“Tentu pilihan cawapres untuk Pak Jokowi juga memiliki peran strategis dalam mendorong penambahan elektabilitas suara secara maksimal.” ~ Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]urvei Litbang Kompas yang dipublikasikan Senin (23/4), menunjukkan elektabilitas Presiden Joko Widodo mengalami kenaikan. Sementara elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menjadi penantang terkuat petahana justru mengalami penurunan.
Dalam survei ini Jokowi mendapatkan 55,9 persen, naik dari 46,4 persen di enam bulan lalu. Sedangkan Prabowo mendapatkan 14,1 persen, turun dari hasil survei sebelumnya 18,2 persen. Walah, baru jalan enam bulan aja kok udah melempem sih. Masih ada 4 bulan lagi nih, masa udah kendor!
Keunggulan tingkat elektabilitas Jokowi sebagai Calon Presiden ini apakah bisa diartikan bahwa sosoknya sangat menjual secara figur pribadi, tanpa ada embel-embel pendamping atau Calon Wakil Presiden? Jadi dapet wakil sekelas receh juga tetep gak mempengaruhi elektabilitas ya. Sumpeh loh, mi apa coba?
Artinya, situasi Pakde Jokowi saat ini sama persis dengan kondisi Pak SBY pada Pilpres 2009 lalu dung? Saat itu kan Pak SBY memang sangat powerful. Saking sudah mendominasinya nih ya, dia bahkan bisa menang tanpa perlu mempertimbangkan faktor Calon Wakil Presiden. Kira-kira Pakde Jokowi bisa gak ya?
Tapi pasti lain dulu, lain sekarang lah ya. Konstelasi politik kan dinamis. Udah pasti gak sama kayak dulu. Ibarat kata nih ya, serangan politik zaman now lebih ekstream. Terlebih hoax bertebaran di mana-mana. Belum lagi politik praktis yang memaikan isu SARA. Waduh, paket komplit lah Pemilu 2019.
Karena belakangan isu sumir mengenai keagamaan semakin menguat menerpa Jokowi, itu menandakan kalau Pakde harus pintar-pintar memilih wakilnya sebagai pendamping dalam Pilpres mendatang. Memilih Cawapres dari partai politik berbasis agama sepertinya menjadi opsi yang sangat menjanjikan.
Selain pilihan itu, ya Jokowi akan tetap terus dirongrong isu sebagai sosok pemimpin yang anti Islam. Ya karena memang itu bahan bakar amunisi partai oposisi sebagai kompetitor. Jadi gak gak cukup lah ya dengan hanya bersafari ria mengunjungi ulama di berbagai daerah. Tetap harus ada figur Cawapres yang mewakili entitas ke-Islaman.
Ya itu semua juga perlu dilakukan untuk menampik ulah sejumlah politisi yang gak kuat menahan “libidonya” untuk mendapatkan kekuasaan, dengan terus-menerus merongrong melalui isu agama. Bila perlu, orang seperti mereka bahkan tega mempersalahkan orang lain demi ambisi pribadi dan golongan. Ya cukup diingat aja, kritikan dari filusuf Voltaire (1694-1778), ‘It is better to risk saving a guilty man than to condemn an innocent one.’ (K16)