Al Pacino di film lawas The Godfather berkata, “keep your friend close, but your enemy closer”. Inilah yang coba dipraktekkan oleh Presiden Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]ukan tanpa alasan Presiden Jokowi mengangkat “pemukul”-nya sebagai salah satu tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Selain menuai kepopuleran karena kerap mengkritik Presiden, Ngabalin memiliki modal passion dan jaringan yang luas.
Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Eko Sulistyo selaku Deputi IV KSP. Ngabalin dipandang mampu mengkomunikasikan keberhasilan dan apa yang sudah dikerjakan oleh Pemerintah kepada publik yang lebih luas. Bila mengingat jaringan yang dimilikinya, asumsi tersebut bisa saja benar adanya.
Sebelum bergabung bersama Partai Golkar di tahun 2010, Ngabalin tercatat berada di Partai Bulan Bintang (PBB) dan sempat menjadi anggota legislatif serta aktif di Komisi I DPR RI Periode 2004-2009. Saat PBB tersungkur dalam laga Pilpres 2009, Ngabalin berinisiatif menjajal diri sebagai calon Ketua Umum PBB untuk periode 2010-2015.
Tetapi sayang, dirinya dikalahkan oleh MS Kaban pada muktaman III PBB di Medan. Karena kekecewaan dengan PBB, Ngabalin terima-terima saja saat diperkenalkan sebagai kader dari Golkar saat Rapat Kerja Nasional Partai Golkar tahun 2010. Semua memang berkat Jusuf Kalla (JK), yang menjadi jembatan antara dirinya dengan Golkar karena enam bulan lamanya pria berusia 49 itu pernah bertindak sebagai juru bicara JK pada Pilpres 2009.
Selain jaringan di PBB dan Golkar, sayap jaringan Ngabalin juga ada di kelompok massa Islam konservatif yang dua tahun lalu memutihkan jalanan. Benar sekali, Ngabalin adalah salah satu pendukung Imam Besar FPI, Habib Rizieq. Kedekatannya dengan Rizieq sudah terjalin sejak 2008, ia terlihat menemani Rizieq di rumah sakit karena terluka akibat bentrok dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Ia juga tercatat menemani Rizieq di persidangan.
Dukungannya kepada Rizieq di tahun 2008 itu, terus berlanjut hingga tahun 2016 silam. Di tengah dengan suasana kampanye Pilkada DKI Jakarta, Ngabalin adalah salah satu politisi yang meramaikan aksi bela Islam 411. Tak sekedar meramaikan, ia juga meneriakan orasi kepada Presiden Jokowi agar tidak menyepelekan gerakan 411 tersebut.
Sikapnya berseberangan dengan Presiden Jokowi juga sudah terlihat sejak laga Pilpres 2014. Ngabalin berada di sisi Prabowo dan Hatta Rajasa. Ngabalin menjadi koordinator juru bicara pasangan Prabowo dan Hatta.
Serangan yang dilakukannya saat itu antara lain, menyerang Jokowi dengan sebutan kerempeng dan dinilai tak menepati janji kampanye di Jayapura. Catatan karir sebagai koordinator jubir Prabowo, sempat pula ternoda karena dia dilaporkan melakukan kampanye hitam oleh kubu Jokowi saat itu, yakni Anthon Raharshun.
Menilik sepak terjangnya yang bisa dikatakan bagai “kutu loncat”, sudah pasti membuat jaringan yang dimilikinya luas. Terutama jaringan dari kelompok yang selama ini dianggap oleh pengamat politik, sebagai batu sandungan Jokowi, kelompok Islam radikal dan konservatif.
Langkah Jokowi untuk membawa Ngabalin ke istana, bukan hanya alasan passion dan relasi semata yang dimiliki oleh politisi kelahiran Fakfak, Papua tersebut. Tetapi juga sebuah strategi untuk mengamankan jalan menuju laga selanjutnya, yakni Pilpres 2019.
Jokowi Pegang “Ekor” Musuh
Penemu Microsoft sekaligus miliuner terkenal, Bill Gates pernah berkata untuk mempertahankan perusahaannya dirinya harus menggandeng musuh. Bila diistilahkan, Gates menyebut, domba terkadang harus tidur bersama dengan serigala demi bertahan hidup.
Apa yang dilakukan Gates dalam bisnisnya, bisa dijelaskan secara teoritis oleh Frank Harary, seorang matematikawan yang juga bergelut di dunia politik. Harary mengungkapkan sebuah teori keseimbangan, di mana keseimbangan maknanya selaras dengan status quo (kekuasaan). Untuk mencapai keseimbangan, seorang pemimpin perlu mengubah atau memeriksa hubungannya kembali agar tercipta atau bisa mempertahankan status quo (keseimbangan). Yang menarik, Harary secara implisit menyebut menciptakan hubungan dengan kutub berlawanan bisa menghasilkan kutub baru.
Secara politis, teori Harary diartikan dengan ko-opsisi (co-optition), yakni keadaan politisi dan musuh bergabung menjadi satu demi mencapai dan/atau mempertahankan keseimbangan (status quo).
Inilah yang hendak dilakukan oleh Jokowi dengan merangkul Ngabalin, politisi yang berpengaruh di kelompok islam konservatif dan radikal. Merangkul Ngabalin, menjadi langkah awal Jokowi untuk merengkuh pihak yang selama ini anti terhadapnya.
Pengamat politik LIPI, Wasisto Raharjo pun berpendapat senada. Menurutnya, memasukkan Ngabalin ke dalam Istana adalah sebagian langkah Jokowi menjinakan Islam yang cenderung tak pro pemerintah, “Jadi caranya adalah pegang dulu ekornya, baru nanti rengkuh semuanya,” ungkap Wasisto.
Tak hanya itu saja, Emrush Sihombing, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menambahkan juga jika Jokowi hendak menanamkan sebuah representasi bila dirinya bisa merangkul semua kalangan. Tentu saja hal ini memang sarat sekali kepentingan politik.
Bila demikian benar adanya, maka usaha yang sudah Jokowi lakukan sejak 2016 bisa melengkapi langkahnya. Sebelumnya Jokowi sudah membuka Istana untuk ormas Islam seperti Majelis Rasulullah hingga GNPF MUI pada November 2016. Jokowi juga pernah mengadakan halal-bihalal idul fitri dengan pemimpin ormas tersebut pada Juni 2017, hingga yang baru-baru ini dilakukan adalah bertemu Persaudaraan Alumni (PA) 212 di Istana Bogor pada April 2018 lalu.
Menggandeng Musuh Demi Status Quo
Bila menengok keluar, tak hanya Presiden Jokowi saja yang menjalankan strategi merangkul musuh. Mahatir Mohammad yang baru terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Malaysia, juga menerapkan hal yang sama. Ia berdamai dengan Anwar Ibrahim dan menggandengnya menjadi penerus tahta saat dirinya selesai memipin dua tahun nanti. Tak hanya itu saja, rangkulan Mahatir bahkan bisa mengancam Najib Razak ke penjara.
Untuk menyambung jalinan yang putus, Mahatir menemui Wan Azizah Wan Ismail, politisi sekaligus istri Anwar Ibrahim. Walau Wan Azizah pernah berkata pertemuannya dengan orang yang menjebloskan suaminya sangatlah janggal, tetapi ia percaya Mahatir memang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem pemerintahan yang rusak, yang dibuatnya sendiri. Bersatunya Mahatir dengan Anwar, pada akhirnya mampu membebaskan dirinya dari penjara dan gantian diisi oleh Najib Razak.
Selain Mahatir, Shinzo Abe juga melakukan hal serupa. Demi menarik simpati karena popularitas yang terjun bebas, ia merombak kabinet dan menaruh orang yang diketahui menjadi musuh politiknya selama ini.
Dorongan tersebut juga dimotori fakta bahwa partai Abe, Liberal Democratic Party (LDP) menderita kekalahan dalam pemilu. Akhirnya Abe menaruh Taro Kono, sosok kontroversial yang selalu berseberangan dengannya, terutama soal nuklir di posisi Menteri Luar Negeri. Abe dan Kono kerap bersinggungan soal penggunaan nuklir, Abe mendukung penggunaan energi nuklir, sementara Kono anti-nuklir sejati.
Sementara itu, rangkulan kepada pihak musuh yang malah menemui pahit, bahkan permusuhan lebih sengit terjadi pada Presiden nyentrik Rodrigo Duterte. Duterte sempat mengejutkan publik dengan memutuskan bertemu dengan dua kelompok pemberontak Islam. Langkah yang dianggap bersejarah itu, punya misi untuk membuat kelompok pemberontak Islam untuk mengeluarkan dukungan Filipina sebagai negara federal dan pemerataan distribusi kekayaan.
Tetapi langkah tersebut tidak berujung kemana-mana selain langkah permusuhan yang makin keras dari Duterte. Pertemuan tersebut gagal menciptakan keseimbangan dan masih menyisakan ketimpangan hingga hari ini.
Tak Unik Tetapi “Menarik”
Langkah Jokowi merangkul sang pemukul memang bukan fenomena yang unik, namun tetap saja ini hal yang menarik. Walau politisi di beberapa turut merangkul keberadaan musuh, hal tersebut tidaklah menjamin jika manis lantas bisa dikecap.
Mahatir dan Anwar bisa dikatakan mampu mencapai keseimbangan yang digariskan oleh Frank Harary. Namun, kegagalan harus diterima Abe, sebab sejak awal rakyat sudah kepalang tak mempercayainya. Nah, apakah Presiden Jokowi akan berakhir seperti kemenangan manis Mahatir dan Anwar atau Abe dan Kono yang makin hambar?
Walau hasil belum terlihat pasti, paling tidak Jokowi sudah menerapkan pepatah Sun Tzu dengan baik, yakni tahu betul siapa musuhnya. Dalam The Art of War, Sun Tzu yang juga maestro strategi perang berkata bahwa, dengan mengetahui musuh dan diri sendiri maka seorang pemimpin dapat berjaya di segala laga pertempuran, sebaliknya jika dia tidak tahu keduanya maka dirinya akan hancur di setiap pertempuran.
Apakah merangkul pemukul yang dilakukan Jokowi bisa membuatnya berjaya dalam laga Pilpres 2019? Nah, hasil perjalanan itu menarik disaksikan bersama. (A27)