Perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi, menimbulkan kontroversi. Diduga ada lobi antara Arief dan DPR untuk kasus tertentu.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]etua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat terpilih kembali sebagai hakim konstitusi untuk masa jabatan 2018-2023. Perpanjangan masa jabatan ini, didapat Arief setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI.
Terpilihnya kembali Arief juga menimbulkan kontroversi. Sejumlah pihak mempermasalahkan proses uji kelayakan dan kepatutan, hingga terpilihnya sang hakim. Ada beberapa proses yang dianggap janggal, sehingga mengganggu kelayakannya sebagai hakim konstitusi.
Polemik mengemuka setelah Arief kedapatan bertemu dengan beberapa anggota Komisi III DPR RI, dan diduga tengah melakukan lobi terhadap para anggota dewan dari komisi hukum tersebut. Sorotan tajam khususnya terarah pada langkah Wakil Ketua Komisi III DPR dari PDI-P, Trimedya Pandjaitan. Politisi PDI-P itu dianggap melakukan uji kelayakan secara sepihak.
Melenggangnya Arief kembali ke kursi hakim konstitusi diduga sarat nuansa politik. Disinyalir, ada skenario tertentu yang membuat proses uji kelayakan dan kepatutan Arief dipenuhi kecurigaan. Mungkinkah ada kondisi tertentu sehingga Arief harus tetap di MK?
Uji Kelayakan dan Kepatutan yang Janggal
Proses uji kelayakan dan kepatutan Arief Hidayat di Komisi III diwarnai kontroversi. Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond Mahesa menilai agenda uji kelayakan dan kepatutan tersebut janggal karena dilakukan mendadak.
Kejanggalan tidak hanya karena agendanya yang mendadak, tetapi karena masa jabatan Arief yang masih berlaku. Diketahui bahwa masa jabatan Arief baru akan habis pada April 2018. Ada kesan tergesa-gesa dalam proses perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat ini.
Desmond juga menyebut bahwa Arief gencar melakukan pertemuan dengan anggota-anggota DPR jelang proses ini. Arief disebut melakukan lobi agar terpilih kembali menjadi hakim konstitusi.
Ketua MK tersebut melakukan lobi setelah mengirim surat ke DPR. Surat tersebut berisi permintaan agar proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi segera dilakukan.
Rasa curiga semakin menjadi setelah mengetahui bahwa hanya ada satu calon hakim konstitusi dalam proses uji kelayakan dan kepatutan tersebut. Menurut Desmond, Trimedya membuat keputusan tersebut secara sepihak. Idealnya, untuk mengisi salah satu posisi calon hakim konstitusi dibuka untuk banyak calon.
Proses ini kemudian dianggap tidak transparan karena penuh dengan kecurigaan. Ada kesan bahwa proses uji kelayakan dan kepatutan dilakukan dengan terburu-buru dan sarat kepentingan.
YLBHI juga menilai ada kejanggalan lain dari proses ini. Arief Hidayat secara individu dianggap sebagai hakim dengan rekam jejak yang tidak baik. Ada masalah etika yang membuat nama Arief dianggap tidak layak kembali menjadi hakim konstitusi.
Arief Hidayat pernah diminta mundur dari jabatan Ketua MK. Ia dianggap tidak mampu menjaga marwah MK karena ada salah satu hakimnya, yaitu Patrialis Akbar yang tersangkut perkara korupsi. Masalah etika ini membuat YLBHI menilai Arief tidak layak jadi calon tunggal hakim konstitusi.
Terlepas dari kondisi-kondisi di atas, secara prosedur proses pemilihan Arief dianggap sudah memenuhi syarat. Menurut pakar hukum tata negara dan mantan Ketua MK, Mahfud MD, tidak ada alasan Presiden untuk membatalkan keputusan DPR ini.
Meskipun demikian, ada dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Arief Hidayat. Pertemuan dengan anggota DPR dianggap tidak pantas dilakukan oleh Ketua MK. Sulit untuk tidak menilai pertemuan tersebut tidak diwarnai kepentingan. Terlebih saat ini Ketua MK tersebut sedang mengalami perkara yang berkaitan dengan DPR.
Lobi Arief Hidayat
Sebagaimana disebut sebelumnya Arief Hidayat gencar bemanuver melakukan lobi kepada fraksi-fraksi di DPR. Lobi ini dilakukan agar fraksi-fraksi di DPR mau menyetujui perpanjangan jabatannya sebagai hakim konstitusi.
Ada sebuah pertemuan yang dilakukan di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat. Pertemuan ini melibatkan Arief Hidayat dengan sejumlah anggota Komisi III DPR RI. Pertemuan inilah yang dianggap sebagai upaya lobi dan melanggar etika Arief sebagai hakim.
Pertemuan ini dibenarkan oleh Trimedya Pandjaitan Wakil Ketua Komisi III dari fraksi PDI-P. Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang biasa. Di DPR lobi untuk memperoleh jabatan tertentu adalah hal yang lumrah sepanjang tidak melibatkan uang.
Jika ini benar maka Arief Hidayat bukan saja tak layak jadi Ketua MK tetapi juga tak layak sebagai Hakim. Bukankah begitu pak @mohmahfudmd dan pak @JimlyAs ? pic.twitter.com/vu0Sp21kfV
— PS (@PartaiSocmed) December 4, 2017
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P lainnya yaitu Eddy Kusumawidjaya juga membenarkan pertemuan tersebut. Menurutnya, pertemuan tersebut adalah agenda formal dan tidak memiliki motif politik.
Trimedya sendiri menyebut tidak akan ada barter antara DPR dengan Arief dalam proses uji kelayakan dan kepatutan ini. Ia menyebut bahwa pertemuan tersebut tidak dimaksudkan untuk lobi pada putusan MK apapun.
Adanya pertemuan di Hotel Ayana ini juga tidak dibantah oleh Arief Hidayat. Meski begitu ia menampik adanya motif politik di balik pertemuan. Ia menyebut pertemuan ini hanya membahas kesiapan Arief untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Pertemuan tersebut dimaksudkan hanya untuk menyesuaikan jadwal antara dirinya dengan Komisi III agar pengujian dapat dilaksanakan dengan lancar.
MK sendiri menyebut bahwa pertemuan Arief dengan Komisi III tersebut dilakukan atas restu Dewan Etik MK. Arief disebut berinisiatif melakukan pertemuan dengan Komisi III untuk membahas jadwal uji kelayakan dan kepatutan.
Menurut YLBHI, pertemuan tersebut tidak sewajarnya dilakukan oleh Arief. Urusan seperti itu seharusnya dilakukan oleh kesekretariatan MK. Seorang hakim seharusnya menjaga kewibawaannya, terlebih saat ini tengah menangani perkara yang berkaitan dengan DPR.
Pertemuan tersebut menjadi salah satu sumber polemik utama dalam proses pemilihan Arief. Guru besar Universitas Diponegoro tersebut melanggar etika sebagai hakim konstitusi. Sejumlah elemen masyarakat sipil kemudian melaporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik MK.
Amankan Pansus KPK?
Disinyalir perpanjangan masa jabatan Arief ada kaitannya dengan sesuatu yang besar. Banyak pihak menduga bahwa perpanjangan masa jabatan Arief dilakukan untuk mengamankan pansus hak angket KPK.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari Busyro Muqoddas, Adnan Topan Husodo (ICW), Asfinawati (YLBHI), dan Damar Panca Mulya (KPBI) mengajukan uji materi ke MK terkait dengan pansus hak angket KPK. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 79 ayat 3 UU 17/2014 tentang MD3 yang menjadi dasar pansus hak angket KPK.
Jika benar putusan telah diperdagangkan, tentunya permohonan terancam ditolak. Ditolak artinya angket thdp KPK jadi dapat legitimasi. Pelemahan thdp KPK berlanjut. https://t.co/Iv5TQUGMmB
— Jakarta Kritis (@AlghifAqsa) December 7, 2017
Gabungan masyarakat sipil ini menganggap bahwa KPK bukan dari objek hak angket karena bukan bagian dari pemerintah. Mereka meminta penafsiran dari MK terhadap pasal tersebut. Jika MK memiliki penafsiran serupa dengan mereka, maka riwayat pansus hak angket KPK akan tamat.
Pertemuan antara Arief dan Komisi III menjadi sinyal untuk menjegal uji materi tersebut. Diduga Arief akan menggunakan pengaruhnya untuk menggagalkan gugatan masyarakat sipil tersebut. Pertemuan tersebut dapat mengganggu objektivitas Arief dalam memutuskan perkara terkait hak angket. Maka wajar jika mereka memutuskan untuk mencabut gugatan sebagai bentuk protes.
Selain kondisi tersebut, perpanjangan masa jabatan Arief juga disinyalir untuk menjegal Saldi Isra, hakim konstitusi lainnya. Pakar hukum tata negara ini dikabarkan akan maju menjadi Ketua MK baru menggantikan Arief.
Partai-partai di DPR diduga tidak senang jika Saldi menjadi Ketua MK. Saldi dianggap pro-KPK dan tidak sejalan dengan kepentingan DPR. Jika Saldi menjadi ketua MK maka Pansus KPK akan habis riwayatnya. Mereka perlu sosok Ketua MK lain yang dianggap tidak terlalu pro-KPK. Maka sangat penting bagi DPR untuk mengamankan Arief agar Pansus KPK tidak digoyang.
Terlepas dari apapun, pertemuan antara seorang hakim MK dan Komisi III tidak sewajarnya dilakukan. Apalagi ia sedang menangani perkara terkait DPR. Tidak ada jaminan bahwa pertemuan tersebut tidak mempengaruhi objektivitas Arief sebagai hakim. (Berbagai sumber/H33)