokowi seperti tak mau disalahkan atas kenaikan dolar, mereka selalu melempar masalah itu pada situasi global. Sementara kubu Prabowo sudah sejak lama mengkritik Jokowi dan tim ekonomi yang dinilai gagal dalam mempertahankan stabilitas ekonomi ketika sedang terjadi perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat.
Maka ketika Jokowi tampil di panggung dengan pidato “The Winter is Coming”, Sandiaga seperti memanfaatkan momentum itu untuk mengoreksi balik pendapat Jokowi dengan mengatakan, ancaman untuk perekonomian Indonesia bukan cuma musim dingin, melainkan musim kemarau.
Terlihat setelah itu, Sandi mempromosikan visi ekonomi kelompok oposisi dengan mengatakan bahwa dia berkomitmen untuk mereformasi struktur di bidang ekonomi agar istilah kemarau panjang di Indonesia bisa diatasi dengan perbaikan internal, bukan justru bergantung pada ekonomi global.
Baik Jokowi ataupun Sandi sama-sama ingin menekankan bahwa situasi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Perang istilah antara winter ala Jokowi dan kemarau ala Sandi bisa saja justru akan semakin memperkaya pemahaman publik, bahwa krisis ekonomi tak bisa diselesaikan melalui satu pendekatan saja. Melainkan harus dilihat secara menyeluruh.
Dari pemahaman itu, bisa dikatakan bahwa tahun politik saat ini mulai memasuki masa-masa menarik. Bukan tak mungkin ke depannya akan ada film-film milenial lain yang dirujuk oleh Jokowi untuk menarik perhatian publik. Jika sudah begitu, tinggal dilihat apakah kubu Prabowo-Sandi sudah siap untuk mengcounter manuver politik Jokowi seperti saat ini. Atau justru mereka tak mampu membendung kreatifitas kubu Jokowi? Menarik untuk ditunggu. (D38)