Pasca pemerintah Tiongkok menerbitkan aturan pembatasan investasi, proyek-proyek properti di beberapa negara terancam menjadi ghost town atau kota hantu. Benarkah proyek reklamasi Teluk Jakarta salah satunya?
PinterPolitik.com
“We send missionaries to China so the Chinese can get to heaven, but we won’t let them into our country.”
– Pearl S. Buck (1892-1973), novelis –
[dropcap]S[/dropcap]ektor properti adalah salah satu yang paling merasakan dampak kebijakan pembatasan investasi luar negeri Tiongkok, mengingat sektor inilah yang masuk dalam kategori investasi yang dibatasi.
Negara-negara yang mendapat investasi properti dari perusahaan-perusahaan swasta Tiongkok, memang harus siap-siap merasakan dampak dari kebijakan ini – apalagi jika target konsumen di sektor tersebut adalah warga Tiongkok.
Australia misalnya, sudah merasakan dampak yang cukup besar mengingat Tiongkok menguasai 38 persen dari total investasi properti di Negeri Kanguru tersebut. Pembatasan ini juga berpeluang membuat proyek yang sudah dikerjakan menjadi terbengkalai dan merugi. Apalagi Australia masuk dalam 10 besar negara tujuan investasi properti warga Tiongkok, dan boleh jadi banyak dari properti tersebut ditujukan untuk dibeli oleh warga Tiongkok.
Hal yang sama juga diprediksi terjadi di Malaysia. Proyek Forest City yang merupakan investasi hunian milik Country Garden Group Tiongkok ini, dikabarkan telah terdampak oleh aturan pembatasan investasi luar negeri Pemerintah Tirai Bambu. Padahal proyek ini cukup besar, karena hunian tersebut dibangun di atas lahan reklamasi laut di perbatasan Malaysia dan Singapura dengan kapasitas 700.000 jiwa. Apalagi proyek ini dikabarkan memang ditujukan untuk dibeli oleh warga negara Tiongkok.
Awalnya, proyek ini memang menarik perhatian banyak orang, terutama lokasinya yang dekat dengan Singapura. Namun kini, Forest City diperkirakan hanya akan menjadi ghost town – sebutan untuk kota yang sepi dan tidak dihuni – dan diberi label China’s ghost town karena merupakan hasil investasi Tiongkok.
Apalagi, hunian di kota baru ini harganya cukup tinggi yaitu mencapai US$ 180 ribu per unit atau sekitar Rp 2,4 miliar. Tak heran bila pembangunan kota hunian yang investasinya mencapai US$ 100 miliar ini, hanya dapat dibeli oleh kalangan masyarakat kelas atas. Dengan harga setinggi itu, masyarakat Malaysia sendiri sepertinya belum tentu mampu.
Menariknya, proyek reklamasi lahan serupa Forest City juga ada di Indonesia, yakni di pulau reklamasi Teluk Jakarta yang disinyalir juga melibatkan perusahaan Tiongkok. Selain itu, ada banyak proyek properti lain yang melibatkan perusahaan asal Tiongkok di Indonesia, mulai dari Country Garden Group, Hong Kong Land, hingga Phoenix Property dan King Land. (Baca: Properti Indonesia Dijajah Tiongkok?)
Tentu publik bertanya-tanya, akankah proyek-proyek yang dikerjakan tersebut bernasib sama? Apalagi, proyek-proyek ini, termasuk reklamasi Teluk Jakarta, juga disebut-sebut punya keterkaitan dengan investasi Tiongkok, serta dipasarkan hingga ke negeri tersebut. Akankah ada kota hantu Tiongkok di Indonesia?
Kota Hantu Tiongkok di Indonesia?
Jika ditelusuri lebih dalam, kebijakan pemerintah Tiongkok mengeluarkan aturan pembatasan investasi memang bertujuan untuk mencegah dampak ekonomi akibat aliran uang dalam jumlah besar yang keluar dari negara tersebut. Apalagi, kebanyakan dana bersumber dari bank-bank dalam negeri dan berpotensi menimbulkan dampak bagi ekonomi Tiongkok secara keseluruhan jika ada persoalan dengan proyek-proyek yang diinvestasikan.
Dalam aturan tersebut, investasi dibagi dalam tiga kategori, yakni yang dibatasi, yang dilarang dan yang dianjurkan. Sektor properti masuk dalam kategori investasi yang dibatasi, sementara sektor yang dianjurkan adalah yang berhubungan dengan kepentingan Tiongkok dalam proyek One Belt One Road (OBOR).
Aturan ini jelas berpotensi mengganggu prospek pertumbuhan sektor properti di beberapa negara yang telah lebih dulu mendapatkan suntikan investasi dari perusahaan-perusahaan Tiongkok. Beberapa bahkan telah diperjualbelikan kepada warga negara Tiongkok – mengingat beberapa proyek justru menyasar warga Tiongkok sebagai target konsumen.
Faktanya, terdapat beberapa perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di sektor properti Indonesia, termasuk juga Country Garden Group – pengembang yang juga mengerjakan Forest City di Malaysia. Di Indonesia, grup tersebut mengerjakan Indonesia-Shenzen Industrial Park – yang oleh beberapa pihak disinyalir sebagai proyek Meikarta. Beberapa perusahaan lain juga mengerjakan proyek-proyek properti di kota-kota pinggiran Jakarta.
Bagaimana dengan reklamasi Teluk Jakarta? Pada 2014 lalu sempat beredar kabar ada perusahaan Tiongkok yang tertarik untuk ikut serta berinvestasi dalam proyek reklamasi ini. Perusahaan konstruksi bernama Fuhai Group disebut tertarik menginvestasikan dananya dalam skema business to business dengan pemerintah DKI Jakarta sekaligus ikut menyediakan modal pembangunan.
Ada juga selentingan yang menyebut beberapa perusahaan asal Tiongkok lainnya juga ikut terlibat dalam proyek tersebut, melalui kerjasama business to business dengan pengembang lokal dalam proyek reklamasi itu. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan memang membantah terkait adanya kepentingan Tiongkok dalam proyek reklamasi ini.
Namun, jika melihat pemberitaan tentang iklan salah satu pengembang reklamasi yang nyatanya telah dipublikasikan di Tiongkok, jelas menunjukkan bahwa proyek ini juga menyasar konsumen warga Tiongkok – sama seperti yang terjadi pada Forest City di Malaysia.
Apalagi harga hunian modernnya pun kemungkinan besar akan sulit dijangkau oleh masyarakat lokal. Jadi sangat jelas bahwa target konsumen reklamasi di Teluk Jakarta memang bukanlah warga bantaran sungai, penghuni rumah susun, atau bahkan kaum milenial berpendapatan pas-pasan. Tetapi masyarakat kelas atas dan – sangat mungkin – warga Tiongkok yang mencari hunian di luar negeri.
Yang jelas, jika reklamasi teluk Jakarta melibatkan perusahaan-perusahaan Tiongkok dan konsumen yang ditargetkan memang bagi warga Tiongkok, sangat mungkin proyek ini juga terdampak pada kebijakan pembatasan investasi yang dikeluarkan pemerintah negeri Panda itu.
Apalagi, sebagian pulau reklamasi dikabarkan sudah dibangun gedung dan berbagai infrastruktur penunjang lain di atasnya, yang artinya jika tidak dibeli oleh konsumen yang dituju, maka lahirlah ghost town Tiongkok di Indonesia.
Kebijakan pembatasan investasi oleh pemerintah Tiongkok, memang akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan yang telah banyak berinvestasi di luar negeri – begitu juga dengan warga negaranya yang telah membeli properti di luar negeri.
Pihak yang juga ikut merugi, tentu juga negara tempat investasi tersebut ditujukan. Australia, Malaysia, dan Indonesia bisa dipastikan akan terdampak oleh kebijakan ini. Proyek-proyek yang sudah dikerjakan akan berpotensi menjadi ghost town baru, terutama untuk proyek-proyek yang menyasar konsumen dari Tiongkok.
Pesona Investasi “Kota Hantu” Tiongkok
Jika demikian, mengapa investasi Tiongkok menarik? Dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia, Menteri Luhut mengatakan bahwa investasi Tiongkok menguntungkan karena “duitnya murah”. Istilah ini dipakai Luhut untuk menyebut rendahnya bunga pinjaman dari negara tersebut yang hanya berkisar antara 2-4 persen saja.
Artinya, secara bisnis, investasi dari Tiongkok sangat menguntungkan, terutama bagi Indonesia. Selain itu, aturan investasinya juga memudahkan Indonesia, terutama dalam hal pembayaran pinjaman. Dengan demikian, pembatasan investasi sektor properti yang dilakukan oleh Tiongkok memang akan berdampak pada proyek-proyek perusahaan asal negara tersebut di Indonesia.
Indonesia memang tidak masuk dalam 10 besar tujuan investasi properti Tiongkok. Namun, belakangan pemerintah sedang menggenjot hubungan kerja sama dengan negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Xi Jin Ping itu.
Persoalan ini juga akan berpeluang diubah menjadi isu politis, jika tidak menemukan muara yang tepat. Apalagi, di tengah sentimen politik berbalut SARA dan anti-Tiongkok, ghost city Tiongkok akan menjadi serangan politik bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika aturan pembatasan investasi tersebut benar-benar berdampak bagi sektor properti Indonesia, maka reklamasi dan ghost town Tiongkok akan menjadi serangan politis yang manjur di tahun politik 2018 dan 2019 ini.
Proyek Forest City Malaysia akan menjadi tolok ukur apakah ghost town Tiongkok akan benar-benar terjadi. Sebab keberadaannya merupakan penanda adanya invasi properti Tiongkok di banyak negara melalui berbagai kerjasama. Apabila baik dugaan adanya tangan perusahaan swasta Tiongkok di Meikarta maupun Pulau Reklamasi Teluk Jakarta, maka jangan heran jika dalam 5 hingga 10 tahun mendatang akan ada juga ghost city di Indonesia. (S13)