“Kalau KPK datang ke sini dalam rangka memeriksa, itu saya yakinkan organisasi TNI menjadi tidak terhormat. Kita harus menjaga kehormatan itu, jangan sampai KPK masuk.” ~ Jenderal (Purn) Moeldoko
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]antan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna menolak memberikan keterangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101. Hal ini ia lakukan karena saat itu masih berstatus prajurit, sehingga keterangannya terkait dengan rahasia militer.
Rahasia militer kerapkali menjadi ganjalan bagi pengungkapan kasus korupsi di dalam korps angkatan bersenjata. Proses pemberantasan korupsi di lingkaran TNI seringkali tersendat, karena berbenturan dengan sumpah prajurit yang harus menjaga rahasia dan mematuhi atasan.
Selain terkait dengan kerahasiaan, penuntasan kasus juga kerapkali mengalami kesulitan karena faktor regulasi. Kasus kriminal termasuk korupsi militer, umumnya harus diselesaikan di internal TNI melalui pengadilan militer. Hal ini membuat KPK atau kejaksaan agung tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus rasuah di lingkungan TNI.
Padahal, lingkungan TNI bukanlah lingkungan yang suci dari korupsi. Ada beberapa kasus korupsi yang menyeret perwira TNI dengan kerugian tidak sedikit. Berdasarkan indeks, risiko korupsi di lingkungan militer Indonesia pun cukup tinggi.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Ia pernah menyebut bahwa ia mendukung komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Jika ia berkomitmen penuh, maka ada ujian besar dalam memberantas rasuah di institusi yang ia pimpin.
Korupsi dan Rahasia Militer
Isu dugaan korupsi yang menyeret perwira di lingkaran angkatan bersenjata kerapkali berhembus. Akan tetapi isu tersebut amat jarang yang terungkap. Alih-alih berujung di meja hijau, kasus ini kerapkali menguap begitu saja.
Pengungkapan kasus korupsi di tubuh militer memang kerap terbentur alasan menjaga rahasia militer. Hal ini terutama jika menyangkut dengan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista). Pembelian alat tempur utama ini memang dirahasiakan jumlah dan jenisnya di setiap tahun.
Kondisi ini rentan menimbulkan praktik korupsi. Minimnya pengawasan dan transparansi proses pengadaaan alutsista dapat menimbulkan celah bagi pejabat yang bertugas melakukan pengadaan. Pengawasan yang kurang kuat dapat membuat anggota TNI terlalu leluasa bermain dalam pengadaan barang dan jasa.
Korupsi dalam pengadaan alutsista pernah terjadi misalnya dalam kasus Brigjen Teddy Hernayadi. Ia terbukti menilap uang pada proses pembelian alutsista yang terdiri dari pesawat F-16 hingga Apache. Kerugian negara akibat kasus tersebut ditaksir mencapai USD 12,4 juta.
Adanya kasus tersebut membuat publik bertanya-tanya. Ada kemungkinan bahwa praktik korupsi tidak hanya berlaku pada kasus Teddy saja. Meskipun demikian, rahasia militer yang begitu ketat membuat akses publik pada kemungkinan kasus tersebut menjadi minim.
Secara spesifik, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko pernah mengungkapkan bahwa kasus pengadaan senjata adalah kasus yang tidak dapat dibuka ke publik. Ia bahkan menyebut jika KPK sampai mendatangi TNI, maka hal itu berarti telah menjadikan TNI sebagai organisasi yang tidak terhormat.
Pasca Vonis Seumur Hidup Brigjen Teddy, Proyek Alutista Harus Terbuka https://t.co/nMPobY9vvH pic.twitter.com/7dRNfSgRDh
— detikcom (@detikcom) December 5, 2016
Di luar itu, proses hukum di lingkungan militer memang masih merupakan misteri bagi masyarakat. Kerapkali ada resistensi dari internal militer untuk mengungkan suatu kasus yang menjerat anggota TNI. Kasus seperti korupsi seringkali dirahasiakan dari masyarakat.
Menurut YLBHI, kondisi ini menunjukkan bahwa TNI masih menggunakan perspektif lama seperti di era Orde Baru. Dalam hal ini, TNI masih tidak ingin menunjukkan adanya kelemahan di dalam institusinya. Institusi militer masih tidak ingin terlihat melakukan kesalahan di depan publik. Inilah yang menyebabkan kasus-kasus hukum seperti korupsi militer kerap ditututpi.
Korupsi Militer dan Sistem Peradilan
Secara hukum, proses penanganan korupsi di dalam tubuh militer memang berbeda dengan kasus korupsi yang membelit kalangan sipil. Ada berbagai peraturan perundang-undangan yang membuat pengungkapan kasus korupsi militer terhambat.
Salah satu aturan tersebut adalah UU Peradilan Militer. Revisi UU ini belum juga selesai dilakukan sehingga menghambat lembaga seperti KPK untuk menyelesaikan kasus korupsi di lingkungan angkatan bersenjata.
Hari ini(26/5) KPK lakukan koordinasi lanjutan dg Panglima TNI,Kepala Staf AU, POM TNI dan jajarannya. pic.twitter.com/FaKp6vNEZs
— KPK (@KPK_RI) May 26, 2017
Peradilan militer ini kerapkali berjalan tertutup dan tidak banyak diketahui publik. Proses hukum yang terjadi bagi kasus yang menjerat prajurit seringkali berjalan seolah tiba-tiba dan minim transparansi. Mulai dari penetapan tersangka hingga penjatuhan vonis kerapkali sulit diketahui oleh publik.
Terdapat pula perdebatan mengenai sistem peradilan yang seharusnya digunakan untuk mengadili korupsi di tubuh militer. Terdapat UU Peradilan Militer dan juga UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keduanya adalah hukum bersifat spesialis atau khusus. UU Peradilan Militer dikhususkan untuk mengadili pidana yang dilakukan prajurit. Sementara itu UU Pengadilan Tipikor dikhususkan untuk mengadili tindak pidana korupsi.
Banyak yang menganggap idealnya korupsi militer tetap diadili melalui pengadilan tipikor. Hal ini dikarenakan adanya asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Akan tetapi, KPK atau penegak hukum lain seringkali inferior dihadapan militer.
Pada kasus korupsi Bakamla misalnya, KPK buru-buru melimpahkan kasus yang membelit Laksma Bambang Udoyo ke Puspom TNI. Padahal, bisa saja KPK mengambil alih kasus ini jika menilik asas di atas.
Salah satu jalur agar KPK dapat mengusut kasus korupsi militer adalah unsur kerugian yang diderita. Jika kerugian negara yang ditimbulkan lebih banyak merugikan sipil dibanding militer, maka KPK dapat masuk untuk ikut melakukan penyelidikan. Sistem ini disebut dengan sistem koneksitas.
Kalau ada Angg dewan korupsi apa semua angg dewan koruptor?
Kalau ada pns bolos apa semua pns tukang bolos?Spt jg TNI, makanya ada oknum?? https://t.co/mGaAHPVbrh
— TNI Angkatan Udara (@_TNIAU) March 19, 2017
Meski terbuka jalan bagi KPK mengusut kasus korupsi militer, kenyataannya tidak semudah itu. Sistem ini menghendaki adanya kolaborasi antara penegak hukum sipil dengan militer. Dalam kondisi ini, sipil kerapkali lebih inferior dibanding militer. Proses penegakan hukum kemudian berjalan tidak efektif.
Pada sistem koneksitas ini, pihak luar yang ikut mengusut kasus korupsi di tubuh TNI seringkali memiliki peran yang minimal. Pihak luar seperti KPK umumnya hanya berperan melakukan koordinasi saja. Pihak luar tidak dapat secara langsung terlibat pada proses investigasi yang lebih besar.
Loyalitas Tanpa Batas
Tantangan pengungkapan kasus korupsi militer juga berkaitan dengan loyalitas prajurit pada atasannya. Ada indikasi bahwa korupsi yang terjadi di lingkungan militer terjadi secara sistematis. Hal ini berarti jika terjadi korupsi di lingkungan TNI maka akan melibatkan perwira hingga ke jajaran bintang para jenderal.
Bagi prajurit-prajurit di level lebih rendah, mereka harus menunjukkan loyalitas mati kepada atasan-atasan mereka. Kepatuhan pada instruksi atasan adalah hal yang tertanam jauh sejak pendidikan. Hal ini membuat kasus korupsi sulit terungkap.
Prajurit di tingkat bawah cenderung akan bungkam jika harus mengungkap kasus korupsi. Hal ini dikarenakan atasannya kemungkinan akan terlibat. Sang prajurit akan berusaha untuk menjaga marwah dari atasan dan korps tempat ia bernaung. Ada anggapan bahwa jika ia buka suara sama dengan berkhianat pada korps.
Perkembangan Kasus Korupsi Pengadaan Helikopter AW 101..cekidot..???? pic.twitter.com/l81mksKRQM
— Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) November 23, 2017
Keterlibatan petinggi level jenderal hingga level lebih rendah nampak misalnya pada kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101. Pada kasus ini terungkap bahwa terdapat petinggi Angkatan Udara penyandang pangkat bintang dua dan bintang satu yang terlibat kasus korupsi.
Pada kasus tersebut, terungkap bahwa Asrena KSAU Marsda Supriyanto Basuki berperan untuk mempengaruhi pejabat di bawahnya untuk tetap melaksanakan pengadaan tersebut. Di bawahnya ada Marsma Fachri Adamy yang berperan sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK), Kolonel FTS sebagai Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU, Letkol WW sebagai pemegang kas, dan Pelda SS sebagai pengirim uang.
Terlihat pula pada kasus ini tidak hanya di jajaran bawah dan menengah saja praktik rasuah dilakukan. Dari tingkat bintara hingga perwira tinggi di level jenderal pun semua memiliki peran masing-masing. Dapat dikatakan korupsi dilakukan dengan suatu sistematika yang melibatkan banyak pihak.
Jika kasus korupsi militer ingin terungkap secara terang benderang, maka komitmen dari level tertinggi adalah yang mutlak. Dalam hal ini, Panglima TNI idealnya tidak melepaskan janjinya dalam mengusung visi anti-rasuah di jajarannya.
Sulit untuk mengungkap kasus korupsi besar yang melibatkan jenderal jika Panglima TNI abai dengan komitmen pemberantasan korupsi. Jenderal adalah orang dengan kekuasaan besar dengan akses ke kekuasaan lain yang besar pula. Hanya pemegang kuasa tertinggi yaitu Panglima TNI yang dapat memberi lampu hijau bagi penuntasan kasus korupsi di angkatan bersenjata.
Jika Hadi berani mengungkap kasus Brigjen Teddy semasa menjabat Irjen Kemenhan, maka seharusnya, ia juga berani mengungkap dan menyelesaikan kasus korupsi lain. Hanya dengan komitmennya-lah persoalan korupsi di kalangan militer dapat perlahan teratasi. (H33)