Pemilihan umum telah menipu kita, seluruh rakyat dipaksa gembira, hak demokrasi dikantongi, hidup kita belum merdeka, semua partai tak dapat dipercaya, ujung-ujungnya cuma duitnya, di bawah Undang-Undang warisan Belanda, jangan nyoblos, ayo tinggal tidur saja. – Lirik lagu “Pilu Pemilu”, Kepal-SPI.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]amboja, negara yang dijuluki Hell on Earth itu pada 29 Juli mendatang akan merayakan Pemilu secara nasional. Sebelumnya, negara ini telah menyelenggarakan pemilihan legislatif yang dimenangkan oleh Cambodian People’s Party (CPP) -Partai pimpinan Hun Sen- dan meraup 51 persen suara, sementara partai oposisi Cambodia National Rescue Party (CNRP) hanya mendapatkan 46 persen suara saja.
Berbekal kemenangan legislatif itu, Hun Sen, yang merupakan Perdana Menteri Kamboja, percaya diri, bahwa partainya dengan mudah bakal meraih kemenangan pada Pemilihan Perdana Menteri nanti. Rasa percaya diri yang dimiliki Hun Sen, memang bukan sekedar isapan jempol, apalagi berkaca pada pengalaman politik dan kekuasaannya yang telah berumur 30 tahun.Tentu dia memiliki kekuatan politik yang terlembaga secara kuat.
Dan mungkin saja, Pemilu serentak nanti merupakan keberuntungan politik yang berpihak kepadanya. Tapi harus dipahami, muskil mengatakan demokrasi di Kamboja saat ini berjalan adem ayem. Apalagi, melihat fakta bahwa penerapan sistem demokrasi-liberal yang baru seumur jagung di negara itu –yang diterapkan sejak 1993. Tentu, masih banyak tudingan miring yang menyudutkan negara itu.
Salah satu kritik misalnya datang dari Prof Gareth Evans –mantan menteri luar negeri Australia periode 1988-1996– dalam pidato pembukaan konferensi publik bertajuk “Cambodia on the Brink: Towards the 2018 elections di Australia. Gareth menyebutkan banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Kamboja, termasuk tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Hun Sen.
Bukan hanya Gareth Evans, hal senada juga diucapkan oleh mantan oposisi Sam Rainsy, seperti disitat Channel News Asia, bahwa menurut Sam, Pemilu Kamboja hanya untuk melegitimasi kekuasaan Hun Sen. Sementara itu, PBB juga menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Kamboja terhadap pers yang dalam terminologi demokrasi merupakan pelanggaran terhadap freedom of expression.
Sam Rainsy misalnya, bahkan secara frontal mengajak masyarakat Kamboja untuk tidak memberikan suaranya pada Pemilu nanti. Ini tentu saja bisa dianggap sebagai gerakan untuk mengajak masyarakat menjadi golongan putih (golput). Walaupun demikian, gerakan Sam tidak boleh dimaknai sebagai agenda apatisme politik semata, namun lebih merupakan bagian dari kesadaran politik yang menuntut perubahan politik di negara tersebut.
Meski begitu, apa yang dilakukan Sam Rainsy sebenarnya juga cacat secara hukum. Ini sama halnya di Indonesia sebagaimana tercantum pada UU No 8 tahun 2012 yang menyatakan bahwa menghasut orang untuk melakukan golput atau tidak memilih merupakan tindakan yang bertentangan dengan aturan. Kecuali jika pilihan golput itu merupakan pilihan pribadi, tanpa perlu mengajak pihak lain.
So, jalan keluarnya, untuk mengetahui sejauh mana ketertarikan masyarakat terhadap Pemilu di suatu negara dan apakah masyarakat masih percaya terhadap parpol, hanya bisa diukur melalui partisipasi masyarakat dalam politik elektoral.
Tapi jika bicara soal seruan golput atau menyoal tingginya angka golput, tak hanya di Kamboja, Indonesia juga memiliki problematika yang sama.
Tercatat sejak Pemilu pertama kali di tahun 1955 hingga Pemilu 2014, partisipasi masyarakat terhadap Pemilu justru cenderung menurun. Pada Pemilu 1955, tingkat pemilih mencapai 91,4 persen dengan angka golput sekitar 8,6 persen. Di era Orde Baru, partisipasi politik justru meningkat 96,6 persen, sementara angka golput menurun drastis mencapai 3,4 persen.
Pasca reformasi, tepatnya pada pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen dan angka golput malah meningkat menjadi 7,3 persen. Angka yang memilukan mulai terjadi pada Pemilu 2004 dengan tingkat partisipasi pemilih turun hingga mencapai 84 persen dan jumlah golput meningkat hingga 15,9 persen.
Pada pilpres 2009, partisipasi politik juga menurun drastis mencapai 71,7 persen dan jumlah golput meningkat mencapai 28,3 persen. Sementara di tahun 2014, survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan partisipasi pemilih pada tahun itu mencapai 75,2 persen, sementara angka golput mencapai 24,8 persen.
dan saya tetap golput, entah punya e-ktp atau tidak punya e-ktp. suka-suka saya lah yang punya hak pilih, mau pake apa enggak.
— May Hera (@MayHera) March 24, 2018
Angka golput pada Pemilu Presiden Indonesia tahun 2009 dan 2014 jika diperhatikan hanya turun tipis, yakni 3,5 persen. Lantas apa sebenarnya penyebab kaum golput selalu ada dalam setiap gelaran pesta demokrasi?
Golput dan Decision Fatigue
Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossentose dalam tulisan berjudul “Who Votes” menyebutkan terdapat tiga faktor penyebab golput.
Pertama adalah tingkat pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, sementara mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung menghindari politik karena merasa tidak memiliki kepentingan dalam proses politik.
Faktor kedua adalah tingkat pekerjaan. Para voters yang bekerja pada lembaga yang berhubungan langsung dengan pemerintahan cenderung memiliki minat yang tinggi untuk terlibat dalam proses pemilihan, sebaliknya pemilih yang bekerja pada sebuah lembaga yang tidak berhubungan langsung dengan pemerintah cenderung menunjukan ketidaktarikannya pada proses Pemilu.
Faktor ketiga adalah tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan yang tinggi memudahkan orang untuk ikut terlibat dalam proses pemilihan, sementara mereka yang memiliki pendapatan rendah cenderung menunjukkan ketidakhadiran di bilik suara.
Tampaknya, pendapat Raymond dan Steven dapat dibenarkan. Hal ini sejalan dengan pengamat politik Karyono Wibowo dari Indonesia Public Institute (IPI) yang menyoal isu golput pada Pemilu 2014.
Menurutnya, selain alasan tidak mendapatkan kartu pemilih, alasan lain yang membuat orang tidak memilih atau tidak datang di TPS karena mereka lebih memilih bekerja dan mencari uang. Ini artinya, Pemilu bagi mereka tidak memberikan kesejahteraan atau minimal sama sekali tidak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Namun, tidak selamanya faktor sosial ekonomi menjadi indikator mutlak yang mendesak seseorang untuk tidak berpatisipasi dalam Pemilu.
Pendapat lain yang mungkin perlu diperdebatkan lebih lanjut datang dari Ned Augenblick dan Scott Nicholson. Dalam “Ballot Position, Choice Fatigue and Voter Behaviour”, Ned Augenblick dan Scott Nicholson mengatakan bahwa sebelum seseorang melakukan pemilihan atau memberikan pilihan tentunya mereka akan mencari informasi mengenai kandidat tertentu yang mampu menarik perhatian mereka. Namun, terlalu banyak pilihan dan informasi yang didapat justru memunculkan decision fatigue atau kelelahan dalam memilih.
Augenblick dan Nicholson juga menyebutkan bahwa banyak orang yang akhirnya menentukan pilihan politiknya justru di saat-saat terakhir mereka berjalan ke tempat pengumutan suara (TPS). Fenomena ini disebut sebagai roll-off. Fenomena roll-off terjadi karena adanya kelelahan dalam memilih atau decision fatigue tersebut.
Terlepas dari teorema di atas, kasus golput tampaknya juga dipengaruhi oleh beberapa indikator lain, misalnya ketidakpercayaan publik terhadap elit politik yang masih marak terjadi di Indonesia.
Golput dan Ketidakpercayaan Politik
Fenomena golput di Indonesia juga sebenarnya tidak terlepas dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dan elit politiknya yang tidak kompeten. Maka, tak salah jika banyak parpol di Indonesia terpaksa harus merekrut figur-figur dari luar partai.
Indikasi ini bisa dibuktikan melalui hasil survei Indobarometer pada 2017 silam yang menyebutkan sekitar 51,3 persen masyarakat Indonesia tidak lagi percaya dengan partai politik (parpol).
Golput lagi deh… lihat korupsi e ktp makin ga percaya sama partai..
— muhammad saekhu (@MuhammadSaekhu) March 24, 2018
Ketidakpercayaan masyarakat ini muncul karena parpol dinilai tak lagi peduli terhadap kepentingan rakyat dan hanya fokus pada bagaimana mendapatkan kekuasaan. Setelah berhasil memperoleh kekuasaan, yang terjadi hanyalah bagi-bagi kue di antara para elit politik.
Pragmatisme politik seperti di atas, sebenarnya sudah lama ditantang oleh aktivis-aktivis seperti Arif Budiman, Julius Usman dan Malujo Sumali dalam sebuah gerakan golput yang dikampanyekan pada tahun 1997 atau di akhir era kekuasaan Soeharto.
Gerakan ini pada dasarnya muncul atas dasar pandangan bahwa aturan main demokrasi harusnya ditegakkan. Gerakan ini juga dianggap sebagai gerakan yang pertama kali menggunakan istilah golput dalam politik di Indonesia.
Menurut Arief Budiman, gerakan ini sebenarnya ditujukan bukan untuk mencapai kemenangan politik, namun ingin melahirkan tradisi dimana ada jaminan berpendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Secara tak langsung, gerakan ini sebenarnya ditujukan untuk mengkritik kekuasaan Orde Baru yang begitu dekat dengan militer.
Ini artinya, gerakan golput yang dipimpin oleh Arief Budiman dan kolega merupakan bentuk perlawanan yang ditujukan untuk melawan rezim otoriter dan bukan semata-mata merupakan tindakan yang apolitis.
2019 gue mo golput aja, demi menjaga stabilitas negara, keluarga dan pertemanan. buat lindungin diri sendiri jg dr cebong onta dkk
jd kalo ditanya lo milih siapa, org ga bisa menghakimi. bodoamat golput jg pilihan, sama kek bunuh diri. thx
— Winnie R. Sajida R. (@winniesajida) March 24, 2018
Tak hanya di era Orde Baru, ancaman golput pada pemilihan presiden 2019 pun belakangan mulai mencuat di beberapa daerah, misalnya warga Sleman di Yogyakarta, yang mengancam akan golput pada Pilpres 2019 lantaran tidak sepakat dengan kepala Dukuh.
Selain Yogyakarta, warga di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Barat juga mengancam akan golput pada Pilpres 2019 karena kondisi infrastruktur jalan dan jembatan yang tak kunjung diperbaiki oleh negara.
Dengan demikian, sebuah gerakan golput (no voting decision) juga perlu dimaknai sebagai indikasi adanya kegagalan pemerintah untuk memenuhi aspirasi rakyat atau hajat hidup mayoritas dan bukan sebaliknya. Akankah golput meningkat di 2019? Menarik untuk ditunggu. (A13)