PDIP telah mengatakan bahwa Puan Maharani adalah calon prioritas untuk menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2019. Pilihan yang menguntungkan atau merugikan Jokowi?
PinterPolitik.com
“It’s choice – not chance – that determines your destiny.”
– Jean Nidetch (1923-2015) –
[dropcap]A[/dropcap]ntara tahun 1073-1040 SM, ketika Nebukhadnezzar I (memimpin 1125-1104 SM) dan Tiglath-Pileser I (memimpin 1114-1076 SM) di Mesopotamia sibuk menghadapi serangan suku-suku asing, Dinasti Shang (1600-1046 SM) juga ikut mengalami krisis di Tiongkok.
Namun, penyebabnya bukanlah karena serangan suku-suku asing, melainkan karena kebangkitan “sepupu-sepupu” di antara rakyatnya sendiri, setelah regenerasi penerus tahta yang tidak berjalan baik. Setelah berkuasa setelah 500-an tahun, Shang akhirnya jatuh di tangan orang-orang Zhou.
Kini, 3000 tahun setelah kejayaan Dinasti Shang, regenerasi kepemimpinan itu menjadi persoalan pelik di keluarga yang menjadi ikon politik Indonesia: Soekarno. Setelah Soekarno berjaya menjadi Bapak Proklamator bangsa ini, dan putrinya, Megawati Soekarnoputri menjadi ikon berakhirnya rezim otoritarian Soeharto, kini regenerasi trah tersebut menjadi lembar baru persoalan politik kebangsaan.
Akankah garis politik trah Soekarno berakhir pasca Mega?
Tampaknya hal tersebut masih sangat jauh dari kenyataan. Pasalnya, menjelang Pilpres 2019, kelompok relawan Jokowi, Pemuda Indonesia Hebat (PIH) mendukung pencalonan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani sebagai calon wakil presiden (cawapres) bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saya punya keyakinan, antara Pak Jokowi dg Puan Maharani adalah pasangan yang cocok pada pilpres di tahun 2019 https://t.co/YtvPPYcN8x
— Ach. Supyadi (@adv_supyadi) April 20, 2018
Bahkan, PDIP melalui Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP), Sukur Nababan, menyebut cucu Soekarno itu sebagai calon prioritas untuk mendampingi Jokowi. Puan dianggap sebagai sosok yang bisa mewakili generasi muda karena dari sisi usia masih berumur 44 tahun, serta dianggap sudah teruji dalam tahun-tahun dirinya menduduki jabatan publik dan politik tertentu.
Munculnya nama Puan tentu bukan hal yang mengherankan, mengingat PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014 telah mendeklarasikan dukungan untuk mencapreskan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Dengan jumlah kursi terbanyak di DPR, PDIP tentu berharap ada tokoh internal yang bisa dijadikan pendamping Jokowi.
Tentu pertanyaannya adalah apakah Puan pilihan yang tepat untuk Jokowi?
Puan, Penerus Kejayaan Soekarno?
Posisi cawapres Jokowi memang belakangan menjadi perbincangan utama yang masih akan menghiasi berbagai media massa, setidaknya sebelum penutupan pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada Agustus 2018 mendatang. Munculnya nama Puan Maharani tentu saja menjadi topik yang menarik.
Jika berkaca dari survei Indo Barometer pada Januari 2018 lalu, elektabilitas Puan Maharani sebagai cawapres untuk Jokowi hanya ada di angka 1,7 persen. Perolehan tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan tokoh lain, misalnya Gatot Nurmantyo dengan 17,6 persen atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan 16,7 persen.
Namun, jika menggunakan simulasi dua pasang calon dan harus berhadapan dengan Prabowo Subianto yang dipasangkan dengan cawapres terkuatnya, Anies Baswedan, pasangan Jokowi-Puan tetap akan memenangkan peta politik dengan perolehan 34,2 persen berbanding 22,6 persen milik Prabowo-Anies – tentu saja tanpa mengabaikan undecided voters atau pemilih yang belum menentukan pilihan politiknya. Pada titik ini, “faktor Jokowi” tidak dapat dikesampingkan sebagai hal yang akan ikut mendongkrak elektabilitas Puan.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah Puan punya kapabilitas untuk menjadi pendamping Jokowi?
Jika berkaca pada perjalanan politik Puan, tidak begitu banyak hal istimewa yang terlihat. Ia memang menamatkan pendidikan sebagai sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia. Namun, tidak begitu banyak prestasi yang terlihat dari seorang Puan saat masih muda.
Mungkin hal yang istimewa – jika bukan satu-satunya – adalah ia putri dari Megawati Soekarnoputri, keuntungan yang tidak akan mungkin didapat oleh orang lain. Puan tentu saja mengamati perjalanan politik Megawati dan belajar dari sang ibu yang pernah menjadi bagian dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), hingga menjadi pemimpin partai pemenang Pemilu 1999.
Maka, ketika Puan ikut aktif terlibat di PDIP dan menduduki jabatan politik di struktural partai, tidak ada yang meragukan bahwa Mega sangat mungkin ingin mewariskan partai banteng pada putrinya tersebut – walaupun dalam konteks ini, “faktor Mega” terlihat berperan besar dalam karier politik Puan.
Hal serupa juga terjadi saat ia dipercayakan menjadi Menko PMK pada Kabinet Kerja Jokowi. Dengan beragam kritik yang menimpa dirinya, jika bukan karena posisinya sebagai putri Mega, maka Puan pasti akan menjadi salah satu menteri yang ikut terkena reshuffle. Puan memang menjadi menteri yang paling disorot kinerjanya dan dianggap layak diganti.
Hal lain yang menarik untuk disorot adalah posisi suami Puan, Hapsoro “Happy” Sukmonohadi – yang sering dikenal dengan Happy Hapsoro. Publik tidak banyak yang mengetahui sosok Happy karena sangat jarang melihatnya tampil bersama Puan.
Happy adalah putra pengusaha properti dan jasa pengangkutan barang, Bambang Sukmonohadi. Nama Bambang sempat mencuat ke pemberitaan ketika pada tahun 2003, perusahaan miliknya memenangkan hak pembangunan kondominium Blossom Residence di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. “Besan Presiden Membangun Kondominium di Tanah Negara”, demikianlah bunyi beberapa pemberitaan saat itu, mengingat area tersebut berada di bawah tanggung jawab Sekretariat Negara.
Sebagai besan Megawati, kedekatannya dengan kekuasaan membuat Bambang dan Happy bahkan pernah tersangkut proyek pengadaan jet tempur Sukhoi asal Rusia – kasus yang sempat diributkan di DPR.
Happy juga diketahui menggeluti bisnis minyak dan gas bumi serta memiliki perusahaan bernama Odira Energy Persada. Ia juga diketahui menjalankan perusahaan operator hotel jaringan merek Red Planet dengan posisi sebagai Presiden Komisaris.
Reuters dan Bloomberg juga menyebut Happy pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Odira Energy Buana, Komisaris PT Prima Utama Mandiri, Direktur PT Vetira Prima Perkasa, Presiden Komisaris PT Rukun Raharja Tbk (penyedia jasa pelabuhan, operator pelabuhan di Bitung, penyuplai gas ke PLN, dan saham).
Ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris PT Meteor Mitra Mandiri, Direktur PT Pink Sport Indonesia, dan Presiden Komisaris PT Triguna Internusa Pratama (anak usaha PT Rukun Raharja Tbk). Adapun PT Rukun Raharja Tbk sempat menjadi sorotan investor karena mengalami pergerakan harga saham yang di luar normal beberapa waktu terakhir.
Dengan melihat posisi bisnis Happy, sangat mungkin ada persilangan kepentingan bisnis dan politik yang terjadi. Artinya, bisa disimpulkan bahwa sekalipun Puan adalah politisi yang istimewa karena “faktor Mega”, tidak bisa dikesampingkan pula bahwa ada faktor sang suami yang nyatanya juga bukan orang biasa-biasa.
Mungkin pertanyaannya adalah apakah posisi sang suami bisa ikut mempengaruhi Jokowi memilih Puan sebagai cawapres?
Pilihan Rasional Jokowi: Petugas Partai?
Keputusan untuk menentukan pilihan cawapres tentu saja ada pada Jokowi. Siapa yang dipilih Jokowi? Apakah Puan masuk dalam kategori yang bisa menjadi pendamping Jokowi?
Dalam ilmu ekonomi, ada sebuah teori yang disebut rational choice atau pilihan rasional. Teori ini diadopsi ke dalam ilmu politik dan digunakan untuk menjelaskan bahwa seringkali pilihan-pilihan rasional dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Ada banyak turunan dari teori ini, namun dalam konteks Jokowi dan Puan, mungkin konsepsi tentang cost (biaya) dan benefit (manfaat) bisa dipakai sebagai dasar analisis.
Tujuan Jokowi jelas untuk memenangkan Pilpres, dan oleh karenanya cawapres yang diambil haruslah pribadi yang mampu membantunya untuk menuju titik itu. Jokowi punya modal dukungan PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dengan 18,95 persen suara di DPR. Dengan tambahan satu partai kecil saja, syarat pencalonan Jokowi telah terpenuhi, yakni 20 persen kursi DPR.
Namun, berkaca pada teori pilihan rasional ini, seseorang selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang akan ia peroleh (benefit) dan mengurangi kerugian yang akan terjadi. Jika berpasangan dengan Puan, maka Jokowi tentu akan kembali jatuh pada situasi yang selama ini membelenggunya, yakni predikat “petugas partai”. Apakah pilihan ini akan diambil Jokowi?
Tentu saja status “petugas partai” adalah hal yang membelenggu sang presiden untuk beberapa waktu pemerintahannya. Jokowi dipercaya akan berusaha untuk melepaskan diri dari status tersebut, dan hal ini sudah terlihat ketika ia menjadi sangat dekat dengan Partai Golkar dan belakangan juga makin akrab dengan Partai Demokrat.
Jokowi telah membuat pilihan rasional, bahwa dengan Golkar dan Demokrat, ia punya modal yang sama jika berkoalisi dengan PDIP. Selain itu, posisi politiknya saat ini telah jauh lebih kuat dan membuatnya menjadi sulit dikendalikan oleh siapa pun.
Dengan demikian, posisi Puan pun akan menjadi pilihan yang berpeluang besar diabaikan – jika Jokowi rasional. Lalu, apakah ini berarti Dinasti Soekarno telah ada di titik nadir menuju kejatuhan?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, Dinasti Shang di Tiongkok kuno telah membuktikan bahwa regenerasi yang buruk bisa berakibat fatal. Persoalaannya tinggal apakah PDIP akan membuat pilihan-pilihan yang tepat, karena – seperti kata Jean Nidetch di awal tulisan – takdir pun bisa tergantung pada pilihan. (S13)