Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut masyarakat yang menginginkan Indonesia seperti Timur Tengah mayoritas pendukung Prabowo-Sandi
[dropcap]L[/dropcap]embaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait pergeseran dukungan Capres-Cawapres setelah Ijtima Ulama II. Hasil survei dari lembaga yang didirikan Denny JA tersebut menyebutkan bahwa Ijtima Ulama II mengubah pergeseran suara masyarakat, tetapi tidak banyak berpengaruh untuk mendongkrak suara Prabowo-Sandi.
Disebutkan setelah Ijtima Ulama II, suara Prabowo-Sandi di kalangan Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) dukungan terhadap Prabowo naik dari 61,1% ke 75%, sedangkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) justru turun dari 27% ke 26,1%.
Sementara, dukungan kalangan NU terhadap Jokowi-Ma’ruf naik dari 54,7% ke 55,5%. Selain NU, Jokowi-Ma’ruf juga mendapatkan suara dari kalangan non-muslim sebesar 56,8%, sedangkan Prabowo-Sandi hanya 28,6%.
Mengapa Setelah dukungan Ijtimak Ulama 2 yang penuh mendukung Prabowo-Sandi, dukungan total pemilih Jokowi- Maruf masih unggul telak? pic.twitter.com/WiOPk85T7Y
— Denny JA (@DennyJA_WORLD) September 28, 2018
Akan tetapi, ada hal menarik dalam hasil survei LSI tersebut. LSI memiliki sampel-sampel khusus yaitu masyarakat yang menginginkan Indonesia seperti Timur Tengah dan mereka yang mendukung Pancasila.
Hasilnya adalah 50,0% masyarakat yang menginginkan Indonesia seperti Timur Tengah mendukung Prabowo-Sandi. Sementara itu, masyarakat yang mendukung agar Indonesia tetap khas dengan Pancasila hanya sebesar 29,8% yang mendukung Prabowo-Sandi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa isu mengenai Pancasila dan negara Islam ala Timur Tengah disinggung oleh survei LSI? Di titik itu, masyarakat bisa saja bertanya-tanya, adakah maksud terselubung di balik hembusan isu Indonesia akan menjadi seperti Timur Tengah?
Menggiring Timur Tengah ke Prabowo
Timur Tengah adalah representasi dari dunia Islam. Wilayah tersebut selalu diidentikan dengan kekacauan, kekerasan, ekstremisme dan terorisme. Aturan dalam negara Islam juga sering kali dipandang telah mengesampingkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Peneliti dari Australia Halim Rane, Jacqui Ewart dan John Martinkus dalam buku Media Framing of the Muslim World mengatakan media-media baratlah yang berperan dalam pembentukan opini tersebut. Oleh karena itu, dunia Islam dipandang sebagai suatu hal menakutkan.
Di Indonesia sendiri, narasi tentang fundamentalisme agama dan hal yang erat dengan stereotip Timur Tengah ala Barat mulai menguat beberapa tahun terakhir. Salah satu yang mirip misalnya adalah isu mengenai ancaman sistem khilafah di Indonesia. Sistem itu dan para pembela di belakangnya dianggap akan menggantikan Pancasila dengan sistem khilafah. Khilafah menjadi korban framing buruk setara dengan gambaran Timur Tengah ala Barat.
Tidak berhenti disitu, tuduhan yang juga mirip sering kali ditujukan ke arah Front Pembela Islam (FPI). Organisasi asuhan Rizieq Shihab itu dianggap oleh media Barat telah mewakili representasi dunia Islam atau Timur Tengah yang identik dengan kekerasan.
Dalam konteks politik Indonesia saat ini perkembangan isu bahwa Indonesia akan menjadi seperti Timur Tengah bisa saja akan merugikan Prabowo-Sandi. Pasalnya, sebagian besar pendukung Prabowo adalah kelompok-kelompok Islam seperti disebutkan di atas.
Masyarakat bisa saja tak memilih Prabowo karena ia akan dianggap sebagai representasi dunia Islam dengan para pendukung di belakang layar yang selalu dituding ingin mengubah Indonesia menjadi seperti Timur Tengah dengan segala stereotipnya.
Tuduhan yang mirip sebenarnya sudah diarahkan ke Prabowo sejak lama. Prabowo pernah dituduh akan menggantikkan Pancasila dengan sistem khilafah. Mantan Danjen Kopassus itu pun langsung membantah mentah-mentah tudingan tersebut. Ia menyebut isu khilafah adalah bentuk propaganda licik.
Saat ini, kubu Prabowo seperti mendapatkan hantaman baru. Pasalnya, tuduhan itu kini sudah didukung oleh data dari lembaga sekelas LSI. Hasil survei lembaga survei Denny JA tersebut mengatakan bahwa pendukung Prabowo ingin Indonesia menjadi seperti Timur Tengah, atau berubah haluan menjadi negara Islam.
Maka bisa dikatakan hasil survei LSI Denny JA cenderung mendiskreditkan kubu Prabowo karena dianggap akan mengubah Indonesia setara dengan negara Timur Tengah lengkap dengan segala stereotipnya. Sebaliknya, hal ini bisa saja akan menguntungkan kubu Jokowi karena dianggap akan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara.
Melawan Wacana
Sebelum hasil survei LSI dirilis, muncul wacana mengenai pemutaran film G30S/PKI pada tanggal 30 September. Tokoh-tokoh di balik wacana pemutaran film tersebut adalah Rizieq Shihab, Gatot Nurmantyo, hingga kader Golkar Dedi Mulyadi.
Dedi Mulyadi mengajak untuk memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) karena selama ini pendukung Jokowi selalu mendapat stigma alergi terhadap film tersebut. Merujuk pada pendapat Dedi, kubu Jokowi memang sering kali dituduh sebagai komunis.
Tuduhan komunis sudah sejak lama di arahkan ke Jokowi, bahkan sejak ia mendeklarasikan diri sebagai calon presiden tahun 2014. Tuduhan itu pun tidak menghilang ketika Jokowi menjadi presiden. Beberapa kebijakan Jokowi seperti pembagian sertifikat tanah kepada petani justru diplesetkan sejalan dengan cita-cita PKI tentang reformasi agraria.
Sangatlah wajar ketika ketakutan di kubu Jokowi muncul ketika kelompok oposisi mengimbau masyarakat untuk memutar film G30S/PKI. Bukan karena Jokowi benar seorang komunis, melainkan karena pemutaran film itu cenderung mendiskreditkan Jokowi dan para simpatisan. Tentu hal tersebut akan merugikan Jokowi secara elektoral.
Akan tetapi, hasil survei dari LSI mengenai keinginan pendukung Prabowo untuk merubah Indonesia menjadi negara Islam seperti di Timur Tengah seperti menampar wajah kubu Prabowo. Propaganda beberapa tokoh di kubu Prabowo tentang ancaman kebangkitan PKI seperti coba dibenamkan oleh hasil survei dari LSI.
Lembaga survei tersebut seperti sedang menyodorkan data bahwa keinginan mengubah haluan negara justru datang dari para pendukung Prabowo. Bukan justru Jokowi yang selama ini dituduh sebagai pengkhianat negara semacam PKI.
Menariknya, hasil survei tersebut datang dari LSI, sebuah lembaga riset yang juga sering kali merangkap sebagai konsultan politik. Dalam kontestasi politik Indonesia, LSI Denny JA mengklaim telah memenangkan 3 calon presiden, 33 calon gubernur, dan 60 bupati/walikota di Indonesia.
Selain itu, LSI juga merupakan salah satu konsultan politik Jokowi di tahun 2014. Peneliti LSI Adjie Alfaraby mengakui bahwa Direktur Eksekutif LSI, Denny JA adalah konsultan politik Jokowi pada tahun 2014. Maka bukan tidak mungkin saat ini LSI kembali menjadi konsultan politik Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019. Artinya, dugaan bahwa LSI berusaha membentuk opini pada hasil survei itu mungkin saja benar.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby mengakui bahwa Direktur Eksekutif LSI, Denny JA adalah konsultan politik Jokowi pada tahun 2014 Share on XMenurut Peter Hitchens dalam buku The Broken Compass, lembaga survei adalah salah satu alat untuk membentuk opini publik. Maka keberpihakan lembaga survei kepada salah satu kandidat tentu menjadi masalah tersendiri bagi keberlangsungan demokrasi. Hal itu dikarenakan sebuah lembaga survei bisa menggiring opini tertentu untuk menguntungkan klien politiknya, terkait dengan fungsi mereka yang kerap merangkap sebagai konsultan.
Baik Jokowi ataupun Prabowo pasti sama-sama memiliki konsultan politik di belakang mereka. Dalam kontestasi Pilpres, peran lembaga survei amat dibutuhkan untuk mengetahui dengan cermat apa keinginan publik, sekaligus bisa membantu kedua kandidat untuk menggiring opini demi memenangkan kompetisi Pilpres 2019.
Pada akhirnya, publik yang bisa menilai, apakah survei tentang pendukung Prabowo pro Indonesia seperti Timur Tengah ini murni hal yang ilmiah ataukah penggiringan opini. Kalau menurutmu, bagaimana? Berikan pendapatmu. (D38)