Korupsi menggurita, tangkap tangan KPK merajalela. Apakah salah sistem? Atau salah gaya hidup?
PinterPolitik.com
Tahun politik 2018 dimulai dengan banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat negara yang terindikasi melakukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi jagoan di mata publik dengan maraknya penangkapan pejabat nasional sampai daerah ini.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan tanggapan dan sikap KPK tentang maraknya OTT di awal tahun Pilkada ini.
“Kalau kita serius proses demokrasi ini dijalankan secara bersih, pasti butuh peran dari semua pihak,” tutur Febri.
Febri menjelaskan, bahwa KPK sebagai penegak hukum antikorupsi akan bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menghasilkan pemimpin-pemimpina daerah yang bersih dari korupsi.
Tapi, sebenarnya seberapa parah sih korupsi pejabat daerah di Indonesia?
Setidaknya sejak 1 Januari sampai 15 Februari 2018 yang lalu, sudah terdapat delapan kali OTT dan penetapan tersangka korupsi yang menimpa kepala daerah, serta satu penetapan tersangka korupsi nasional, yakni kasus Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menimpa politisi Golkar Fayakhun Andriadi.
Dari delapan kasus yang menimpa pemerintahan daerah, ada setidaknya dua jenis korupsi yang dijalankan.
Pertama adalah korupsi yang menyangkut pendanaan politik, baik itu yang masuk ke kas partai maupun yang terkait dengan kampanye dan operasional Pilkada.
Kasus-kasus korupsi yang menyangkut kepentingan partai dan Pilkada di belakangnya, misalnya kasus Zumi Zola di Provinsi Jambi dan kasus Imas Aryu di Kabupaten Subang. Dua kasus ini memiliki keterkaitan berupa tekanan dari partai politik dan kepentingan Pilkada. Zumi disinyalir mengalirkan uang suap ke PAN sementara Imas menggunakan uang suap untuk kontestasinya di Pilkada 2018.
Sementara itu, kasus-kasus lainnya masuk ke dalam jenis korupsi kedua, yakni korupsi yang semata-mata untuk memperkaya diri sendiri, bukan (atau minim) kepentingan partai di sana. Uang-uang suap atau kutipan APBD dilakukan dengan penyalahgunaan diskresi sang pimpinan daerah, untuk masuk ke saku pribadinya.
Kasus suap Bupati Hulu Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen Yahya Fuad, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, serta Bupati Ngada Marianus Sae adalah contoh-contoh kasus korupsi yang memperkaya diri sendiri.
Jajaran bupati ini biasanya punya modus-modus yang bisa dibaca untuk mengaburkan uang korupsi mereka. Misalnya, dengan membeli mobil-mobil mewah yang identitas kepemilikannya disembunyikan, seperti yang dilakukan oleh Abdul Latif.
Atau, mengaburkan aliran uang (cuci uang) dengan cara “cantik”, yakni memberikannya ke istri muda, lagi-lagi juga seperti yang dilakukan oleh Abdul Latif.
Korupsi yang dilakukan kepala daerah atau jajaran pejabat daerah merupakan fenomena terusan dari korupsi yang dilakukan di tingkat nasional. Sekalipun korupsi di daerah bernilai lebih kecil dari korupsi nasional, namun desentralisasi memberi kekuasaan yang begitu menyebar di daerah-daerah, dan memungkinkan korupsinya pun menggurita dari Sabang sampai Merauke. (Baca juga: E-KTP, Babak Terakhir Korupsi di Indonesia?)
Bahkan di tingkat daerah, korupsi kekuasaan bisa terjadi dengan jalan membuat dinasti politik, misalnya dalam kasus Ratu Atut di Banten. Korupsi diteruskan turun temurun di antara keluarga.
Yang paling parah, tentu saja, adalah ketika korupsi terus dilakukan sementara pembangunan daerah menjadi korbannya. Lagi-lagi bisa dilihat di Banten, di mana pembangunan cenderung stagnan di tengah korupsi yang merajalela.
Kalau sudah begini, apa yang salah? Semata-mata kesalahan sistem, atau juga ada andil gaya hidup para politisi yang (dituntut) begitu tinggi?
Teladan Para Negarawan
Bangsa Indonesia yang disebut-sebut akan ambruk karena korupsi ini, konon pernah memiliki pemimpin-pemimpin yang sama sekali tidak memikirkan kekayaan diri sendiri. Nama-nama pahlawan kemerdekaan seperti Prawoto Mangkoesasminto, Mohammad Natsir, sampai Mohammad Hatta adalah contohnya.
Prawoto adalah mantan Wakil Perdana Menteri RIS yang juga membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan pernah menjadi pemimpin (terakhir) Partai Masyumi sebelum dibubarkan Soekarno. Prawoto, sebut banyak saksi sejarah kehidupannya, adalah orang yang punya gaya hidup sangat sederhana.
Kisah paling terkenal mengenai kesederhanan hidup Prawoto adalah ketika ia memilih tidak membeli banyak baju baru, agar uangnya dapat ditabung oleh keluarganya. Akibatnya, baju yang ia pakai itu-itu saja dan sobek saat harus bertemu Presiden Soekarno. Ajudan Prawoto sampai harus menjahitnya dulu beberapa saat sebelum Prawoto hadir di Istana Negara.
Prawoto juga disebut sebagai politisi yang benar-benar selalu sejalan dengan perkataannya. Penulis buku Imperialisme Baru, Nuim Hidayat menceritakan bahwa Prawoto punya gaya komunikasi politik yang khas, yakni blusukan dengan berdakwah. Blusukannya ini dilakukan Prawoto di Jawa Timur khususnya di kampung halamannya, Banyuwangi.
Begitu pula dengan Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RIS. Natsir, yang juga junior Prawoto di DDII dan pendiri Masyumi punya kesederhanaan, yang menurut banyak kalangan, meneladani sikap sederhana Prawoto.
Bahkan, saking sederhananya, ada pula kisah tentang ajudan-ajudan Natsir yang sampai patungan uang agar Natsir memiliki pakaian yang cukup mewah layaknya seorang perdana menteri. “Tidak seperti perdana menteri”, ujar seorang petinggi negara asing yang bertamu ke Indonesia.
Sementara itu, Bapak Proklamasi Mohammad Hatta pun juga punya kisah kesederhanaan yang cukup memukau. Bung Hatta selalu menolak mengambil kemewahan-kemewahan yang adalah haknya sebagai wakil presiden, seperti uang operasional, bahkan uang pensiunnya.
Menurut beliau, rakyat Indonesia masih dalam kondisi yang tidak sejahtera, sehingga tidak pantas baginya untuk bergelimang kemewahan.
Lalu apa yang menjadi pegangan hidup tokoh-tokoh ini? Mengapa mereka dapat bertahan menolak akses kemewahan yang bisa mereka dapat dengan mudah sebagai petinggi negara ini?
Pertama, tentu saja, adalah kondisi bangsa Indonesia yang saat itu tidak kondusif bagi mereka untuk memperkaya diri. Apakah tidak kondusif berarti mereka tidak bisa memperkaya diri? Bisa, tentu saja. Karena aristokrasi politik di masa itu setidaknya memiliki kemewahan-kemewahan yang tidak bisa dirasakan rakyat jelata, misalnya bersekolah atau pergi haji.
Juga, karena setidaknya perekonomian Indonesia cenderung meningkat di tahun 1950-an, setelah sukses melakukan banyak nasionalisasi perusahaan kolonial. Mulai banyak sektor ekonomi yang berkembang dan dapat dimanfaatkan para petinggi negara ini untuk kepentingan pribadi.
Akan tetapi, faktor kedekatan secara emosional dengan masyarakat, atau mungkin karena faktor perjuangan kemerdekaan, menjadikan mereka tidak sampai hati mengejar kesenangan pribadi. Tidak menari di atas penderitaan rakyat, mungkin itulah peribahasa yang tepat.
Kedua, mungkin adalah faktor keyakinan atau agama, yang konon—menurut Ketua MPR Zulkifli Hasan—dapat menjadi obat dari penyakit korupsi. Dari tiga tokoh bangsa yang disebut di atas, dua di antaranya adalah tokoh agama.
Apakah ini berarti agama dapat menjadi tameng dari memperkaya pribadi, atau korupsi? Apakah gaya hidup sederhana dalam beragama, atau asketisme, dapat dijadikan contoh bagi politisi kita saat ini?
Kapitalisme, Konsumerisme, dan Tantangan Saat ini
Pejabat kita saat ini terjebak dalam hasratnya untuk kembali menjadi kasta teratas secara ekonomi di masyarakat. Justru kontras dengan bapak-bapak bangsa kita yang merasa lebih dekat dengan rakyat dan tidak sampai hati untuk memperjelas jurang perekonomian. Ketika para elit zaman kemerdekaan banyak yang menanggalkan aristokrasinya dan membaur dengan rakyat, justru elit-elit zaman reformasi semakin ingin masuk ke dalam lingkaran oligarki.
Ya, korupsi tidak akan marak terjadi bila tidak ada pembangunan ekonomi. Mungkin seperti itu maksud Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat menyatakan bahwa korupsi adalah “oli” pembangunan. Namun, pernyataan Fadli itu jelas sedikit keliru.
Yang benar, korupsi adalah penghambat pembangunan. Pendapat ini disampaikan oleh Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro. Korupsi harus dilihat sebagai residu dari kapitalisme, yang merajai Indonesia lima puluh tahun lebih.
Kapitalisme memang menjadikan perekonomian Indonesia lebih berkembang. Akan tetapi, maraknya pembangunan dan proyek bernilai triliunan oleh karena masuknya kapitalisme, akan menjadi ladang para pengambil keputusan untuk melakukan korupsi.
Dan konsumerisme alias memperkaya diri sendiri, seperti yang disebut berkali-kali dalam tulisan ini, adalah bagian dari kapitalisme. Konsumerisme, di samping pembangunan ekonomi, juga adalah bagian integral dari kapitalisme. Pejabat “dipaksa” untuk melakukan konsumerisme di luar kapasitasnya dan hak-haknya yang dia dapat sebagai pejabat publik.
Lalu, bagaimana solusinya? Sampai di sini, tulisan Eki Baihaki dari Departemen Komunikasi Universitas Padjajaran yang berjudul Asketisme Politik, Belajar Hidup Sederhana untuk Politisi benar adanya. Asketisme, atau ajaran hidup sederhana dalam agama, adalah jalan yang paling lurus untuk seorang politisi.
Seorang politisi asketis akan benar-benar mampu berdisiplin dalam tugasnya menjadi pejabat publik dan akan jauh dari praktik-praktik koruptif. Seorang politisi asketis tidak akan korupsi dengan menggunakan topeng agama.
Tanpa adanya perbaikan gaya hidup politisi menjadi lebih positif, perbaikan sistem antikorupsi akan lambat menemui hasilnya. Sikap dan gaya hidup jelas merupakan kesatuan elemen pendorong korupsi, bersamaan dengan sistem negara yang lemah.
Asketisme perlu ditumbuhkan di tengah seluruh politisi dan pengambil kebijakan kita. Atau paling tidak, politisi daerah yang kebijakan dan kesuksesan pembangunannya dirasakan langsung oleh masyarakat.
Karena seperti kata Tip O’Neil: ”All politics is local”. Karenanya juga, asketisme politik diperlukan oleh pejabat lokal kita, terutama di tahun politik Pilkada 2018. (R17)