Di awal pemerintahan, Jokowi kerap berkata tak boleh ada menterinya yang rangkap jabatan. Tapi mengapa sekarang sulit sekali ia melepaskan Airlangga?
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]ika keadaan politik negeri adalah panggung sandiwara, Fadli Zon barangkali sudah kebagian peran sebagai antagonis sejak awal. Bagaimana tidak? beragam komentar tajam kerap ditujukannya kepada Presiden Jokowi. Kini, menghadapi gonjang-ganjing rangkap jabatan yang dilakukan Airlangga, Fadli mengingatkan Presiden supaya tidak menjilat ludah sendiri.
Fadli tentu tak asal bicara ketika mengeluarkan pernyataan demikian. Di awal pemerintahannya, Jokowi memang sempat gembar-gembor melarang adanya rangkap jabatan para menteri yang kerap terjadi di pemerintahan sebelumnya. Pernyataan itu sengaja dipakainya guna memberi garis perbedaan antara pemerintahan dirinya dengan yang sebelumnya.
Namun kini, setelah Airlangga resmi menjadi Ketua Umum (Ketum) Golkar dan masih menjabat sebagai Menteri Perindustrian (Menperin), Jokowi tak juga kelihatan mengambil ancang-ancang untuk mencopot Airlangga. Malah, Jokowi mengeluarkan pernyataan jika Airlangga hingga saat ini masih menjadi menteri. Padahal, kalau mau konsisten, seharusnya Jokowi sudah mencopot putra Ir. Hartarto tersebut.
Dari sikap Jokowi tersebut, mau tak mau, pernyataan Fadli Zon yang tajam jadi terasa wajar. Sebab, sang Presiden kelihatannya akan terus mempertahankan Ketum baru Golakr itu di Menperin. Memangnya apa yang membuat Jokowi sulit melepaskan Airlangga di Kementerian Perindustrian?
Mereka yang Mundur dan Bertahan
Ketika membahas rangkap jabatan, tentu saja yang pernah melakukannya tak cuma Airlangga. Sebelumnya, tanpa banyak diketahui massa, Jokowi sangat ‘gemar’ menaruh Luhut Panjaitan di beberapa posisi kementerian. Ketika Luhut menjabat sebagai Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), ia juga menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP).
Setelah disapu Reshufle jilid I, posisi Luhut di Menko Polhukam digeser oleh Wiranto yang saat itu masih menjabat sebagai Ketum Partai Hanura. Ia akhirnya berpindah ke Kementerian Kemaritiman, sementara KSP ditempati Teten Masduki dan Wiranto mengundurkan diri sebagai Ketum Hanura.
Sementara pada pemerintahan SBY, menteri cum pengusaha Chairul Tanjung (CT), juga punya rangkap jabatan. Awalnya CT hanya menjadi Pelaksana Tugas (Plt) dari Kementerian ESDM, sebab Jero Wacik tersangkut kasus korupsi. Namun, detik-detik memasuki pemerintahan Jokowi – JK di tahun 2014, CT harus merangkap sampai lima kementerian sekaligus selama 20 hari. Kementerian itu antara lain, Kementerian Usaha Kecil dan Koperasi, ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Daerah Tertinggal.
Tindakan rangkap jabatan, juga kerap dilakukan oleh para ketua umum partai politik. Sebut saja mantan Presiden SBY dan Megawati, keduanya juga pernah merangkap jabatan. SBY misalnya, saat masih menjabat sebagai presiden, ia terpilih menjadi Ketua Umum Demokrat dari 2013 hingga akhir jabatan sebagai presiden pada 2014. Begitu juga Megawati selama menjabat menjadi presiden di tahun 2001 – 2003.
Tindakan rangkap jabatan ini, tak hanya terjadi pada para menteri atau pejabat negara saja, karena juga kerap dilakukan di perusahaan-perusahaan BUMN. KPK dan Ombusdman menemukan setidaknya ada 222 pejabat negeri di BUMN yang duduk pula di kementerian. Beberapa dari mereka bahkan terbukti melakukan korupsi. Ini adalah aksi rangkap jabatan besar-besaran nan tertutup di masa pemerintahan Jokowi.
Seharusnya, Airlangga menyisihkan waktu sekejap untuk mencontoh langkah Wiranto, Puan Maharani, dan Tjahjo Kumolo. Mereka semua ‘tahu diri’ karena langsung mengundurkan diri saat ditunjuk untuk mengisi kementerian. Wiranto, misalnya, langsung mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Hanura saat resmi ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Polhukam menggantikan Luhut Panjaitan.
Sementara Puan dan Tjahjo yang aktif di keanggotaan PDI Perjuangan, menyatakan ketidakaktifannya setelah masing-masing ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI serta Menteri Dalam Negeri. Padahal, awalnya Puan menjabat sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan, sementara Tjahjo merupakan Sekretaris Jenderal DPP PDIP.
Tak hanya Puan dan Tjahjo, politikus PDI Perjuangan lain yang turut mengundurkan diri adalah Yasonna Laoly (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (Menteri Koperasi dan UKM).
Berbondong-bondongnya politisi PDI Perjuangan yang melepaskan kepengurusan partai setelah ditunjuk mengisi kursi di kementerian, memang diakibatkan visinya untuk meniadakan adanya rangkap jabatan menteri. Nah, bagaimana kalau sekarang?
Jokowi Tak Bisa Lepaskan Airlangga?
Kalau menengok pernyataan lembaga survey SMRC, Jokowi sepertinya sulit untuk melepas Airlangga. Apa pasal? Menurut Sirojudin Abbas selaku direktur SMRC, mempertahankan Airlangga adalah senjata Jokowi untuk mengamankan dukungan Golkar pada Pilpres 2019 sekaligus mengurangi ketergantungannya pada PDI Perjuangan.
Di sisi lain, Golkar juga perlu menjaga hubungan baik dengan presiden. “Dukungan terhadap elite-elite Golkar ke Airlangga dimungkinkan, salah satunya karena dia bisa menjadi jembatan Golkar dengan Pemerintah. Meskipun posisinnya (Menperin) bisa diganti kader Golkar lainnya, nilainya tidak akan sama, sebab tradisi politik dan stabilitas internal Golkar dipelihara dengan membangun hubungan baik dengan pemerintah,” jelas Sirojudin.
Terlepas dari analisis apik mengenai lobi-lobi politik antara Jokowi dan Airlangga, ada baiknya pula menengok sejenak ke arah Khofifah. Ia juga ditekan untuk mundur saat mantap ikut berlaga dalam Pilgub Jatim 2018 mendatang. Padahal, Komisioner KPU, Hasyim Asy’ari berkata, sampai saat ini tidak ada peraturan dalam bentuk undang-undang dalam penyelenggaraan pemilu maupun PKPU tentang pengunduran menteri yang maju Pilgub.
Di sisi lain, Khofifah juga masih memiliki proyek pengentasan kemiskinan yang belum rampung, sehingga ia tetap harus melanjutkan jabatannya sampai masa Pilgub Jatim 2018 tiba. Sama halnya dengan Airlangga, posisinya di Menperin juga dipenuhi berbagai proyek dan kebijakan yang masih berjalan hingga saat ini. Waktu berdiri yang hanya tinggal satu setengah tahun lagi, memang lebih bijaksana bila dipakai untuk menyelesaikan program pemerintah di Kemenperin.
Seperti yang sudah jamak diketahui, Pemerintahan Jokowi sangat intens menggerakkan pembangunan infrastruktur. Beberapa hal yang sampai saat ini masih terus berjalan adalah proyek pembangunan insfrastruktur di Kawasan Industri Sel Mangkel, Morowali, Palu, Bantaeng, pembangunan politeknik, dan juga harmonisasi Tarif Bea Masuk Umum Produk Baja Hulu sampai Hilir, hingga industri logam nasional.
Walau masih banyak pekerjaan rumah, namun Airlangga tetap saja masih sangat pantas untuk dikenai UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya pasal 23 huruf a yang mengatur tentang jabatan negara yang berbunyi “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Jika kembali pada UU, tentu Airlangga sudah melanggarnya. Namun, jika Presiden Jokowi belum juga mengambil sinyal akan mencopot dari kursi Kemenperin, tentu tak ada pula yang dapat menggugatnya. Sama halnya saat SBY dan Megawati, serta deretan menteri lainnya yang punya rangkap jabatan.
Jika Reshuffle akan dilakukan dan Airlangga harus turun dari kursi Kemenperin, nilai negosiasi Golkar juga tak akan turun, sebaliknya malah bertambah tinggi. Sosok Airlangga masih dipandang lebih baik dibandingkan Setya Novanto yang banyak dibelit masalah integritas dan hukum. Airlangga jauh lebih otonom.
Jika ramalan SMRC benar adanya, tentu Jokowi tetap harus berhati-hati, walau saat ini popularitas dan elektabilitas dirinya mengungguli politikus manapun untuk maju dalam Pilpres 2019. Keputusan ini bisa menjadi kerikil yang menghambat jalan politiknya maupun tingkat popularitas dan elektabilitas dirinya.
Jika tidak hati-hati, maka Jokowi dan tim harus bersiap tebal telinga menerima tudingan bertubi-tubi seperti yang ditunjukkan oleh sang antagonis ‘kesayangan’ bangsa, Fadli Zon. (Berbagai Sumber/A27