Tak hanya di tengah hutan, para predator ini ada di dalam sistem. Salah satunya sistem peradilan dalam negeri.
PinterPolitik.com
[dropcap]L[/dropcap]ama tak terdengar kabarnya setelah lepas dari pemerintahan, kini Boediono, mantan Wakil Presiden Indonesia ke-11 kembali menjadi perbincangan dan ramai disebut-sebut. Namanya disandingkan dengan kasus Bank Century yang sempat dianggap menguap.
Tak tanggung-tanggung, Boediono beserta dua nama lainnya, yakni Muliaman D. Hadad selaku duta besar Indonesia untuk Swiss, dan Raden Pardede selaku mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), ‘diancam’ dengan status tersangka dari hakim tunggal Effendi Mukhtar.
Keputusan yang datang dari Hakim Effendi Mukhtar tersebut, mendapat respon tak mengenakan dari beberapa pakar hukum pidana. Salah satunya Yenti Garnasih yang juga merupakan doktor pencucian uang pertama di Indonesia.
Yenti berkata bahwa apa yang dilakukan Effendi Mukhtar sangatlah janggal karena melampaui kewenangan hukum, dan langkah tersebut tidaklah ada dalam KUHAP. “Kewenangan untuk menetapkan tersangka adalah independensi dari penyidik yang tak bisa diintervensi siapapun,” jelasnya.
Tentu saja pembukaan kasus Bank Century yang dianggap berjalan di tempat, adalah hal yang patut diapresiasi sebagai usaha menyelesaikan kasus korupsi dan menangkap para aktor yang masih tersembunyi. Tetapi respon yang beredar seputar langkah hukum yang dilakukan hakim Effendi Mukhtar serta keberadaannya di tahun politik, mau tak mau menerbitkan aroma kurang sedap.
Boediono Tersangka, SBY Dukung Jokowi?
Pengamat:
“Kasus Bank Century merupakan tekanan politik bagi Cikeas menjelang pemilu 2019. Dan ini signal kuat SBY bakal merapat ke kubu Jokowi”https://t.co/o67Rzw9I49 pic.twitter.com/JwBz1nt9b4
— #2019GantiPresiden ? (@maspiyuuu) April 18, 2018
Seperti yang diketahui, kasus Bank Century ini sempat menggoyang Pemerintahan SBY di periode keduanya. Mengulik kasus ini, berarti mengulik pula posisi orang-orang penting yang berkuasa di masa Pemerintahannya. Apakah hal ini murni ingin menegakkan keadilan atau hanya mencari ‘mangsa’?
Bau yang mencurigakan ini, mengingatkan pula pada teori politik sistem predatorial yang pertama kali dicetuskan Vedi Hadiz, profesor dari The University of Melbourne. Dalam sistem yang buas ini, akumulasi status quo berupa kekuasaan dan sumber daya akan terbentuk seirama dengan ketimpangan dan ketidakadilan di dalamnya. Tetapi, sistem predatorial ini terus menguat hingga mampu melembagakan ‘ketimpangan’ tersebut dan terus mereproduksi dirinya.
Sistem predatorial ini, bisa ditemui dalam berbagai lini, tak terkecuali di lini hukum yang kerap berbicara soal keadilan. Sebaliknya, malah di lini hukumlah sistem predatorial bekerja secara nyata dan terang-terangan melalui beberapa hakimnya.
Hakim Sama dengan Predator?
Sistem ‘buas’ alias predator di ranah hukum ini, juga memiliki ciri-ciri selalu ‘meruncing’ ke bawah dan semakin tumpul ke atas. Korbannya tak selalu berasal dari kalangan ekonomi lemah, tetapi juga sesama elit. Siapapun yang menjadi ‘santapan’ pihak dengan sumber daya dan kekuasaan lebih tinggi, akan menjadi korban sistem predatorial.
Pelembagaan ketidakadilan dalam lini hukum, bergantung dari sosok hakim yang memberi keputusan. Dalam kasus Setya Novanto di tahun 2017, misalnya, Hakim Cepi Iskandar mengabulkan praperadilan Setya Novanto karena menganggap barang bukti yang dibuat untuk memperkarakan dirinya tidak sah.
Kontan saja logika hakim tersebut dipertanyakan berbagai pihak, terlebih dari lembaga anti korupsi dan kriminal. Padahal, barang bukti berupa dokumen yang memberatkan Setya Novanto saat itu, bisa menjadi bukti dua pemeriksaan perkara terpisah sesuai yang tertera dalam Pasal 80. Namun begitu, Hakim Cepi saat itu tetap bersiteguh bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka, menyalahi prosedur dan memerintahkan penghentian penyidikan KPK terhadapnya.
Contoh lain yang tak kalah menghebohkan adalah Hakim Sarpin Rizaldi yang juga mengabulkan praperadilan Budi Gunawan (BG) dalam kasus rekening gendut Polri. Bukannya memperkarakan bukti kasusnya, sang ‘predator’ alias hakim malah mempersoalkan status BG saat melakukan tindakan korupsi yang dinilainya bukanlah kejahatan yang dilakukan oleh aparat pelindung negara.
Hal yang sama juga terjadi hakim tunggal Wayan Karya yang berkata bahwa KPK tidak berwenang menangani kasus dugaan korupsi yang menjerat Bupati Nganjuk, Taufiqqurrahman (periode 2008 – 2013 dan 2013-2018), dengan alasan kasus tersebut sudah pernah diusut oleh Kejaksaan.
Alasan yang janggal tersebut memang harus dihormati sebagai keputusan hukum (yurispridensi) dari hakim. Tetapi pada contoh kasus yang telah diberikan, makin menguatkan dan menegaskan betapa sistem predatorial di lembaga peradilan dalam negeri nyata adanya. Sistem ini melindungi para pemilik kekuasaan dan status quo yang ada. Jika sudah begini, apakah masih bisa mempercayai lembaga peradilan dan yurisprudensi hakim?
Masih Bisa Percaya?
Sistem predatorial dalam lini hukum dan peradilan dalam negeri, tak hanya bergerak lewat beberapa hakim saja, sistem ‘bobrok’ tersebut sudah dipelihara lewat proses seleksi yang eksklusif dan tertutup. Di tahun 2017 lalu, para pengamat korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW) bahkan mengkritik seleksi hakim peradilan yang tak transparan.
Dampaknya, menurut mereka, hanya akan menghasilkan hakim-hakim dengan logika bermasalah dan lekat dengan korupsi. Jika logika hakim bermasalah, maka yurisprudensi pun juga ikut bermasalah. Mau bagaimana lagi, sebagai sistem predatoris, rekrutmen tertutup ini adalah cara ‘predator’ mereproduksi diri dan melembagakannya.
Dan seperti halnya domino, logika hakim yang bermasalah akan mempengaruhi pula saat dirinya melakukan penafsiran dan interpretasi hukum. Metode interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum di luar metode konstruksi, yang sangat berpegang pada pemahaman dan wawasan hakim.
Nah, dalam pelaksanaan hukum yang adil, metode ini sangatlah bermanfaat digunakan untuk menghentikan perdebatan hukum dan mencapai yurisprudensi. Namun, dalam beberapa kasus yang terjadi malah sebagai jalan melanggengkan ketidakadilan. Contohnya apa yang terjadi pada kasus Hakim Cepi dan Sapri.
Di sisi lain, jika para predator tersebut bisa membela diri, barangkali dirinya akan berkata layaknya Qabil (Cain) saat dicecar oleh Adam perihal hilangnya Habil (Abel), “aku bukanlah pelindung saudaraku!” Padahal dirinya nyata-nyata telah membunuhnya.
Dengan demikian, pantaskah menaruh kepercayaan pada seperangkat lembaga hukum dan peradilan yang predatoris ini? Sangat bimbang, memang. Tetapi satu hal yang bisa disepakati bersama adalah hakim dan hukum (bermental predator) tak bisa dijadikan tumpuan pencarian keadilan di Indonesia. (A27)