Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia?
PinterPolitik.com
“Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan potensi sekaligus bahaya seperti ini”
– Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution –
Tulisan Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution memang benar adanya. Revolusi industri keempat yang mengusung perubahan masif dalam tatanan kehidupan fisik menuju siber, memberikan banyak potensi bagi kehidupan yang lebih baik, sekaligus menjadi ancaman karena memberi ruang bagi kejahatan yang semakin tak terduga.
Revolusi industri keempat atau yang biasa disebut Industri 4.0 adalah wacana yang sudah cukup lama bergulir. Secara gagasan, Industri 4.0 pertama kali lahir dari Hannover Fair, Jerman, tahun 2011. Hannover Fair adalah pameran teknologi industri dan perdagangan terbesar di Jerman. Pada Hannover Fair 2013, kajian akhir dari Industri 4.0 tersebut dipresentasikan.
Sederhananya, Industri 4.0 adalah gagasan untuk memanfaatkan teknologi digital lebih jauh lagi, dari yang semula hanya di sektor industri saja. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya sejumlah teknologi yang dapat dikategorikan Industri 4.0. Dari yang terkecil, misalnya teknologi finger print dan face scan yang ada di telepon pintar.
Tapi, gagasan Industri 4.0 sesungguhnya jauh lebih besar dari sekadar yang ada di genggaman kita. Ia adalah kesatuan dari kesiapan teknologi dan kesiapan manusianya untuk menerima teknologi tersebut dalam genggamannya.
Lalu, bagaimana kesiapan Indonesia?
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto memang mengusulkan dibentuknya peta jalan (roadmap) Industri 4.0 yang lebih strategis, dengan menempatkan lima sektor utama, yakni sektor makanan-minuman (mamin), otomotif, elektronik, kimia, dan tekstil. Kelimanya, sebut Airlangga, akan menjadi jagoan Industri 4.0 di Indonesia,
Benarkah Indonesia mampu? Bagaimana dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya?
Mengejar Ketertinggalan
Indonesia sesungguhnya tertinggal langkah cukup jauh. Baik secara kesiapan teknologi maupun kesiapan masyarakatnya, Indonesia masih tertinggal bahkan dari negara-negara tetangganya di ASEAN.
Singapura misalnya, punya Human Development Index (HDI) peringkat ke-5 di dunia, dan paling tinggi di ASEAN. Sangat tingginya HDI ini menandakan bahwa Singapura punya masyarakat dengan angka harapan hidup yang tinggi (sehat), tingkat pendidikan yang tinggi, serta Pendapatan Nasional Bruto (PNB) yang tinggi (bahagia).
Singapura juga punya sektor manufaktur yang jawara di ASEAN, dengan kenaikan produktivitas sebesar 18,4 persen di tahun 2017. Terlebih lagi, kenaikan tersebut dipimpin oleh sektor industri elektrik dan elektronik (E&E), salah satu infrastruktur utama untuk menerjang Industri 4.0. Tak heran, bila Singapura berada di peringkat 11 dari 25 negara yang sudah siap menghadapi Industri 4.0, versi World Economic Forum (WEF).
Serupa, Malaysia juga punya modal yang cukup baik dalam menyambut Industri 4.0. Negeri Jiran itu punya HDI yang cukup baik, yakni peringkat ke-59 dunia dan peringkat ke-3 ASEAN. Artinya, walaupun kualitas manusia Malaysia masuk dalam kelompok menengah di dunia, namun cukup baik di ASEAN.
Malaysia juga punya kekuatan di sektor manufaktur, dengan kenaikan sampai 13,6 persen di tahun 2017. Juga seperti Singapura, sektor industri E&E memimpin manufaktur di Malaysia. Baik Singapura dan Malaysia memang sudah dikenal sebagai pemain manufaktur suku cadang konduktor dan semikonduktor untuk sejumlah merk-merk elektronik besar. Artinya, Malaysia dan Singapura pasti sudah memiliki modal yang besar untuk pengembangan sektor E&E di dalam negeri, serta dengan modal HDI dan potensi melek teknologi yang juga tinggi.
Sementara, Thailand punya kondisi yang agak buruk. Negeri Gajah Putih itu punya HDI yang tidak terlalu tinggi, yakni peringkat ke-87 di dunia dan peringkat ke-4 di ASEAN. Penurunan ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 2007, ditambah dengan biaya politik yang mahal pasca dipimpin oleh junta militer, menyebabkan turunnya indeks kualitas manusia Thailand.
Tak hanya berdampak pada HDI, manufaktur di Thailand pun terkena imbas negatifnya. Pada tahun 2017, kenaikan produktivitas manufaktur Thailand sangat bontot, hanya mencapai 1 persen. Padahal, sejak tahun 2007 Thailand dikenal sebagai pemain manufaktur E&E yang cukup besar. Walaupun begitu, Thailand masih menjadi pemain manufaktur otomotif terbesar di ASEAN, dengan kontribusi sektor ini mencapai 7% GDP nasional di tahun 2017.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara ini nyatanya masih terseok-seok dengan HDI yang rendah. Indonesia berada pada peringkat ke-113 dunia dan peringkat ke-5 di ASEAN. Kualitas mayoritas penduduk Indonesia masih belum masuk dalam taraf siap dan melek teknologi. Hanya sebagian penduduk perkotaan di Indonesia yang dinilai mampu berkontribusi produktif dalam Industri 4.0.
Namun, Indonesia patut berbangga dengan sektor manufakturnya. Ada tren positif berupa kenaikan terus menerus dari tahun 2015 sampai 2017. Tahun 2017 menandai kenaikan sebesar 4,74 persen manufaktur di Indonesia. Namun, sektor E&E belum menjadi primadonanya.
Dengan fakta tersebut, setidaknya Indonesia berada di level yang seimbang dengan Thailand—dengan HDI yang tidak terlalu tinggi, serta manufaktur yang tengah meningkat dan belum kuat di subsektor E&E. Dengan Singapura dan Malaysia? Tentu saja keduanya belum jadi lawan yang sepadan.
Menyesuaikan Diri
Industri 4.0 terus menerus berbicara tentang teknologi digital, piranti elektronik, sampai hal-hal di dunia siber. Dengan data-data di atas, tentang rendahnya industri elektronik sampai rendahnya HDI, sudah siapkah Indonesia mengejar Industri 4.0?
Sepertinya, Indonesia masih punya banyak prakondisi yang belum bisa dicapai untuk mengejarnya. Infrastruktur fisik seperti jalan sampai infrastruktur lain macam internet, sudah sejak lama dan cukup jauh tertinggal. Ambisi Jokowi untuk membangun jalan tol, jembatan, sampai ambisi Palapa Ring untuk menyebarkan koneksi internet hingga ke desa-desa adalah upaya awal untuk mengejar ketertinggalan prakondisi tersebut. Ambisi yang terlihat mahal hari ini, namun tentu berdampak positif dalam jangka panjang. (Baca juga: Ambisi Proyek Infrastruktur)
Belum lagi, bila melihat rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan yang ada di Indonesia. Kualitas manusia Indonesia secara keseluruhan, terutama yang mayoritas berada di daerah pedesaan, akan kesulitan untuk berkontribusi dalam Industri 4.0 layaknya yang dipahami orang perkotaan.
Karenanya, Indonesia perlu menyiasati Industri 4.0 dengan cara lain. Menggenjot sektor-sektor yang sudah produktif dan dapat kompetitif bisa jadi adalah caranya.
Seperti gagasan Airlangga, Indonesia punya kekuatan, misalnya di bidang tekstil dan mamin. Di bidang tekstil, Indonesia dikenal sebagai pemain lama yang cukup dikenal baik di dunia internasional. Industri padat karya ini telah menyerap tenaga kerja mencapai 3 juta orang, sekaligus konsisten naik di angka 1,6 persen per tahun. Devisa ekspor produk tekstil pun cukup besar, mencapai 159 triliun rupiah, atau 8,2 persen total ekspor nasional tahun 2016.
Begitu pula dalam bidang mamin. Sektor industri ini selalu mengalami tren positif setiap tahunnya. Pada 2017, terdapat kenaikan 8,27 persen industri mamin. Tak hanya berdampak positif bagi industri, mamin juga berdampak positif bagi konsumen karena mendorong pemerataan nasional. Dalam tiga tahun terakhir, terdapat pula kenaikan pada sektor ini, akibat dari besarnya wirausaha mamin di tengah masyarakat.
Sementara di tiga sektor lainnya, yakni sektor otomotif, elektronik, dan kimia, Indonesia masih tergolong pemain baru. Di sektor otomotif misalnya, walaupun mulai menggeliat beberapa tahun terakhir akibat naiknya konsumsi dan produksi dalam negeri, namun Indonesia dinilai masih terlalu tergantung pada investasi asing—Jepang utamanya—dan belum bisa berdiri mandiri. Sementara di sektor elektronik, Indonesia masih dinilai tertinggal cukup jauh, bahkan untuk kawasan Asia Tenggara. Airlangga sendiri mengakui, industri elektronik kita belum siap menghadapi MEA.
Lalu bagaimana dengan sektor kimia dan produk-produk dari kimia? Sebenarnya, industri kimia Indonesia punya potensi yang baik, namun tidak dapat dioptimalkan. Menurut Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin, minat investasi di sektor ini besar, namun akhirnya hampir terganjal ketergantungan impor bahan baku. Dampaknya, di tahun 2017 sektor ini mengalami kemerosotan cukup tajam, mencapai 14,58 persen.
Dengan demikian, bisa terlihat mana sektor yang sudah kuat dan mana yang masih harus didukung, bila ingin mengejar ambisi Menperin di lima sektor itu.
Pertanyaannya, apakah ini yang dimaksud dengan Industri 4.0 yang digagas di Hannover, Jerman, tujuh tahun lalu? Sepertinya tidak.
Pasalnya, upaya untuk menggenjot kelima sektor tersebut bukanlah upaya transisi dari Industri 3.0 ke 4.0, namun lebih kepada transisi dari Industri 2.0 (produksi masal) kepada Industri 3.0 (digitalisasi-komputerisasi industri). Hal ini dapat diindikasikan dari masih lemahnya industri E&E dan belum mampunya teknologi robotik Indonesia untuk menggantikan tenaga-tenaga kerja manual secara masif di industri manufaktur.
Padahal, kalau Industri 4.0 yang sesungguhnya yang ingin dikejar, maka tetap HDI atau kualitas pendidikan tenaga kerja Indonesia lah yang harus ditingkatkan. Dengan begitu, bila tenaga kerja terdidik meningkat, maka tenaga kerja manual akan berkurang. Yang artinya, pekerjaan perburuhan akan semakin ditinggalkan, sementara pekerjaan di bidang riset teknologi akan terus meningkat.
Bila akhirnya Menperin tetap menggunakan istilah ‘Industri 4.0’, patut menjadi tanda tanya tentu saja. Upaya-upaya Kemenperin ini adalah upaya mengejar ketertinggalan industri kita, dengan hanya berfokus pada sektor yang punya daya saing kuat. Suatu ‘paradigma baru’ yang nyatanya sudah dimiliki negara industri maju puluhan tahun lalu.
Seperti kata Airlangga sendiri, Indonesia baru akan menjadi negara industri sepenuhnya nanti, di tahun 2030. (R17)