Menyambut gelaran Pilkada Serentak tahun ini, Gerindra, PKS, dan PAN telah sepakat untuk berkoalisi di beberapa provinsi. Bahkan kabarnya, koalisi tiga partai ini juga akan terus bersama hingga Pemilihan Presiden kelak. Mungkinkah ketiganya menang?
PinterPolitik.com
“Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari.” ~ Najwa Shihab
[dropcap]M[/dropcap]emasuki tahun 2018, suasana perpolitikan Indonesia kembali semarak menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang akan digelar Juni mendatang. Beberapa partai politik (parpol) bahkan sudah siap dengan calonnya dari tahun lalu, namun ada juga yang masih sibuk pilah-pilih dan bongkar pasang.
Beberapa parpol bahkan sudah mulai terlihat kecenderungannya untuk berkoalisi, selain Partai Demokrat, NasDem, dan Golkar yang kelihatan sering bersama, ada juga Gerindra, PKS, dan PAN yang sejak berhasil menang di DKI Jakarta, jadi seperti tiga sekawan yang sulit dipisahkan.
Bahkan kabarnya, bersatunya Gerindra, PKS, dan PAN diharapkan akan tetap langgeng hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kemungkinan ini dinyatakan secara jelas oleh Ketua DPP Partai Gerindra Nizar Zahro, apalagi ketiganya juga pernah mengusung calon presiden yang sama di Pilpres 2014, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Gerindra, PKS, dan, PAN bereuni di 5 daerah pada Pilkada 2018. Akankah koalisi mereka langgeng hingga 2019? pic.twitter.com/UvF0BI8zO0
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) December 28, 2017
Begitu juga dengan Presiden PKS Sohibul Iman yang mengakui kalau partainya dengan Gerindra memiliki visi yang sama, dan keinginan untuk mengusung calon presiden yang sama. Lalu bagaimana dengan PAN? Bila dilihat dari sepak terjangnya saat ini, tentu pendiri PAN Amien Rais akan mendukung sepenuhnya koalisi ini.
Beberapa parpol yang memutuskan untuk berkoalisi, sebenarnya merupakan tindakan wajar dan biasa saja. Namun belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, bersatunya Gerindra, PKS, dan PAN hingga 2019, menimbulkan kemungkinan yang menarik. Mungkinkah prediksi yang menyatakan kalau pada Pilpres mendatang, mereka akan memanfaatkan politik agama dan identitas untuk menjungkal Jokowi benar adanya?
Menakar Kekuatan Tiga Partai
“Suara pemilih bagaikan senapan; Kegunaannya bergantung dari karakter penggunanya.” ~ Theodore Roosevelt
Membicarakan Pilpres 2019 mungkin memang masih terlalu dini saat ini, sebab hasil Pilkada 2018 nanti juga pasti akan mempengaruhi posisi dari berbagai parpol. Namun bila menakar dari koalisi tiga partai di atas, peluang Prabowo Subianto untuk melenggang sebagai salah satu calon presiden telah terbuka lebar.
Berbeda dengan Pilpres 2014 di mana Prabowo diusung tujuh partai. Pada 2019, ia tidak membutuhkan koalisi segemuk itu. Karena dengan koalisi tiga partai ini pun, ia sudah mampu mengantungi 26,19 persen suara DPR. Posisinya pun menguntungkan, karena Gerindra merupakan penyumbang suara terbesar, yaitu 11,8 persen. Posisi dominan ini, membuat Gerindra memiliki kuasa untuk membuat keputusan.
Dari segi elektabilitas parpol pun, Gerindra dapat dibilang yang terbesar dari dua parpol lainnya. Beberapa survei memperlihatkan, Gerindra mampu duduk sebagai parpol di posisi tiga besar setelah PDI Perjuangan dan Golkar. Bahkan ada juga survei yang memperlihatkan Gerindra sebagai partai yang tertinggi keterpilihannya.
Walaupun sejauh ini PKS dan PAN kerap terlihat sebagai partai ‘pengekor’ Gerindra, namun dari segi pemilih, PKS memiliki basis massa yang terkenal sangat loyal. Bahkan lembaga riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) menemukan kalau PKS memiliki basis massa yang paling sedikit swing voters-nya, yaitu hanya 20 persen saja.
Berbeda dengan Gerindra yang menurut SMRC, paling tinggi pendukung tidak loyalnya yaitu mencapai 45 persen. Lalu bagaimana dengan PAN? Hingga saat ini, elektabilitas partai pimpinan Zulkifli Hasan ini memang lebih baik posisinya dari PKS, namun sikap PAN yang kerap mendua kemungkinan bisa menjadi ‘duri’ dari koalisi ini nantinya.
Walau dari berbagai komentar Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais, terlihat akan seratus persen berpihak pada kubu Prabowo, namun belum tentu terjadi bila sang ketua umum berkata sebaliknya. Padahal, posisi suara PAN dalam koalisi ini cukup menentukan karena tanpa PAN, Gerindra dan PKS hanya punya 18,6 persen suara saja.
Propaganda Hitam Sebagai Senjata?
“Setiap koalisi, terutama di mana satu partai lebih kuat dari yang lainnya, pasti ada yang mendominasi sumber dananya.” ~ Peter Hook, musisi AS
Pilkada DKI Jakarta, bagi Gerindra maupun PKS merupakan kesuksesan besar yang formulanya mampu menjungkirbalikkan suara masyarakat. Apalagi sebagai partai berbasis Islam garis keras, PKS mampu memobilisasi massa dan mengusung isu agama. Kedekatan partai ini dengan beberapa organisasi Islam, juga merupakan keuntungan lainnya yang diyakini masih ampuh digunakan.
Pada Pemilihan Gubernur di Jawa Barat nanti, di mana Gerindra dan PKS berkoalisi mengusung kandidat yang kurang tenar, isu-isu keagamaan maupun kebencian juga ditakutkan akan dijadikan sebagai strategi. Hal ini dikatakan oleh pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Muradi, terkait diusungnya Mayjen (Purn) Sudrajat oleh Gerindra dan PKS.
Bahkan di Pilkada Jawa Timur, Calon Wakil Gubernur dari PDI Perjuangan, Azwar Anas, telah lebih dulu diterjang propaganda hitam melalui foto-foto syur yang disebarkan melalui media sosial. Walau belum diketahui pihak mana yang menyebarkan, namun sudah dipastikan foto tersebut sengaja disebar untuk menjatuhkan suara calon pasangan Gus Ipul tersebut.
Foto Syur Azwar Anas, PDIP: Ada yang Pakai Politik Hitam https://t.co/m1qCFp8zcV pic.twitter.com/FeYeWIcHlT
— Toto Sudarmongi (@totosudarmongi) January 7, 2018
Penggunaan isu agama dan umat pada gelaran Pilpres tahun depan, juga diprediksikan oleh Peneliti SMRC Sirojuddin Abbas, Pengamat Politik dari Voxpol Pangi Syarwi Chaniago, bahkan Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BaIS) TNI Laksamana Madya (Purn) Soleman Ponto. Ketiganya meyakini, masyarakat akan kembali dihadapkan dengan isu agama dan moralitas yang bisa saja menjungkal posisi Jokowi.
Berbagai terjangan isu yang selama ini menerpa Jokowi, diperkirakan merupakan benih yang dipupuk untuk mengurangi elektabilitas Jokowi di mata masyarakat. Apalagi berdasarkan survei yang dilakukan PolMark, pendukung loyal Jokowi belum mencapai 50 persen. Sehingga kemungkinan untuk menyusul kepopulerannya masih sangat besar.
PolMark juga menemukan kalau banyak masyarakat yang masih belum menentukan pilihannya hingga kini, jumlahnya pun lumayan besar yaitu 35,7 persen. Sementara angka swing voters atau massa mengambang juga termasuk tinggi, yaitu 33,3 persen. Jumlah yang cukup signifikan ini, memperlihatkan kalau suara Pilpres 2019 masih sangat cair.
Kondisi inilah yang mungkin dilihat oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon, sehingga ia begitu optimistis kalau Gerindra mampu memenangkan Prabowo nantinya. Adanya suara mengambang yang jumlahnya lebih dari 30 persen ini, tentu akan sangat dipengaruhi oleh berbagai isu yang berkembang nantinya.
Bila berkaca pada strategi yang kerap dilakukan Gerindra dan PKS sebelumnya, yaitu Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017, sepertinya pola yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Pilpres AS 2016 lalu. Kala itu, suara Hillary Clinton dari Partai Demokrat yang sempat mengungguli calon dari Partai Republik, Donald Trump, langsung jatuh telak akibat isu SARA dan berita bohong yang disebar di media sosial.
Kesamaan pola ini, juga sempat diungkap oleh Gunawan Muhammad yang mengatakan Prabowo sempat menggunakan jasa konsultan politik, Rob Allyn. Pria asal AS yang pernah membantu George W. Bush menggulung John McCain di Texas dan Vincente Fox menjadi Presiden Meksiko pada tahun 2000 ini, kabarnya dikenal kerap memanfaatkan kampanye hitam dalam memenangkan para kliennya.
Walau kabar pemanfaatan kampanye hitam ini telah dibantah oleh Allyn, namun kemiripan pola yang digunakannya membuat tudingan tersebut diyakini banyak pihak. Hanya saja, pada 2014, Gerindra belum mendapat dukungan besar dari massa PKS, sehingga isu yang diedarkan tidak terlalu berdampak besar layaknya di Pilkada DKI.
Lalu bagaimana dengan 2019 nanti, apakah Jokowi juga akan kembali digoyang dengan permainan isu agama? Apakah pola yang sama juga akan digelar seperti di Pilkada DKI, dengan memanfaatkan massa loyalis PKS untuk kembali turun ke jalan? Semua tentu tergantung dari konsultan yang akan digunakan kelak. Tapi kalau konsultan dari AS saja gagal, apakah mungkin Gerindra akan mengundang konsultan politik Putin dari Rusia? (R24)