Langkah Trump mengklaim Yerusalem sebagai ibukota Israel dinilai cukup gila.
PinterPolitik.com
Rekognisi Presiden AS, Donald J. Trump, kepada Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah langkah berani yang bisa jadi begitu tipis dengan ceroboh.
Tak hanya respon penolakan yang besar hampir dari seluruh negara di dunia, sempalan ekstrimisme juga dapat turut hadir di dalamnya. Alasan tersebut setidaknya membuat presiden-presiden AS sebelum Trump tak pernah berani mengambil langkah ini.
Sebelumnya, langkah pengakuan Yerusalem sebagai milik Israel pernah terjadi di AS. Pada 1995, kongres AS telah meloloskan Jerusalem Embassy Act dengan suara super mayoritas (Senate 93-5; House 374-37). Namun, karena alasan keamanan dan riuhnya penolakan publik, Presiden Bill Clinton tak pernah menjalankannya. Begitu pula dengan Presiden Bush dan Presiden Obama.
Trump kemudian hadir dengan keberaniannya yang tak terduga, mengklaim hal yang tak berani diklaim selama hampir 70 tahun konflik berkecamuk di wilayah tersebut. Bagi Trump, langkah ini tak hanya benar secara historis, namun juga dapat merealisasikan penyelesaian konflik Israel-Palestina dengan solusi dua negara yang telah menjadi komitmen dari banyak pihak.
Violent clashes between Palestinian protesters and Israeli troops erupt in the West Bank after Donald Trump declares Jerusalem capital of Israel https://t.co/l1fuPqQj4v
— Evening Standard (@standardnews) December 7, 2017
Melihat ke belakang, Yerusalem adalah titik pertalian agama dan kebudayaan Timur Tengah. Tiga agama samawi; Yahudi, Kristen, dan Islam berbagi sejarah konflik dan damai di tanah ini. Tak hanya diceritakan di kitab suci, perang abad pertengahan sampai perang dunia pun memperebutkan Yerusalem.
Klaim dan lobi Zionis yang semakin kuat kemudian menjadikan Yerusalem diberi status ‘kota internasional’ oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dibagi menjadi Yerusalem Barat yang dikuasai Israel dan Yerusalem Timur yang dimiliki Palestina, setelah Perang Arab-Israel tahun 1947-1948.
Namun, pasca Perang Enam Hari di tahun 1967, Israel yang meraih kemenangan sukses menambah luas wilayah mereka, terutama keberhasilan mereka merebut daerah timur Yerusalem. Yerusalem kemudian dikuasai seluruhnya oleh Israel, dengan masyarakat Palestina di wilayah tersebut tidak diberi kewarganegaraan.
‘Kesuksesan’ Israel sejauh ini tak lepas dari ‘induk’ mereka, Amerika Serikat. AS masih menjadi rumah para Zionis yang bermimpi agar Israel berhasil menguasai Yerusalem seutuhnya. Dengan sekitar 5,3 juta penganut Yahudi di AS, diperkirakan sekitar 5,6 persen di antaranya sukses masuk ke dalam pemerintahan.
Walaupun jumlahnya tak tercatat, namun tekanan politik sekte Zionis dari internal Yahudi AS, sepertinya terbukti kuat sepanjang sejarah. AS telah menggunakan 42 kali hak vetonya di PBB untuk menggugurkan setiap resolusi yang secara signifikan dianggap merugikan Israel.
Walaupun demikian, AS tetap menjaga jarak dengan konflik Israel-Palestina, yakni dengan mempertahankan Yerusalem sebagai zona netral dan membuka komunikasi dengan Palestinian Liberation Organization (PLO).
Lantas, dengan mengaku dapat menyelesaikan konflik sambil merebut ‘barang’ konflik secara sepihak, Trump menjadi delusional. Ekses konflik yang lebih besar dapat terjadi, lebih cepat dari niat baik Trump, bila niat tersebut nyata.
Apakah ini adalah bentuk irasionalitas politik-militer Trump? Atau perdamaian memang telah direncanakan olehnya? Atau, semuanya masih menjadi bisnis bagi Trump?
Skenario-Skenario Tak Terduga Trump
“We, as a nation, need to be more unpredictable.”
-Donald Trump-
Trump memulai jalan pikirnya dengan preseden Jerusalem Embassy Act, yang dibumbui kegilaan hitung-hitungan politisnya. Tak lagi menggunakan kesepakatan kongres, kini executive order menjadi alatnya mengejutkan semua orang.
Bukan kali ini saja Trump mengeluarkan kebijakan-kebijakan tak terduga. Sepanjang kampanyenya dahulu, dia memang telah berjanji untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan luar negeri yang ‘tak terduga’.
Sikapnya yang tiba-tiba bersahabat dengan Tiongkok adalah salah satunya. Ketika kampanye, dia sering mengungkap ujaran-ujaran yang bahkan cenderung rasis. Namun, Trump memuji Xi Jinping dan mengaku memiliki great chemistry dengannya saat kunjungan kenegaraan, November lalu. Bahkan, Trump juga menarik AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP) dan membiarkan Tiongkok memimpin kesepakatan tersebut.
Di awal administrasinya, Trump bahkan menolak mengakui kerja sama nuklir Iran dengan negara P5+1 (5 anggota tetap DK PBB ditambah Jerman), sekalipun kesepakatan itu merupakan proses damai AS dengan Iran yang paling produktif sejauh ini. Malahan, di sisi lain Trump tetap melarang penerbangan dari Iran masuk ke AS dengan alasan terorisme. Banyak pihak menyebutnya sebagai kebijakan yang aneh.
Kedekatan Trump dengan Rusia, via menteri dan orang-orang terdekatnya, kemudian memutarbalikkan semua logika. Begitu aneh dan membuat semua analis hubungan internasional tak habis pikir, karena sampai saat ini Rusia masih menggunakan Iran sebagai proxy, sementara Trump habis-habisan ingin tetap mengucilkan Iran – kebijakan yang tentu saja semakin menambah keanehan Trump.
Wajar bila kemudian gaya ‘tak terduga’ Trump malah dinilai ‘inkoheren’. Sebagian pengamat berusaha menganalisis koherensi pikiran Trump, misal bila kepentingan bisnis adalah satu-satunya alasan yang memperkuat hubungan Trump dengan Rusia. Trump ingin merapatkan AS-Rusia dengan bisnisnya.
Pengamat lain, menyebut pujian Trump kepada Tiongkok benar-benar datang dari lubuk hatinya. Tiongkok sebagai ‘isolasionis-imperialis Timur’ bisa jadi cocok dengan gaya ‘isolasionis-neoliberalis Barat’ ala Trump. Selama bisnis Tiongkok tak mengganggu bisnis AS, that’s fine, sir.
Analis politik dan mantan Kepala Strategi Gedung Putih, Steve Bannon, menilai bahwa gaya Islamofobia maupun isolasionis Trump sesungguhnya hanya retorika kampanye saja. Ada perubahan mendasar dari retorika Trump setelah menjadi presiden, misalnya ketika ia berpidato di depan negara-negara Arab, yang menjelaskan bahwa Trump tidak Islamofobia apalagi isolasionis. Trump memandang negara-negara Arab adalah aliansi ekonomi AS yang amat potensial.
Politisi Partai Buruh Inggris Denis MacShane kemudian menambahkan, Trump sesungguhnya lebih internasionalis ketimbang isolasionis. Relasi bisnisnya yang mencapai 144 bisnis di 26 negara, menjadikan Trump jelas tidak menutup diri dari dunia internasional. Akan tetapi, sifat Put America First menjadikan realita kebijakan Trump lebih kepada imperialis, dengan menempatkan AS ‘juara’ di dunia internasional. Kaca mata bisnis dalam melihat politik luar negeri AS, setidaknya adalah rasionalitas Trump sejauh ini.
Lantas, dalam kasus Yerusalem ini, ada pertanda sokongan bisnis yang besar dari konglomerat Yahudi di belakang Trump. Persekongkolan ini, menurut laporan Quartz telah menjadi dorongan politik sejak Trump maju sebagai kandidat Presiden 2016. Sheldon Adelson and Miriam Ochsorn, dua nama pendonor terbesar Partai Republikan, adalah seorang Yahudi yang juga diduga Zioinis.
Menteri Pertahanan James Mattis maupun Menteri Luar Negeri Rex Tillerson bahkan tak bersikap sejalan dengan Trump. Mereka mengingatkan Trump, namun tidak mengritik. Apakah mereka mengetahui persekongkolan ini namun tak bisa berucap? Bisa jadi. Yang jelas, media dan publik AS ramai-ramai menyuarakan penolakan.
Sangat kuat dugaan, ada kesepakatan di level high-end konglomerat AS dan dengan pihak internasional, yang menyebabkan menteri dan publik dalam negeri AS sendiri, tidak mampu merespon ‘aneksasi’ ini dengan positif.
Arab Saudi, Pemain Kunci Israel-Palestina?
Layak untuk mencurigai Arab Saudi menjadi pemain internasional dalam urusan Israel-Palestina.
Arab Saudi memang tidak mengakui Israel sebagai negara, juga tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan negara tersebut. Alasannya, adalah karena kekerabatan dengan Liga Arab dan negara-negara Islam hingga detik ini.
Walaupun demikian, terdapat sejumlah bocoran laporan yang menyebut ada hubungan bawah tanah antara Israel dan Arab Saudi. Saat itu, perkara yang timbul adalah soal mutual enemy Israel dan Arab Saudi, yakni Iran. Kedekatan AS dengan keduanya secara terpisah, juga urusan AS dengan Iran yang kembali memanas, sepertinya membuat aliansi ketiga negara tersebut tak bisa terpisah secara alami.
Perkara Yerusalem, The New York Times bahkan sempat melaporkan bahwa belum lama ini, telah berlangsung pertemuan antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan pihak Arab Saudi. Dilaporkan, Arab Saudi memberikan proposal solusi dua negara dengan Yerusalem tak menjadi bagian dari Palestina.
Bila laporan tersebut benar, berarti Arab Saudi telah mengetahui rencana Trump ini dan turut bermain di dalamnya. Tudingan ini juga diperkuat dengan reaksi komplementer dari Arab Saudi yang menawarkan Abu Dis, kota persis di timur Yerusalem, sebagai ibu kota kompensasi bagi Palestina. Membuat Arab Saudi memimpin simpati publik kepada Palestine bisa menjadi muslihat yang cerdik dalam skema ini.
Ya, persekongkolan diam-diam AS-Arab Saudi-Israel memang perlu diwaspadai dengan sangat cermat. Keterlibatan AS dengan menyokong persenjataan Arab Saudi dalam menyerang Houthi di Yemen, adalah buktinya. Tak hanya kawan politik, Arab Saudi adalah kawan terdekat AS dalam berbisnis senjata.
Apakah tudingan serius bahwa AS beraliansi dengan Saudi untuk mendesain proses ‘perdamaian’ yang hanya menguntungkan Israel macam ini benar adanya?
Lagi-lagi Bisnis Senjata Global?
Dengan fakta tersebut, bisa saja bisnis senjata telah bersiap mengambil lahan perang yang akan muncul setelah ini. Tentu, bisa dipastikan setiap hari yang berlalu setelah klaim AS ini, akan menjadikan setiap hari penuh potensi teror.
Tak hanya teror yang mungkin menyebar di banyak negara, ekses konflik di West Bank, Gaza Strip, maupun Yerusalem sendiri dapat terjadi. Perbatasan Israel-Palestina bisa menjadi medan perang yang baru, setelah ISIS di Suriah misalnya, mulai mereda. Bila terjadi demikian, lagi-lagi perang akan dibiarkan selama pemasok senjata—yang legal maupun illegal—meraup untung besar.
Dengan peliknya ikut campur Zionis AS di belakang Israel, sulit untuk tidak melihat tekanan yang amat serius kepada Palestina kali ini. Sementara PBB, pihak yang sepanjang sejarah terlihat berusaha menengahi, terus terhambat dengan kuatnya pembelaan AS atas Israel. Mustahil membayangkan akan ada back-off dari AS setelah ini.
Makan saja perdamaianmu, Tuan Trump. (R17)