Sejak April lalu, tantangan debat Rizal Ramli kepada Sri Mulyani belum juga surut. Mengapa tak diwujudkan saja?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ehadiran Presiden Jokowi di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu, bisa dikatakan menjadi bahan bakar bagi Rizal Ramli untuk terus menantang debat Sri Mulyani. Saat menghadapi pertanyaan soal perbedaan pandangan dan pendapat seputar keadaan ekonomi makro dalam negeri, Presiden dengan santai merespon, “Silakan, saling beradu argumen dengan Menteri Keuangan yang juga memiliki angka-angka.”
Dari sana, Rizal Ramli langsung memperbarui status twitter-nya dan tak berhenti menantang Sri Mulyani. Sri Mulyani sendiri tak pernah benar-benar menerima atau menolak tantangan dari mantan Menko Kemaritiman jilid I tersebut. Tetapi baru-baru ini, dirinya berkata kalau tak gentar sama sekali menghadapi tantangan dari “orang berpikiran sempit”.
Wah ini asyik — tolong diatur debat terbuka RR vs SMI di TV – akan ketahuan siapa yg manipulatif, dan merupakan bagian dari masalah ?? https://t.co/Tzeqf39iCo
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) April 26, 2018
Tantangan debat tersebut, pada akhirnya menjadi sebuah fenomena. Ada pihak yang mendorong, ada pula yang berkata untuk tak menghiraukan. Saran untuk tak menghiraukan tantangan debat, datang dari juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rizal Calvary Marimbo. Dia berkata bahwa Sri Mulyani sebagai eksekutif dan pembantu pelaksana pemerintahan, tak bisa sembarangan ikut berdebat di wilayah terbuka.
Di sisi lain, tantangan debat ini juga mengingatkan pula pada teori yang pernah dijabarkan oleh Guy Debord soal tontonan politik atau the politics of spectacles. Menurut lulusan University of Paris dan penulis The Society of Spectacles ini, dalam politik, sebuah wacana atau komoditas yang muncul dalam tontonan, cenderung menjadi sebuah manifestasi dangkal. Akibatnya, publik seringkali menjadi objek yang terdominasi dan pasif.
Tetapi Debord juga membuat garis pembeda atau demarkasi, bahwa sebuah tontonan (spectacles) politis, tak berakhir menjadi sebuah kedangkalan dengan ukuran kritik (criticize), manipulasi (manipulate), dan distraksi (distract).
Debat Rizal Ramli dan Sri Mulyani, sangat memungkinkan untuk berakhir menjadi ajang tontonan politis yang pada akhirnya, hanya mendangkalkan wacana hutang dalam negeri. Tetapi, kedangkalan tersebut belum bisa diputuskan jika belum diukur dari keberadaan kritik, manipulasi, dan juga distraksi.
Sebelum bisa ditentukan, maka usulan yang dikeluarkan Rizal Calvary sebetulnya disayangkan. Sebab, sebagai bagian dari partai yang digadang sebagai partai anak muda, justru kelangsungan debat dapat dilhat sebagai sebuah potensi bagi anak muda untuk memahami dan mengkritik sebuah wacana ekonomi dalam negeri. Ini juga menjadi ukuran untuk menentukan sikap bagi publik, terutama kelompok milenial untuk berpartisipasi dalam politik.
Milenial menempati tempat sebanyak 43% dalam Pemilu mendatang. Bila dibuat angka, kelompok milenial bisa berjumlah lebih dari 80 – 100 juta jiwa. Angka yang tak kecil tersebut, harus disayangkan sebab menurut CSIS, angka ini ditempati kelompok apolitis dan tak tertarik dengan dunia politik. Ketertarikan milenial terhadap politik juga hanya berkisar 2,3% saja, sementara Litbang Kompas menambahkan bahwa milenial yang terlibat dalam partai politik hanya 11% saja.
Keberadaan debat terbuka untuk memahami lebih dalam suatu peristiwa yang cukup membuat panas dan cemas masyarakat, tentu bisa menjadi pintu bagi publik agar lebih tertarik pada politik. Dengan keberadaan data, angka, dan ilmu yang mumpuni, debat yang ada bisa saja tak hanya sekedar menjadi tontonan dangkal seperti yang digambarkan oleh Debord.
Kesempatan debat untuk menarik publik untuk lebih berinteraksi dengan politik, pernah terjadi pada Jeremy Corbyn dan David Cameron di tahun 2015. Tantangan datang dari pihak Cameron untuk berdebat soal pernyataan Corbyn yang bertendensi semistisme.
Corbyn dan Cameron, Saling Serang
Ajakan dan tantangan debat juga pernah mampir kepada Jeremy Corbyn, pemimpin Partai Buruh Inggris, dari pemimpin Partai Konservatif, David Cameron, sebelum digantikan oleh Theresa May di tahun 2016.
David Cameron tertarik untuk menguji lebih jauh pendapat Corbyn soal tendensi hubungan dengan Hamaz dan Hizbollah. Di tengah isu yang memanas pada publik Inggris tersebut, mereka berdua akhirnya berhadapan dan disiarkan di televisi swasta Inggris.
Seperti yang diduga, Cameron terus menyerang Corbyn dan diikuti riuh dukungan partai Konservatif di belakangnya. David Cameron mencecar apakah Corbyn mendukung Hamaz dan Hezbollah. Pertanyaan tersebut dijawab diplomatis, ia menyatakan bahwa rasisme bukan bagian dari dirinya, sehingga dinilai tak mampu menghadirkan jawaban yang lebih baik.
Tembakan David Cameron soal hubungan oposisi dengan ektremisme dan terorisme, pada akhirnya membawa dirinya dan Partai Konservatif menjadi populer. Tayangan yang sangat ditunggu oleh publik Inggris tersebut, pada akhirnya mampu meningkatkan ketertarikan publik Inggris kepada politik.
Pada akhrnya, debat tak hanya soal sensasi karena mempertemukan dua tokoh yang berseberangan serta ‘serangan-serangan’ pendapat dan data. Dalam debat yang terjadi antara Corbyn dan Cameron, substansi pun juga lahir. Hal ini diamini oleh lembaga penelitian setempat yang menyatakan, sebesar 70% warga akhirnya mengenal lebih jauh personalitas dan pola pikir kedua politisi. Mereka juga mendapat gambaran besar soal ekstremisme dan terorisme yang saat itu menjadi topik hangat di Inggris.
Ketertarikan pada politik yang terus naik, juga terjadi pada milenial Inggris. Sejak debat terbuka sering dilangsungkan, milenial tertarik dengan kebijakan politik yang mempengaruhi mereka seperti biaya sekolah dan kesehatan. Tetapi, saat memilih jalan praktis, mereka tak serta merta ingin bergabung dengan partai karena hierarki partai serta bersifat elitis. The Guardian mencatat, semenjak 2015, anak muda Inggris lebih banyak memilih turun ke jalan (berdemo) karena merasa langsung menjadi bagian dari sebuah aksi.
Dengan demikian, pada akhirnya penanda Debord dalam tontonan politik, yakni acara debat Corbyn dan Cameron, nyatanya menjadi sebuah ajang kritik, alih-alih memanipulasi dan distraksi. Publik tidak menjadi pihak yang terdominasi dan pasif karena nyatanya, ketertarikan dan keterlibatan terhadap politik terus meningkat.
Dengan demikian, tak menutup kemungkinan bila hal yang sama juga terjadi pada debat Rizal Ramli dan Sri Mulyani.
Menaikan Ketertarikan Anak Muda
Bila anak muda atau kelompok milenial Inggris akhirnya tertarik politik karena satu debat antara dua tokoh politik mashyur, mengapa hal sama tak coba dicontoh?
Sosok Sri Mulyani dan Rizal Ramli merupakan dua tokoh independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Ditambah lagi, keduanya merupakan lulusan universitas top dunia. Jejak karir keduanya pun sangar, pemahaman keduanya seputar ekonomi makro tak perlu diragukan.
Pandangan objektif dari kedua pakar, tentu bisa menambah khazanah pemahaman publik muda untuk menyikapi hutang dan peristiwa ekonomi lainnya dalam negeri. Tentu saja bila argumen yang dilancarkan keduanya, berdiri di atas data dan angka yang tepat, publik muda alias milenial tidak akan menjadi pasif apalagi terdominasi oleh wacana dangkal.
Partisipasi politik milenial memang tak bisa diukur hanya dengan bergabung ke partai politik tertentu atau memilih di waktu Pemilu, mengkritisi, mengadakan, dan mengikuti diskusi politik, bahkan turun ke jalan juga, merupakan sebuah partisipasi politik yang sama penting. Tetapi, bagaimana kesadaran politik ini hadir bila sebagian besar milenial tidak memahami atau masih belum bisa membaca situasi ekonomi, politik, dan sosial? Tentu pandangan pakar dan ahli bisa membantu pembacaan situasi ekonomi saat ini.
Seperti yang disebutkan oleh The Guardian, debat antara dua tokoh politik memang ampuh menumbuhkan atau membangun kembali ketertarikan politik publik. Debat pada akhirnya juga mampu memberi ruang pada proses belajar dan memahami lebih dalam bagi publik. Proses ini tentu penting bagi milenial.
Dengan demikian, perbedaan dalam debat tidak perlu dihindari, seperti apa yang disampaikan Margaret Heffernan, jurnalis asal Inggris, debat dan argumen malah harus terus dimunculkan guna mencapai sebuah jalan keluar dan inovasi. (A27)