Tak ada hujan, tak ada petir, nama Rizieq Shihab muncul dalam bursa capres 2019 di beberapa lembaga survei nasional.
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]izieq Shihab memang tak berada di Indonesia saat ini. Tapi namanya tak pernah sepi dari pemberitaan. Setelah diwacanakan beberapa kali akan kembali ke tanah air, kini namanya tiba-tiba bertengger dalam dua lembaga survei Indonesia, Saiful Mujani Reasearch Center (SMRC) dan Media Survei Nasional (Median), sebagai calon presiden 2019.
SMRC menjabarkan nilai elektabilitas Rizieq berada di angka 0,5 persen. Sementara di Median, nama Rizieq cuma mengantongi angka elektabilitas sebesar 0,3 persen. Melihat angka-angka ‘remeh’ ini, wajar bila sebagian politisi menanggapi dingin dan enteng kabar pencalonannya. Said Aqil bahkan berkata, “Pulang dulu kalau jantan”, sementara Gerindra mantap menolaknya, dengan menyebut Prabowo sebagai capres harga mati.
Terlepas dari beragam respon yang mewarnai hasil lembaga survei tersebut, penting pula diketahui bila ternyata tak kali ini saja nama Rizieq Shihab mencuat sebagai capres. Ini adalah ketiga kalinya nama Rizieq bergema sebagai capres. Di tahun 2004, Panitia Persiapan Kepemimpinan Nasional (PPKN) yang dibangun dan diketuai oleh alm. Fauzan Anshori, pertama kali membawa nama Rizieq Shihab sebagai calon orang nomor satu di Indonesia.
Sayangnya, dukungan itu harus direspon dengan tawa oleh istri Rizieq Shihab, Syarifah Fadhlun Yahya, saat diberondong pertanyaan soal pencalonan suaminya menjadi presiden. Tawa Syarifah, lantas dibalas dengan celetukan, “Insya Allah supaya tidak ada koruptor lagi, Mbak.” Pencalonan Rizieq di tahun 2009 itu, lantas lebur dan hilang teratur karena tak ada bukti dukungan partai untuknya.
Sementara di tahun 2014, Rizieq sudah mulai percaya diri untuk mengaku bila dirinya didorong oleh sejumlah kalangan umat Islam untuk maju Pilpres 2014. Walau begitu, dirinya secara ‘rendah hati’ berkata, “Jadi kalau umat Islam ingin mendorong, itu hak mereka. Adapun, saya belum pernah berpikir untuk menjadi capres, duduk di pemerintahan, atau anggota dewan, Saya masih enjoy menjadi pemimpin organisasi sosial,” ungkapnya.
Menjelang 2019, wacana yang sama menyeruak pertama kali saat Slamet Ma’arif selaku Ketua Umum Persaudaraan Alumi 212 (PA 212) mengabarkan lewat pesan singkat bahwa Rizieq Shihab siap maju Pilpres 2019, bila diminta ulama dan umat. Belum ada yang bisa memastikan dengan gamblang bila Rizieq akan menghiraukan atau tidak pencatutan namanya sebagai capres dalam lembaga survei. Namun, hal ini tentu menumbuhkan sebuah optimisme tersendiri bagi para pendukungnya.
Walau begitu, tak sulit pula menebak ke mana arah larinya wacana pencapresan Rizieq berlabuh, hal itu bisa dihiraukan atau tidak sama sekali. Lantas, bagaimana latar belakang kedua lembaga survei yang mencatut namanya ini? Apa pula yang bakal dibawa Rizieq jika benar ia bisa duduk sebagai orang nomor satu di Indonesia? Sebesar apa pula pengaruh FPI dan PA 212 dalam masyarakat?
SMRC dan Median, Lembaga ‘Terpercaya’
SMRC memang sudah terkenal dan populer melakukan berbagai survei opini publik, exit poll, hingga quick count. Tak hanya itu, SMRC juga membuka jasa konsultasi politik. Seperti namanya, SMRC didirikan oleh Saiful Mujani sebagai seorang yang sudah banyak bergulat di dunia konsultasi politik dan survei.
Bila dikategorikan, SMRC merupakan lembaga yang cukup bisa dipercaya, kredibel, dan diperhitungkan. Hal ini dikuatkan oleh hasil audit Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), yang menyebut SMRC adalah lembaga dengan nilai akurasi hitung cepat paling baik pada Pilpres 2014 dan mereka juga tak pernah memiliki catatan buruk seperti menyebar data atau statistik hoaks.
Dibandingkan dengan SMRC, lembaga survei Median masih berada dalam remang-remang. Lembaga survei ini, pernah ‘dipergoki’ oleh KPU belum terdaftar sebagai lembaga survei legal yang menghitung perolehan suara saat Pilpres 2014 lalu. KPU sendiri menyebutnya dengan ‘liar’, karena dianggap menampilkan hasil ‘asal’ di mana Prabowo Subianto unggul dbandingkan dengan Joko Widodo.
Sedangkan Median, didirikan oleh Rico Marbun yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif di sana. Ia mantan petinggi Universitas Indonesia dan pernah tercatat aktif di lembaga kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari sana, tak mengejutkan bila afiliasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lumayan kental. Sebelum 2014, lembaga survei satu ini memang lekat dengan julukan sebagai lembaga survey yang simpatisan dan sangat kentara mendukung Prabowo Subianto.
Bila melihat latar belakang keduanya, tentu sangat menarik karena sangat bertolak belakang. Bila SMRC sudah diakui sebagai lembaga survei yang bisa dipercaya, Median – walau saat ini sudah terdaftar di KPU – masih berusaha melepaskan label sebagai lembaga partisan. Keduanya mengeluarkan nama Rizieq Shihab dengan nilai elektabilitas yang tak berbeda jauh, yakni SMRC 0,5 persen, sementara Median sebesar 0,3 persen.
Namun Median mengaku, saat mengolah data, pihaknya mempersilakan responden mengajukan nama lain sebagai capres. Hingga akhirnya muncul nama Rizieq Shihab. “Saya kira dengan model seperti ini jauh lebih fair, karena lebih terbuka,” tutur Rico.
Dengan demikian, nama Rizieq Shihab memang mencuat dari mulut para responden yang dituju oleh kedua lembaga survei ini. Terlepas dari akurasi dan metodologi penelitian, menarik pula untuk melihat mengapa Rizieq dielukan untuk memimpin Indonesia? Apa kapasitas yang dimilikinya?
Strategi Usang Agar ‘Abadi?
Ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 usai dan menghasilkan nama pemenangnya, Rizieq Shihab perlahan tapi pasti menghilang dan pergi jauh dari tanah air. Bisa saja ia tak kembali dan terus menetap di Arab Saudi, tetapi apakah dia ‘tega’ mengingat hingga kini namanya terus dibincangkan dan dibahas oleh umat FPI?
Bagi sebagian orang, kharisma Rizieq memang tak bisa ditahan dan dibendung. Mereka bisa jadi adalah kelompok yang selalu menanti pemberitaan dan kabar seputar Rizieq di Arab Saudi. Tak ada yang bisa melupakan bagaimana Rizieq mengolah rentetan gerakan aksi massa berjilid di Jakarta. Sosoknya berpengaruh mengumpulkan massa dari belahan Jabodetabek untuk berkumpul di Monas dengan agenda utama ‘menjatuhkan Ahok’.
Ketiadaan dirinya ini, bisa jadi harus terus dipupuk agar ‘suaranya’ tetap terjaga. Hal itu, dilakukan bukan hanya dengan memunculkan wacana kepulangan Rizieq, tetapi juga terus memunculkan wacana pencalonan dirinya sebagai presiden. Oleh Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, wacana demikian memang sengaja dibuat timbul tenggelam. “Kalau melihat polanya, ini kan gerakan sistemik. Ini didesain terutama oleh pendukungnya, karena apa? Karena ingin menjaga stamina dan ritme figur Rizieq tetap diingat orang,” jelas Adi.
Pertahanan tersebut dirasa wajar, sebab Rizieq sempat menyabet gelar sebagai tokoh dengan penelusuran terpopuler di Google sepanjang tahun 2017. Saat demo-demo menggulingkan Ahok karena dianggap menistakan Islam ramai dan kasus hukumnya mencuat, sulit untuk mempertahankan gelar tersebut karena ketiadaan momentum.
Mengkatrol nama Rizieq memang paling mudah bila terus mengulas aksi-aksi terdahulu yang dibuatnya ini. Betapa tidak, aksi massa yang diberi judul dengan angka-angka cantik tersebut, membuat banyak pihak turun dan ikut menghitung pesertanya. Pihak PA 212 sering mengkonfirmasi bila mereka memiliki jumlah massa sebanyak 7 juta saat aksi. Namun hal tersebut dibantah oleh dosen dari Univeristas Padjadjaran, Dr Muradi. Menurutnya, jumlah massa tak lebih dari 700 ribu saja. Terlepas dari angka yang akurat, satu yang bisa disepakati adalah Rizieq mampu mengumpulkan massa yang sangat banyak.
Ini berhubungan pula dengan bagaimana FPI membawahi beberapa organisasi lain. Walau akrab dan lekat dengan tindakan kekerasan, FPI bukanlah organisasi “kemarin sore”. Menurut buku Between Dissent and Power karya K. Telk, dkk, FPI membawahi Forum Betawi Rempug (FBR), Forum Umat Islam (FUI), Pagar Akidah, Garis, dan Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI). Lembaga dan organisasi ini masing-masing memiliki massa yang tak sedikit dan tentunya tersebar di beberapa wilayah, tak hanya di Pulau Jawa saja.
Dengan demikian, kekuatan Rizieq banyak tersimpan dari sosok kharismatik, perannya di FPI, serta massa yang berada di bawahnya. Hal-hal ini pun didapatkan secara turun temurun, dari kakek dan ayahnya yang menjadi agitator di masa penjajahan Belanda.
Bersama Rizieq, Hanya Ada Rugi?
Tentu saja membayangkan Rizieq menjadi orang nomor satu, tentu sangat sulit. Tetapi, nama Rizieq yang terus beredar dalam tiga Pilpres terakhir, menunjukkan bahwa dukungan yang datang pada dirinya terus ada dan tak hilang.
Di sisi lain, penting untuk mengetahui bahwa sejak kepentingan menumbangkan Ahok sudah tunai dilakukan, partai-partai politik – terutama yang berbasis Islam – memilih menjaga jarak dengan Rizieq. “Setelah itu (menumbangkan Ahok) tercapai, mereka tidak mau diklaim sebagai orang yang melindungi Rizeq. Takut blunder,” jelas Adi Prayitno.
Hal ini terlihat dari bagaimana PKS, PPP, PAN, dan bahkan Gerindra sekalipun – walau banyak disinyalir membiayai FPI – sepertinya tidak mau diklaim membekingi atau berkawan dengan Rizieq. Jadi, ungkapan Gerindra yang menyebut Prabowo Subainto sebagai capres harga mati sangat bisa dipahami.
Dengan begini, makin sulit bila membayangkan Rizieq benar-benar akan duduk sebagai orang nomor satu di Indonesia, bila tak ada parpol yang sudi mendukungnya. Tapi itu parpol, pihak eksternal yang tak mau meliriknya. Tapi bagaimana dengan organisasi yang dibawahinya? Saat ini, suara pendukung gerakan 212 terpecah. Selain PA 212 ada pula presidium Alumni 212.
Keduanya bertolak belakang mengenai arah gerakan organisasi. Slamet Ma’arif selaku Ketua PA 212, berkata bahwa gerakan mereka cenderung ke gerakan politik praktis. Sementara Presidium Alumni 212 menolak mengunakan umat Islam sebagai alat politik partai. Dari sini terlihat bagaimana kelompok yang dibina langsung oleh Rizieq saja terpolarisasi ke faksi berbeda.
Selain dari eksternal, Rizieq sendiri sebagai seorang figur pun dinilai kelewat kontroversial bila maju sebagai capres. Walau UUD 1945 pasal 6 meloloskan dirinya mencalonkan diri, namun rentetan kasus hukumnya tentu akan menjadi kerikil panjang. Siapa yang mau dipimpin oleh capres kontroversial dari organisasi yang banyak disebut pro-kekerasan?
Kesulitan lainnya adalah konsep NKRI bersyariah yang pernah dilontarkan oleh pria keturunan Arab tersebut. Rizieq menyebut NKRI bersyariah adalah NKRI yang beragama, bukan ateis atau pun komunis. Ia juga menjelaskan bahwa NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjamin semua umat beragama menjalankan ibadah dan syariat agamanya masing-masing.
Konsep NKRI bersyariah ala Rizieq sesungguhnya sudah diwadahi oleh negara, terutama di bagian kebebasan beragama. Tetapi tentu saja konsep ini akan sulit, bila tak mau disebut mustahil diaplikasikan di Indonesia, sebab tak semua penduduk Indonesia menganut Islam. Jika Rizieq hanya menyontek model pemerintahan Arab Saudi, tentu hal itu hanya akan berbuah penolakan belaka. Keadaan Indonesia yang sangat plural, tidak bisa dihomogenkan sebagai negara syariah.
Jika dirinya benar-benar duduk dan menjalankan konsep NKRI bersyariah, hal ini sepertinya hanya akan membuat Indonesia dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan internasional. Bila tidak mendapat dukungan internasional, maka keadaan ekonomi makro akan terguncang.
Dengan demikian, alih-alih untung bersama Rizieq, Indonesia hanya akan menuai kerugian dan penolakan. Akhirnya, isu pencapresan Rizieq Shihab boleh kembali direspon sebagai lagu sumbang belaka, bila bukan humor yang tak bisa mengundang tawa. (A27)