Penolakan dakwah beberapa ustadz di berbagai daerah, apakah bentuk dari kemarahan minoritas yang terpendam?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etelah sempat dihebohkan dengan penolakan dakwah dari Felix Siauw di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, kini penolakan yang sama terjadi pula kepada Ustadz Abdul Somad di Denpasar, Bali. Penolakan ini sama-sama terjadi karena dakwah kedua ustadz yang populer di sosial media tersebut, dianggap beberapa kelompok Anshor, anti NKRI dan Pancasila.
Pada kasus Ustadz Abdul Somad yang baru terjadi Jumat, 8 Desember 2017 lalu, salah satu pihak yang disinyalir memprovokasi pengusiran sang ustadz, adalah anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Bali fraksi PDIP bernama I Gusti Ngurah Aryawidakarna.
Ismar Syafruddin, advokat yang melaporkan ‘penggerudukan’ Ustadz Somad menyatakan jika anggota DPD tersebut mengunggah beberapa postingan di media sosial yang melahirkan kebencian terhadap si pendakwah. Arya Widakarna akhirnya harus menelan pil pahit jeratan hukum UU ITE atas unggahannya. “Ini sangat disayangkan, harusnya sebagai anggota DPD tidak melakukan provokasi. Ini sangat bertentangan dengan pasal 82 UU ITE,” ungkap Ismar.
Penolakan-penolakan terhadap pendakwah yang beraliran ‘keras’ dan fundamentalis, juga terjadi pula pada Ustadz Tengku Zulkarnaen yang juga menduduki jabatan sebagai Sekjen FPI. Saat hendak turun dari pesawat di Pontianak, ia dihadang oleh Ormas yang mengatasnamakan diri sebagai Dewan Adat Dayat Sintang.
Tak berbeda dengan Ustad Somad dan Felix Siauw, penolakan warga Dayak Sintang kepada Tengku Zulkarenaen, juga disebabkan afiliasi sang ustadz dengan FPI. Bahkan mereka menuntut supaya FPI segera dibubarkan karena dianggap menimbulkan perpecahan di NKRI.
Apakah penolakan yang terjadi oleh beberapa ustadz populer medsos ini merupakan bentuk kemarahan minoritas?
Merebaknya Ustadz Medsos
Jika mencari tayangan dakwah atau tausiyah Ustadz Felix Siauw atau Ustadz Somad di televisi, besar kemungkinan kamu tak akan menemukan keduanya di stasiun manapun. Namun jika beralih ke Youtube atau Twitter, tayangan mereka akan sangat banyak dan mudah sekali ditemukan. Bahkan, hanya dengan mengetik namanya saja di mesin pencari Google, video tausiyah dan dakwahnya membanjiri hasil pencarian.
Ustadz Somad dan Felix Siauw adalah contoh dari apa yang dinamakan ‘Ustadz Sosmed’. Walau mereka tak hadir di televisi, namun mereka memiliki penggemar yang tak kalah banyak dari ustadz-ustadz terkenal televisi. Mereka mampu pula menggeser fenomena keagamaan yang sebelumnya sakral, menjadi profan (hedonistik).
Hal ini diamini pula oleh penelitian yang dilakukan Meyer dan Moors dalam bukunya berjudul Religion, Media, and The Public Sphere. Di sana disebutkan kalau ruang publik atau media sosial agama, menjadi bentuk baru dalam proses meditasi, prolierasi di ranah publik, dan mengaburkan beberapa batasan antara hiburan dan agama.
Kedua peneliti tersebut menilai jika para ustadz ini, menggunakan medsos sebagai alat untuk meningkatkan citra dirinya atau yang disebut Meyer dan Moors sebagai proses proliferasi (pembiakan) di ranah publik. Di sinilah, batasan antara sakral dan profan menjadi kabur ketika membahas agama. Medsos berperan mendongkrak popularitas mereka. Bagaimana dengan isi dakwahnya? Itu urusan yang berbeda.
Di medsos para ustadz, baik yang beraliran salafi maupun sunni, saling kritik, sahut, dan tak jarang mempertentangkan ideologi. Nah, ideologi para ustadz yang fundamental bahkan anti NKRI, juga turut tersebar bahkan diamini oleh para pendengarnya.
Netizen atau masyarakat yang akhirnya menjadi terpolarisasi menjadi kelompok pro dan kontra, atau bahkan membentuk komunitas (mirip fans club) dari ustadz tersebut, berakhir mengkultuskan sang ustadz. Menurut Syahirul Amin, lulusan Magister Ilmu Politik UI, di sinilah, kaburnya batasan antara ruang agama dan hiburan, sehingga ustadz yang memberi ceramah haruslah ‘lucu’, jika tidak ceramahnya dianggap kosong dan tak berbobot.
Ceramah yang lucu menjadi kekuatan dari Ustadz Somad. Dalam beberapa rekaman video, sang ustadz berceramah mengenai hukum halal dan haram dari sebuah transaksi bisnis. Ia juga pernah secara terang terangan mendukung khilafah, yang bertentangan dengan NKRI.
Sekilas, memang apa yang disampaikan sang ustad tak berbahaya. Sebab ia bisa menyampaikan nilai kekhalifahan secara meyakinkan dan dibalut humor. Topik yang ‘berbahaya’ itu bisa disampaikan dengan aman, bahkan mendapat tawa dan anggukan pendengarnya. Tanpa sadar, dengan tertawa para pendengarnya ikut meyakini dan membenarkan pemikirannya. Pemikiran yang ‘ekstrim’ ini tentu sangat berbahaya.
Fenomena ustadz medsos ini, juga pernah mendapat perhatian Jendral TNI Gatot Nurmantyo. Jenderal bintang empat ini berkata jika ustadz medsos tak perlu kuliah namun hanya menyadur internet. “Sekarang ini berbahaya, ustadz-ustadz sosmed tidak kuliah, enggak perlu kuliah yang penting buka internet, dengan menyadur ayat Alquran, adinda, kakanda,” ucapnya saat berada di UIN Syarif Hidayatullah.
Mantan KSAD ini juga mengatakan jika para ustadz kurang belajar ilmu agama namun sangat mudah berfatwa. Gatot berkata hal tersebut sangat berpotensi memprovokasi masyarakat. “Ada ulama-ulama online, enggak usah punya ilmu agama. Tinggal punya HP, tinggal buka, masukan ayat,” jelasnya.
Minoritas Tak Terima?
Penolakan-penolakan yang dialami beberapa ustadz di beberapa daerah, memang rata-rata kerap terjadi pada mereka yang mempromosikan nilai ekstremisme. Selain Felix Siaw, Ustadz Somad, dan Tengku Zulkarnaen yang juga petinggi FPI, cenderung memiliki paham ekstremisme dan fundamentalis.
FPI sendiri selain memiliki paham yang ‘ekstrim’, juga pernah terlihat aksi persekusi seorang remaja berusia 15 tahun bernama Putra Mario Alfian, yang sempat heboh pada akhir Juni 2017 lalu. Menurut keterangan yang bersangkutan, sang anak diminta tandatangan surat bermaterai permintaan maaf.
Dalam laporan BBC, disebutkan pula jika kelompok FPI bahkan mengancam sang anak. “Besok lu, temen-temen lu juga lu nasehati…ini udah kejadian di gua, supaya nasibnya gak sama kaya lu. Ini mending lu gak diapa-apain. Di Jakarta Barat udah gak berbentuk, kalau FPI begini, kita pake proseduran, cuma masyarakat yang gak bisa nahan karena kenapa, Habib Rizieq bukan hanya milik FPI, punya umat Islam.”
Aksi FPI ini memancing marah dari masyarakat dan dari sekian aksi, baik penolakan dan perlindungan, GP Anshor yang berafiliasi dengan NU hampir selalu ada berseberangan dengan FPI. Dalam kasus persekusi oleh FPI, GP Anshor mengadvokasi dan menguatkan psikis sang anak yang dikeroyok di tengah malam dan dipukuli. Sementara dalam aksi penolakan dakwah, GP Anshor hampir selalu ada bersama kelompok yang tak merestui dakwah dan kedatangan ustadz ‘ekstrim’ tersebut.
Dalam situs resmi NU, disebutkan jika GP Anshor bukannya membubarkan acara pengajian. Mereka hanya keberatan jika acara tersebut diisi dengan ustadz yang dinilai anti NKRI dan Pancasila. Merunut ustadz-ustadz yang ditolak oleh GP Anshor, memang mereka yang kedapatan mempromosikan anti NKRI dan Pancasila-lah, yang mendapat penolakan.
Penolakan yang datang, terutama dari masyarakat Bali dan Dayak di Pontianak, tak menutup kemungkinan adalah bentuk kemarahan terhadap FPI atau ustadz anti NKRI, Pancasila, dan sektarian. Seperti yang diungkapkan salah satu warga Dayak yang menolak Tengku Zulkarnaen, sebelumnya ulama itu mengungkap jika suku Dayak kafir, tidak pantas masuk surga, dan lebih buruk dari binatang. Tentu saja ini membuat warga Dayak, sebagai minoritas secara suku dan keyakinan, meradang.
Fenomena penolakan ustadz yang terjadi belakangan ini mendapat respon dari Sekretaris Jenderal PPP, Asrul Sani. Dengan latar belakang partai berasas Islam, ia menyatakan jika penolakan seharusnya menjadi momen sang ustadz berevaluasi dan introspeksi, mengapa ada penolakan terhadapnya.
“Misalnya, apakah selama ini penyampaian metode dakwahnya berbasis bil hikmah wal mauidhatil hasanah yakni dengan cara-cara yang bijak dan pelajaran-pelajaran yang baik. Bukan dengan gaya merasa sebagai satu-satunya penafsir kebenaran ajaran Islam, sedang yang tidak sepaham dengannya dihakimi sebaga salah, sesat, bid’ah, dan sebagainya,” jelasnya.
Nah, jika saja para ustadz yang mendapat penolakan itu sempat atau sudi melakukan introspeksi, seperti yang disebutkan Asrul Sani, kemarahan minoritas yang terjadi di beberapa titik di Indonesia tak perlu ada. Lebih jauh lagi, persekusi yang dialami dan dilakukan oleh kelompok yang terpolarisasi, juga tak akan sempat terpikirkan. (Berbagai Sumber/A27)