HomeNalar PolitikPermanenkan Koalisi, Golkar Yakin Menang?

Permanenkan Koalisi, Golkar Yakin Menang?

Anggota Fraksi Golkar mengusulkan koalisi permanen dimasukkan dalam UU Pemilu paska Pilpres 2019, Golkar yakin menang?


PinterPolitik.com

“Sebagai Koalisi Pemerintah, kita mewarisi rasa tidak percaya dan keyakinan akan sistem politik yang ada.” ~ Andrew Lansley

Rasa tidak percaya pada partai politik, berdasarkan perkataan Politikus Inggris Andrew Lansley di atas, terbukti tidak hanya terjadi di negara kita saja. Di tanah air, tingginya ketidakpercayaan masyarakat pada parpol ini juga diperlihatkan oleh hasil survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut survei tersebut, PDI Perjuangan yang paling mendapatkan kepercayaan tertinggi dari masyarakat saja, hanya memperoleh 24,1 persen. Begitu juga Golkar yang berada di bawahnya, hanya meraih 1o,2 persen saja. Kondisi ini berbeda dengan tingkat kepercayaan masyarakat pada iklim demokrasi pada pemerintahan saat ini.

Peneliti Senior LIPI, Syamsudin Haris mengatakan, kalau tingkat kepercayaan publik pada iklim demokrasi di pemerintahan saat ini mulai membaik. Fakta ini terlihat dari meningkatnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam kontestasi politik, terutama di Pilkada Serentak yang dilaksanakan Juni lalu.

Membaiknya iklim demokrasi ini, juga diakui oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang mengatakan kalau partisipasi masyarakat di Pilkada lalu, mencapai 73,24 persen. Walau tidak mencapai target yang ditetapkan oleh KPU, yaitu 77 persen, namun angka tersebut pun sudah lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pilkada 2017 lalu.

Keterlibatan masyarakat yang lebih aktif ini, juga terlihat dari semakin kritisnya masyarakat dalam memilih kepala daerahnya. Apalagi banyak pengamat yang percaya bahwa pilihan masyarakat di Pilkada lalu, beririsan langsung dengan kecenderungan presiden yang akan dipilihnya pada Pemilihan Presiden tahun depan.

Hanya saja, peta koalisi yang dibentuk parpol saat menghadapi Pilkada dengan Pilpres mendatang memang sangat berbeda. Padahal, Golkar melihat kalau pilihan kepala daerah masyarakat di Pilkada lalu, lebih banyak mengacu pada sosok presiden yang akan diusung oleh kepala daerah tersebut.

Kebingungan masyarakat ini, diungkap oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo. Oleh karena itu, dalam evaluasi Undang-undang Pemilu yang akan dibahas DPR nanti, Firman mengatakan partainya akan mengusulkan akan adanya koalisi permanen, baik di pemilihan presiden maupun kepala daerah.

Sebagai salah satu parpol koalisi pemerintah, Golkar tentu diuntungkan dengan koalisi permanen apabila Jokowi kembali meraih kekuasaan untuk periode selanjutnya. Namun bagaimana kalau ternyata Jokowi kalah? Akankah Golkar yang dikenal sebagai partai presidensialisasi ini akan mampu berseberangan dengan Pemerintah?

Golkar, Presidensialisasi Partai

“Partai tidak hanya atau tidak seperti sekelompok orang yang memiliki serangkaian ide dan tujuan ideal.” ~ Lord Acton

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Bagi Politikus Inggris kelahiran Italia bernama asli John Emerich Edward Dalberg-Acton yang terkenal dengan adagiumnya, ‘kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti akan korup’ ini, parpol tak lain hanyalah sekumpulan orang yang memiliki ide atau tujuan yang sama, yaitu meraih kekuasaan.

Tak terkecuali dengan partai Golkar. Sebagai parpol yang lahir di era Orde Baru, Partai berlambang pohon beringin ini dikenal sebagai partai yang menjadi kendaraan Soeharto dalam melanggengkan 32 tahun kekuasaannya. Akibatnya, di era reformasi pun, sulit bagi Golkar untuk berada di luar pemerintahan.

Kecenderungan Golkar untuk selalu berada di pemerintahan ini, menurut Koichi Kawamura dalam makalah Presidentialism and Political Parties in Indonesia: Why Are All Parties Not Presidentialized? – menandakan kalau Golkar merupakan tipe partai yang selalu mengincar kemenangan dan ikut berkuasa bersama presiden pilihannya.

Sebagai partai kedua terbesar di tanah air, Golkar memiliki semua ciri dari presidentialized party atau partai presidensialisasi, yaitu memiliki organisasi politik yang kuat serta memiliki potensi untuk memenangkan Pemilu berkat elektabilitasnya yang relatif lebih besar dibanding partai lainnya.

Salah satu bukti yang menguatkan kalau Golkar adalah partai presidensialisasi, adalah saat Partai Kuning ini memutuskan hengkang dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Walau KMP menguasai kursi legislatif, namun kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 membawa KIH sebagai partai penguasa eksekutif (pemerintah).

Keputusan Golkar yang akhirnya mendukung pemerintahan Jokowi ini, juga tak lepas dari bentuk kartelisasi partai yang diberikan pada partai pimpinan Airlangga Hartarto ini. Istilah kartelisasi, berdasarkan tulisan Dan Slater – Indonesianis dari University of Michigan, merupakan bentuk power sharing (bagi-bagi kekuasaan).

Dalam tulisan yang berjudul Party Cartelisation, Indonesian-style tersebut, Slater mengatakan kalau hampir semua parpol di koalisi pemerintah membagi kekuasaan eksekutif tanpa memperhitungkan afiliasi politiknya. Tujuannya, tentu saja untuk menciptakan keseimbangan politik dan persaingan politik secara terbuka.

Bagi-bagi kekuasaan ini, terlihat dari bagaimana Golkar langsung mendapatkan ‘jatah’ kursi menteri yang jumlahnya bahkan lebih besar dari PDI Perjuangan sebagai partai pengusung utama Jokowi. Sehingga tak heran bila elektabilitas Jokowi yang lebih tinggi dari Prabowo Subianto, merupakan upayanya dalam mempertahankan kekuasaan.

Koalisi Permanen, Jaga Status quo?

“Partai politik yang banyak merupakan koalisi yang rumit dan tidak terlalu teoritis.” ~ William Kristol

Kritikus politik asal AS yang lebih dikenal sebagai Bill Kristol ini, merupakan editor dan pendiri surat kabar Weekly Standard, sehingga komentar-komentar politiknya pun cenderung pedas dan menusuk. Termasuk komentarnya mengenai koalisi partai politik yang cenderung rumit dan juga pragmatis dalam mengambil keputusan.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Sebagai negara penganut sistem presidensial dengan multipartai, koalisi yang terjadi di tanah air juga cenderung pragmatis karena tujuan utamanya untuk mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, koalisi yang terbangun pun sebagian besar bukan sekedar untuk mencari suara (vote seeking) tapi juga sebagai alat pencari kekuasaan (power seeking).

Atas alasan kekuasaan pula, koalisi yang terbangun menjadi cair karena koalisi tidak dilandasi atas ideologi partainya masing-masing. Akibatnya, koalisi di Pilkada dan di Pilpres pun bisa berlainan. Di Pilkada, koalisi yang terjadi lebih ditekankan pada vote seeking, karena itu parpol yang berseberangan di nasional bisa berkoalisi di Pilkada.

Sementara di nasional, koalisi yang terjadi bukan hanya didasari atas penjaringan suara tapi juga pada tokoh yang akan diusung oleh parpol sebagai calon presidennya. Hanya saja, polarisasi yang terjadi antara pendukung Jokowi dan Prabowo, memang ternyata mempengaruhi hasil dari Pilkada lalu.

Walau ide adanya koalisi permanen pernah dibangun Prabowo paska Pilpres 2014, namun wacana itu terbukti tidak berhasil mengingat satu persatu anggota KMP berbalik arah mendukung Pemerintah, salah satunya Golkar sendiri. Sehingga usulan Firman di atas, dapat dikatakan sebagai keyakinannya akan kemenangan Jokowi di Pilpres 2019.

Berkaca pada Pilkada Serentak lalu, di mana kepala daerah yang terpilih satu persatu mendeklarasikan dukungannya agar Jokowi kembali berkuasa di periode berikutnya, bisa jadi Golkar tengah berupaya untuk mempertahankan status quo kekuasaan dan kemenangan di Pilpres selanjutnya.

Berdasarkan hitungan politik, kekuatan koalisi Pemerintah saat ini memang terlihat lebih kuat dibanding oposisi. Sehingga dengan adanya koalisi permanen, Golkar akan diuntungkan dengan kekuatan besar yang ada di kubu Jokowi. Namun bagaimana kalau ternyata di Pilpres nanti, Jokowi mengalami kekalahan?

Sebagai Presidensialisasi Partai, tentu sulit bagi Golkar untuk berada di posisi oposisi seperti yang pernah terjadi di 2014. Bila memang koalisi permanen jadi terbentuk, apakah Golkar mampu mengubah paradigma partainya yang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa? Atau jangan-jangan, Golkar sendiri yang akan mengkhianatinya kembali. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...