Sektor pendidikan setiap tahun diguyur alokasi dana 20 persen dari APBN. Akan tetapi, kemajuan dari sektor ini sepertinya tidak juga terlihat.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]endidikan di Indonesia seperti mati gaya. Komitmen dana 20 persen dari APBN setiap tahunnya, tampak belum bisa memberikan perubahan berarti pada sektor ini. Gelontoran dana triliunan setiap tahun, seperti hilang begitu saja tanpa memberi dampak besar.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Anies Baswedan pernah berujar bahwa Indonesia tengah mengalami darurat pendidikan. Hal ini terjadi karena rendahnya kualitas pengajaran, hasil pembelajaran yang buruk, fasilitas yang tidak memadai, dan masalah kedisiplinan.
Kondisi tersebut tergolong ironis bagi negara dengan sistem pendidikan terbesar keempat di dunia. Kuantitas yang besar dalam pendidikan ini, tidak dibarengi dengan kualitas yang baik pula. Akibatnya, hasil dari sistem pendidikan ini nyaris seperti tidak terlihat.
Menurut Andrew Rosser dari University of Melbourne, politik dan kekuasaan memiliki andil dalam rendahnya kualitas pendidikan di tanah air. Lantas, bagaimana politik dan kekuasaan tersebut mempengaruhi kondisi pendidikan yang darurat?
Volume Tinggi, Kualitas Rendah
Jika melihat dari segi angka pendidikan Indonesia, memang mengalami kenaikan dibandingkan era-era sebelumnya. Salah satu yang paling mencolok adalah soal anggaran. Total anggaran pendidikan di dalam APBN diwajibkan untuk mencapai total 20 persen. Jika dilihat dalam APBN 2017, total anggaran pendidikan mencapai Rp 414,5 triliun.
Ada banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar angka partisipasi pendidikan di Indonesia meningkat. Berbagai program seperti sekolah gratis, telah meningkatkan jumlah orang yang mengakses pendidikan. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berlomba memberikan program sekolah gratis kepada masyarakat.
Sepanjang tahun 1972 hingga 2015, jumlah orang yang masuk ke pendidikan formal mengalami pertumbuhan. Untuk pendidikan dasar, terjadi kenaikan dari 85 persen menjadi 105 persen. Pada pendidikan menengah, terjadi kenaikan dari 18 persen menjadi 85 persen. Sementara itu, untuk pendidikan tinggi terjadi kenaikan dari 2 persen menjadi 24 persen.
Meski jumlah orang yang duduk di bangku sekolah meningkat, hal ini tidak berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan. Peningkatan kualitas ini tergolong amat lambat. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia tampak masih tertinggal.
Kondisi tersebut tergambar dari data yang diuangkap oleh Bank Dunia. Pada tes berstandar dunia PISA (Programme for International Student Assessment), 42 persen orang Indonesia berusia 15 tahun gagal di keseluruhan tes yang terdiri dari membaca, matematika, dan sains. Dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, Indonesia masih tergolong tertinggal.
Hal serupa berlaku pada pendidikan tinggi. Menurut Bank Dunia, lulusan perguruan tinggi Indonesia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh para pemberi kerja. Selain itu, penelitian yang ditelurkan perguruan tinggi di tanah air tergolong kecil yaitu 16.139 karya ilmiah sepanjang 1996-2011.
Menghalangi Kemajuan Pendidikan
Buruknya kualitas pendidikan di Indonesia dapat terjadi karena buruknya manajemen pemerintah dalam mengelola institusi pendidikan. Dalam banyak kasus, orang-orang di pemerintahan memegang kekuasaan terlalu besar dalam sektor tersebut.
Bagi Rosser, ada faktor politik mengapa pendidikan di tanah air seperti jalan di tempat. Para elit, baik dari kalangan politikus, birokrat, dan pengusaha, kerapkali menghalangi usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Para elit ini tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menciptakan pendidikan dengan hasil terbaik. Kepentingan mereka dalam sektor tersebut semata-mata adalah untuk mengakumulasi sumber daya, mendistribusikan patronase, memobilisasi dukungan politik, dan melakukan kontrol politik.
Dalam banyak kasus, anggaran pendidikan kerap dihamburkan untuk sesuatu yang bersifat populis dan hanya bermanfaat jangka pendek. Hal ini misalnya, tergambar dari pemberian dana besar kepada para guru. Tidak ada yang mendebat bahwa guru tidak boleh mendapat gaji lebih besar. Akan tetapi, banyak program pemerintah untuk para guru ini hanya diupayakan untuk mendulang suara saja.
Gelontoran dana dari APBN kepada para guru ini, seringkali tidak disertai dengan keluaran kualitas yang memadai. Berbagai pelatihan yang diberikan pemerintahan kerapkali tidak cukup untuk meningkatkan kualitas mereka. Hal ini terlihat misalnya dari hasil Uji Kompetensi Guru pada tahun 2015. Hasil rata-rata tes ini adalah 53,02, masih di bawah target pemerintah yaitu 55.
Seringkali, para politikus memanfaatkan koneksi dengan para guru melalui Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI seringkali menjadi sarana para politikus untuk memobilisasi suara mereka di masa pemilu. Asumsi mereka, para pendidik tersebut memiliki pengaruh kepada keluarga dan jejaring sosial masing-masing.
Selain memanfaatkan para guru, para elit ini juga seringkali bermain-main dengan anggaran di dunia pendidikan. Menurut Rosser, mereka memiliki kepentingan untuk membatasi penyerapan anggaran dalam sektor pendidikan agar pemerintah mengeluarkan dana untuk sektor lain. Sektor seperti infrastruktur, tergolong mudah untuk aktivitas pencari rente ketimbang dengan sektor pendidikan.
Jika dilihat, korupsi di sektor ini tergolong cukup tinggi. Alokasi APBN yang demikian tinggi membuat sektor ini seperti menjadi lahan basah bagi perilaku korup. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2005 hingga 2015 ada 425 kasus korupsi di sektor pendidikan.
#BeritaICW | Kerugian Negara Dari Korupsi Sektor Pendidikan Capai 1,3 Triliun Rupiah https://t.co/VkTTbKeTiw
— SAHABAT ICW (@sahabatICW) May 18, 2016
Berdasarkan data yang dihimpun ICW, tercatat bahwa korupsi di sektor ini merugikan negara hingga Rp 1,3 triliun. Selain itu, tercatat pula suap senilai Rp 55 miliar dari sektor tersebut. Dari rangkaian kasus tersebut, dinas pendidikan menjadi lembaga terkorup kedua di Indonesia, di mana terjadi 214 kasus korupsi. Tingginya angka ini terjadi karena sebagian besar anggaran pendidikan memang terdapat di pemerintah daerah ketimbang pemerintah pusat.
Objek korupsi dari sektor ini tergolong beragam. Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), infrastruktur sekolah, serta dana buku menjadi sasaran perilaku korup para elit, baik politisi maupun birokrasi.
Aktor yang Terlibat
Aktor politik di balik buruknya kualitas pendidikan ini dapat ditelurusi hingga ke era Orde Baru. Di era tersebut, kacaunya tata kelola pendidikan telah kuat mengakar. Berakhirnya rezim Soeharto tersebut tidak berarti berakhir pula kiprah para aktornya.
Di era tersebut, pendidikan kerapkali digunakan sebagai sarana menyebarkan ideologi ketimbang meningkatkan nilai peserta didik. Pendidikan dibuat sedemikian rupa agar menguntungkan Soeharto dan Golkar, baik dari segi ideologi dan juga ekonomi. Berdasarkan kondisi tersebut bisa disimpulkan bahwa hampir seluruh kroni Soeharto mendapat untung dari pengaruh dan kekuasaan mereka di dalam pendidikan.
Menurut Vedi Hadiz, pasca Orde Baru tumbang, aktor-aktornya berhasil menemukan aliansi dan kendaraan baru untuk menjalankan aksi mereka. Partai politik adalah salah satu kendaraan yang dimaksud. Hal ini membuat Hadiz mengemukakan, bahwa Orde Baru secara rezim memang sudah tidak ada, tetapi secara kepentingan masih kuat mengakar.
Jika melihat dari pernyataan tersebut, Orde Baru amat identik dengan Partai Golkar. Golkar dan Soeharto mengatur pendidikan begitu rupa melalui koneksi dengan birokrat dan para klien mereka yang berasal dari korporasi.
Jika Hadiz menganggap Orde Baru mencari aliansi politikus baru, maka cara paling mudah bagi mereka adalah dengan menempelkan diri dengan Golkar. Maka, jika memang aksi Orde Baru dalam dunia pendidikan berlanjut, bisa saja tangan mereka hadir melalui Partai Golkar.
Anies Baswedan bisa jadi ada benarnya. Pendidikan yang masih sulit bersaing dengan negara tetangga tentu mengkhawatirkan. Padahal, gelontoran dana tiap tahun mengaliri sektor ini setiap tahun. Boleh jadi memang ada aktor politik yang hanya ingin memanfaatkan sektor ini untuk kepentingan mereka ketimbang memajukan daya saing putra-putri bangsa. (H33)