“When I do good, I feel good; when I do bad, I feel bad, and that is my religion.” – Abraham Lincoln
Pinterpolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ampanye Pemilihan Presiden secara resmi memang belum dimulai, namun persiapan calon-calon yang bertanding sudah nampak diperlihatkan. Salah satu aktivitas yang tidak luput dalam menyambut Pilpres 2019 adalah safari politik. Safari politik biasa dilakukan oleh kontestan dalam rangka silaturahmi atau mencari dukungan, dan biasanya dilakukan ke kantong-kantong yang memiliki pengaruh atau basis massa yang besar.
Safari politik yang kini tampak adalah kunjungan Ma’ruf Amin ke berbagai pondok pesantren yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Blusukan Kiai Ma’ruf ini dinilai selain sebagai silaturahmi, juga untuk “mengamankan” ceruk suara Islam yang tersebar di sana. Pondok pesantren yang dikunjungi oleh Ma’ruf mayoritas berafiliasi dengan Nadhatul Ulama (NU).
Kiai merupakan bagian dari kelompok elite yang memiliki kedudukan penting dalam struktur umat Islam di Indonesia. Share on XDalam kunjungan politik itu, Ma’ruf – yang kini menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar NU – mengklaim bahwa ia mendapatkan dukungan suara dari kiai-kiai sepuh di Jawa Timur. Beberapa di antaranya yakni pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang Solahuddin Wahid atau Gus Solah, pengasuh Ponpes Sunan Drajat di Lamongan Abdul Ghofur, dan para kiai di Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras.
Sebelumnya, kronologi pencalonan Ma’ruf Amin mendampingi Joko Widodo (Jokowi) menimbulkan drama karena adanya tarik ulur kepentingan di tubuh koalisi Jokowi, terutama dari PPP dan PKB. Ma’ruf dianggap menikung Mahfud MD yang sebelumnya menjadi kandidat terkuat pendamping Jokowi.
Drama itu lantas membuat kecewa Mahfud, bukan karena dirinya tidak jadi disunting Jokowi, namun lebih karena adanya tikung-menikung di antara sesama warga NU. Hal itu bisa dilihat ketika Mahfud memberikan testimoni di acara Indonesia Lawyers Club (ILC).
Testimoni itu disebut memecah suara kalangan NU. Mahfud yang juga warga NU ini memberikan pernyataan blak-blakan yang diperkirakan akan memberikan dampak yang kurang baik bagi Ma’ruf Amin, khususnya dari warga NU kultural yang umumnya tidak terlibat dalam struktur politik organisasi.
Fenomena perebutan suara di kantong Ponpes dan kiai serta santri dalam Pemilu saat ini sudah biasa terjadi, utamanya setelah reformasi 1998. NU sebagai organisasi Islam terbesar tentunya memiliki potensi besar untuk memberikan suara pada Pilpres 2019. Wajar jika para kandidat melakukan safari politik ke Ponpes untuk kepentingan elektoral.
Sementara, saat ini Ma’ruf yang mewakili NU struktural – kelompok yang politis dan umumnya ada dalam struktur kepengurusan organisasi – nampaknya memiliki tugas cukup berat untuk mengamankan suara di rumahnya sendiri. Apalagi ditambah dengan fakta selama ini suara NU tidak pernah bulat dalam menentukan dukungan terhadap partai politik tertentu.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikap politik Ponpes yang direpresentasikan oleh para kiai dalam ajang Pilpres 2019, dan apakah Ma’ruf Amin diuntungkan sebagai cawapres cum kiai dari kalangan NU?
Sikap Politik Kiai
Kehadiran kiai amatlah penting dalam kehidupan sosial politik. Kiai merupakan bagian dari kelompok elite yang memiliki kedudukan penting dalam struktur umat Islam di Indonesia. Kiai menjadi salah satu elite strategis dan merupakan figur yang memiliki pengetahuan mendalam terkait perkembangan masyarakat. Tidak mengherankan jika kemudian kiai menjadi sumber legitimasi dari berbagai persoalan masyarakat, termasuk dalam hal politik.
Hal yang menarik berkaitan dengan peran sosial politik kiai adalah terkait hubungan antara persepsi teologis atau semacam nilai yang dianut oleh kiai dengan perilaku sosial politiknya. Perbedaan persepsi teologis para kiai memperlihatkan adanya perbedaan perilaku sosial politik yang diperankannya.
Secara spesifik, perbedaan perilaku sosial politik kiai terlihat juga pada kelenturan sikap politik yang dimainkannya. Kiai dengan latar sosio-religius kelompok tradisionalis seperti NU umumnya lebih mendasarkan argumentasinya pada pemaknaan terhadap konteks secara lebih bebas, sehingga memiliki sikap yang cenderung lentur dan terbuka.
Hal ini yang kemudian menyebabkan suara NU – pun begitu dengan para kiainya – tidak bulat. Berkaitan dengan perubahan situasional yang menyangkut dengan pilihan-pilihan dan kecenderungan politik yang terjadi, secara umum dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, ada kelompok kiai yang memilih diam ketika menghadapi berbagai dinamika politik. Mereka biasanya memilih untuk pasif dalam partisipasi politik, lebih mempertimbangkan lembaga pendidikan (dakwah) yang menjadi konsentrasinya. Kelompok ini biasanya disebut dengan kiai kultural.
Kedua, kiai yang tanggap terhadap berbagai perubahan sosial politik yang terjadi, terutama dalam konteks partisipasi politik praktis. Kiai tipe ini berpendapat jika perubahan merupakan tawaran nilai dari sesuatu yang baru, yang mungkin saja mengandung hal yang lebih baik dari nilai lama, sehingga dengan demikian ia bisa dikompromikan untuk diterima.
Pada poin kedua, seperti apa yang ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, kiai memiliki fungsi sebagai makelar kultural (cultural brokers). Artinya bahwa kiai memiliki pengaruh, dan hal itu terletak pada pelaksanaan fungsi makelar tersebut. Meski secara politis kiai dikategorikan sebagai sosok yang tidak punya pengalaman dan kemampuan profesional, tetapi secara sosial terbukti mampu menjembatani berbagai kepentingan melalui bahasa yang paling mungkin digunakan.
NU sebagai organisasi sosial tidak terlepas dari peristiwa politik. Misalnya, pada saat Muktamar NU ke-33 pada tahun 2015 lalu yang menimbulkan kekisruhan. Suara kiai seolah terbelah karena masing-masing memiliki agenda dan kepentingan politik masing-masing. Pada saat itu, suara kiai terbagi menjadi dua kubu, dan muncul perdebatan terkait tata tertib pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum.
Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang, Kiai Solahuddin Wahid atau Gus Solah menjadi sosok yang menolak sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA) atau semacam sistem pemilihan yang diwakilkan oleh tim formatur untuk memilih Rais Aam dan Ketua Umum. Sementara sosok seperti Kiai Anwar Iskandar, yang mengasuh Ponpes Al Amin, Kediri setuju dengan sistem AHWA.
Dalam konteks Pilpres 2019 nanti, tentu saja kiai memiliki peran penting, sekaligus menjadi sasaran dari pada kandidat yang bertarung. Kondisi ini memantik sikap dari para kiai kampung – atau istilah yang disematkan kepada para kiai sepuh yang memiliki akses kepada kiai dalam tataran atas dan masyarakat pinggiran – yang sudah menentukan sikap terkait Pilpres 2019.
Menguntungkan Ma’ruf?
Sementara itu, menurut pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, sikap Ma’ruf dalam hal safari politik ke Pondok Pesantren penting karena wilayah tersebut adalah tugasnya untuk mengkapitalisasi suara umat Islam.
Jika dilihat dari posisi para kiai, memang ada budaya sami’na waato’na atau kami mendengar dan kami taat, kepada para kiai. Sehingga jika Ma’ruf Amin mendapatkan dukungan dari para kiai di Ponpes, maka hal itu bisa menjadi nilai positif bagi Ma’ruf untuk menarik suara para santri yang lebih besar.
Bagaimanapun figur Ma’ruf sebagai kiai sepuh dan berpengaruh memiliki nilai tersendiri dalam posisinya sebagai cawapres. Secara psikologis hal itu bisa dimanfaatkan untuk menarik simpati dari para kiai lainnya untuk kemudian menyampaikan agenda politik kepada para santri di Ponpes masing-masing.
Adanya kelekatan dalam diri kiai dan santri ini sejalan dengan yang dijelaskan dalam teori attachment (kelekatan) John Bowlby. Teori ini menilai bahwa ikatan emosional yang dibentuk seseorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu attachment atau kelekatan yang bersifat kekal.
Melihat kondisi sosio-psikologis seorang kiai sebagai sosok yang sering diidentifikasi memiliki kekuatan kharismatik di tengah-tengah masyarakat, kiai dipandang memiliki kemampuan “luar biasa” untuk menggerakkan masyarakat khususnya dalam menentukan pilihan-pilihan politik.
Maka pernyataan Ma’ruf yang mengatakan sudah mengantongi dukungan dari para kiai bisa dimaknai sebagai hasil positif dalam upayanya mendulang suara pada Pilpres 2019 nanti.
Meskipun begitu, disinyalir suara NU tidak akan bulat mendukung Ma’ruf Amin. Karakteristik dari kiai di pesantren yang merupakan golongan NU kultural berkontribusi membuat suara mereka tidak bulat mendukung Ma’ruf. Ma’ruf yang masih menjabat sebagai Rais Aam (NU struktural) – sekalipun sedang berpikir untuk mengundurkan diri – tidak akan terlalu berpengaruh dalam mengubah haluan suara santri dan kiai NU. Para kiai di tataran kultural biasanya cenderung pasif dan tidak suka berpolitik dengan menyampaikan agenda politik kepada santri mereka.
Selain itu, mekanisme pencoblosan juga menjadi celah bagi tidak bulatnya suara yang akan diraih oleh Ma’ruf Amin. Dulu para santri bisa dikerahkan untuk memilih salah satu calon tertentu karena TPS berada di pesantren, sedangkan sekarang para santri dipulangkan ke rumahnya masing-masing untuk melakukan pemilihan. Karakter santri yang merupakan swing voters atau pemilih mengambang akan menjadi ganjalan Ma’ruf dalam hal mendapatkan suara santri.
Nampaknya posisi Ma’ruf sebagai kiai sekaligus Cawapres memerlukan pola yang lebih terukur agar bisa maksimal. Bahkan jika ingin all out, kubu Jokowi perlu membuat jejaring tim sukses di level pesantren. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendekatan kepada kiai yang kemungkinan enggan untuk terlibat lebih jauh dalam urusan untuk memilih salah satu kandidat.
Mencermati kondisi faktual pondok pesantren dan sikap politik para kiai menarik untuk ditunggu. Pondok pesantren sebagai kantong pemilihan menjadi medan magnet tersendiri bagi para kandidat yang bertarung dalam Pilpres. Bagi para kiai, semoga politik praktis seperti Pilpres tidak menjadi pilihan pragmatis dan terjurumus dalam politik kekuasaan. (A37)