HomeNalar PolitikStrategi Jokowi Dekati HMI

Strategi Jokowi Dekati HMI

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Kongres ke-30 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ambon, Maluku pada 14 Februari 2018 lalu. Peristiwa ini merupakan pertama kalinya bagi seorang presiden datang ke organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia tersebut.


PinterPolitik.com

Kehadiran Jokowi pada Kongres ke-30 HMI merupakan momentum bersejarah bagi segenap kader HMI. Hal tersebut membuktikan bahwa HMI tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia.

Pada pidatonya, Jokowi memberikan pesan tentang kontribusi dan sikap Indonesia dalam mengatasi krisis Palestina-Israel, penetapan ibu kota Israel di Yarusalem, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan pembantaian di Rohingya.

Jika ditarik ke belakang, kedekatan HMI dengan Jokowi sudah mulai terlihat semenjak Pengurus Besar (PB) HMI diundang ke Istana Negara pada 20 Februari 2017. Pada kesempatan tersebut, PB HMI melakukan perbincangan hangat dengan Jokowi dan menyampaikan 10 komitmen kepada pemerintah.

Strategi Jokowi Dekati HMI
Presiden Jokowi saat Pembukaan Kongres ke-30 HMI. (Foto: istimewa)

Walaupun demikian, kehadiran Jokowi ke kongres organisasi mahasiswa, bukanlah yang pertama kali. Jokowi melakukan hal serupa ketika membuka Kongres Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 2017.

Kehadiran Jokowi ini dinilai mirip dengan kunjungannya ke acara Dies Natalis di berbagai universitas, yang disebut-sebut bertujuan untuk mencari dukungan politik.

Lalu, apakah kunjungan Jokowi ke Kongres HMI memiliki intensi yang sama dengan kunjungannya ke organisasi dan universitas lainnya, apalagi dengan identitas Islam yang HMI sandang dianggap sebagai salah satu kelemahan politik Jokowi?

Kiprah HMI

HMI didirikan pada 5 Februari 1947 oleh Lafran Pane dan 14 orang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII). HMI memiliki tujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia, mengembangkan berbagai inovasi dan pemikiran mahasiswa di segala bidang, serta mendalami nilai-nilai Islam. Manifesto tersebut yang membuat HMI terus berkembang melewati berbagai dinamika yang terjadi di Indonesia.

Hal paling besar yang dihadapi oleh HMI adalah ketika Orde Baru menetapkan azas tunggal, yaitu Pancasila untuk dipakai sebagai dasar setiap organisasi, institusi dan lembaga di Indonesia. HMI dipersilahkan untuk mengganti azasnya dari Islam ke Pancasila. Jika tidak, maka organisasi tersebut akan dibubarkan pemerintah.

Akibat peraturan tersebut, lahirlah perpecahan pada tubuh HMI, sehingga menghasilkan dualisme. Kubu yang mengganti Islam dengan Pancasila menamakan dirinya HMI DIPO karena bertempat di jalan Diponegoro, sementara kubu yang sebaliknya menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

HMI DIPO merupakan pihak yang menginginkan eksistensi HMI tetap bertahan di Indonesia dan memilih untuk mengganti azasnya ke Pancasila, serta secara perlahan menjadi sekutu bagi Orde Baru. Pertemanan tersebut pada akhirnya mengantarkan kader-kader HMI terjun ke pemerintahan dan menemani Golkar sebagai representasi pemerintah.

Setelah hilangnya kekuasaan Orde Baru pasca reformasi 1998, HMI mengalami sedikit pergeseran kekuasaan. Hal tersebut tidak berlangsung lama karena kader HMI terus masuk ke pemerintahan, baik di eksekutif, legislatif ataupun yudikatif pasca reformasi.

Hingga saat ini di rezim kekuasaan Jokowi, hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya kader HMI yang diangkat menjadi petinggi negara. Ini juga menandakan eksistensi HMI tetap diperhitungkan karena banyak mencetak kader berkualitas.

Pencapaian tersebut juga akhirnya membuat HMI memiliki kekuatan politis. Jika demikian, apakah Jokowi melihat hal tersebut sebagai salah satu penunjang kekuatannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019?

Signifikansi Politik HMI

Panggilan “kakanda” dan “adinda” merupakan sapaan akrab antara junior dan senior HMI. Panggilan tersebut sering terdengar ketika acara HMI sedang berlangsung ataupun pada saat kegiatan penggalangan dana yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa tersebut – terutama yang melibatkan para senior.

Sukses menjadi politikus atau pejabat publik merupakan salah satu indikator keberhasilan bagi sebagian kader HMI. Jokowi contohnya mempercayakan jabatan menteri kepada beberapa kader HMI, di antaranya Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil.

Bahkan Jokowi menggandeng Jusuf Kalla yang juga merupakan kader HMI sebagai Wakil Presiden. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga merupakan salah satu kader HMI.

Dari hal tersebut, bisa terlihat kemungkinan adanya kepentingan yang ingin Jokowi bangun bersama dengan HMI. Indikasinya, Jokowi menempatkan berbagai kader HMI sebagai petinggi negara, mengundang PB HMI ke Istana Negara, memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Lafran Pane dan terakhir menghadiri Kongres ke-30 HMI.

Hal ini setidaknya menggambarkan kepentingan Jokowi untuk menggalang kekuatan politik melawan pesaingnya di Pillpres 2019. Posisi HMI cukup vital, apalagi jika berkaca pada beberapa kejadian, misalnya ketika Ketua PB HMI Mulyadi Tamsir mengutuk tindakan Jokowi yang tidak datang ke Aksi Bela Islam 411, namun tiga hari setelahnya, pria kelahiran Solo itu berkunjung ke Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Saat itu, Mulyadi Tamsir menilai aksi Jokowi tersebut sebagai bentuk pemecahan terhadap umat Islam karena massa aksi 411 tidak diperhatikan dan mereka merasa Jokowi pilih kasih. Maka dari itu, pada aksi selanjutnya, yakni di 212, HMI mengirimkan ribuan kadernya untuk turun menyuarakan penangkapan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan protes terhadap Jokowi.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Hal inilah yang membuat kekuatan politik HMI tidak bisa dianggap remeh. Secara politik, senior dan junior HMI punya posisi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, siapa pun penguasanya. Ini juga yang membuat organisasi tersebut punya posisi tawar untuk dirangkul oleh Jokowi demi kepentingan politiknya.

Fenomena kedekatan politik berdasarkan kepentingan ini berkaitan dengan rational choice theory yang salah satunya dijelaskan oleh ilmuwan politik S. M. Amadae. Teori ini menjelaskan bahwa ketika satu pihak dihadapkan pada berbagai pilihan, maka ia akan menghitung berbagai keuntungan dan kerugian yang didapatkan atas pilihannya. Pada fenomena Jokowi dan HMI, teori ini bisa digunakan untuk melihat perhitungan dari pilihan Jokowi.

Bila dianalisis, alasan Jokowi memilih untuk merangkul HMI tentu saja adalah karena posisinya sebagai organisasi mahasiswa yang besar dan mampu mengisi salah satu kelemahan Jokowi: identitas Islam. Jokowi tentu sadar bahwa ia perlu mendapat dukungan dari berbagai organisasi Islam untuk menujukkan kepada masyarakat bahwa ia adalah presiden yang agamis – mengingat isu agama masih dipercaya sebagai komoditas politik utama di 2018 dan 2019.

Strategi yang dilakukan oleh Jokowi selama ini merupakan jalan panjang yang perlu ditempuh untuk meraih dukungan politik HMI. Keraguan masyarakat Islam terhadap Jokowi akan menjadi hambatan dan jalan terjal menuju kemenangannya di Pilpres 2019. Maka dari itu, Jokowi perlu melakukan antisipasi dan berupaya memperkuat dukungan Islam di belakangnya.

Identitas Islam di HMI merupakan salah satu kepentingan utama Jokowi. Pada perjalanannya, HMI – atau kader-kadernya – selalu berada di lingkaran penguasa. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, walaupun ada kisah tentang SBY yang ditolak datang ke Kongres HMI oleh sebagian kader – bahkan diancam akan dilempari dengan sandal – nyatanya ada Anas Urbaningrum, seorang kader HMI yang saat itu menjadi petinggi di Partai Demokrat – partainya SBY.

Hal ini menarik karena memperlihatkan bahwa HMI selalu berada di balik penguasa. Posisi politik tersebut memang strategis dan menjadi salah satu bagian dari upaya HMI untuk mempertahankan eksistensinya, walaupun di sisi lain juga melahirkan kritik. Pada titik tertentu, hubungan yang dibangun cenderung saling menguntungkan dan akan mendatangkan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Lalu, apa benar HMI yang memanfaatkan Jokowi? Atau Jokowi yang memanfaatkan HMI? Menarik untuk ditunggu, bagaimana hubungan saling mendukung antara Jokowi dan HMI berdampak pada kontestasi politik di 2019 nanti. (L15)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Narkoba, Bertemu Lawan Baru!

Indonesia dianggap sebagai surga bagi peredaran narkoba internasional. Adanya permintaan yang tinggi, harga yang kompetitif dan hukum yang bisa dibeli menjadi alasan mengapa gembong...

IMF Rindu Indonesia?

Structural Adjusment Program (SAP) yang ditawarkan International Monetary Fund (IMF) kepada Soeharto pada 1997, dinilai memperburuk perekonomian Indonesia. Kedatangan Direktur IMF Christine Lagarde ke...

Novel, Berakhir Seperti Munir?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam mengusut tuntas kasus Novel Baswedan. Beberapa pihak meragukan bahwa pembentukan TGPF...