Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah kalah di Jakarta. Karenanya, mereka harus mengamankan banyak daerah dalam Pilkada 2018 untuk menjaga eksistensinya. Ujungnya, mereka harus kembali berkuasa di 2019.
PinterPolitik.com
PDIP adalah partai pengusung Jokowi pada 2014. Akan tetapi, partai ini belum menyatakan dukungan kepada Jokowi untuk Pilpres 2019, berbeda dengan partai-partai pendukung pemerintah lainnya, seperti Nasdem, Hanura, dan Golkar.
Memang PDIP seolah punya kebiasaan untuk menentukan pilihan calon di menit-menit akhir sebelum pertandingan. Pengusungan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) pada Pilpres 2014 dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat pada 2016 adalah contohnya. PDIP seperti doyan memberi ketegangan dan kejutan tersendiri bagi para simpatisannya.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjelaskan, memang sudah tradisi PDIP untuk memerhatikan calon sebelum mengusungnya. Menurutnya, masih ada waktu setahun yang bisa dipakai PDIP untuk memikirkan dan menyaksikan kinerja Jokowi. Walaupun demikian, di lain kesempatan ia menyebut bahwa PDIP masih dan akan mendukung Jokowi.
Pilpres 2019, PDIP Minta Satu Paket Capres dan Cawapres https://t.co/SUZyofNlFL
— Koran Tempo (@korantempo) August 8, 2017
Sementara itu, tentu saja PDIP harus menyiapkan nama-nama yang ingin diusung sebagai cawapres jika kembali mengusung Jokowi sebagai capres. Terlebih, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah sudah mengatakan kalau partainya memiliki ambisi untuk mengusung cawapres dari internal partai untuk mendampingi Jokowi.
Ambisi ini meminggirkan fakta bahwa kepemilikan kursi PDIP di DPR tak mencapai 20%. Sehingga, bila benar-benar ingin mengusulkan nama calon selain Jokowi, PDIP harus benar-benar meyakinkan partai-partai lain pengusung Jokowi untuk mendukung gagasan tersebut.
PDIP harus bergerak cepat demi mimpi itu. Terutama agar partai-partai lain sudah bisa memulai mengampanyekan calonnya dengan safari-safari politik sejak dini. PDIP tak mau cuma berurusan dengan Emil Dardak saja, bukan?
Mama dan Orang-orang Terpercaya
Ada mitos yang menyebut bahwa Megawati Soekarnoputri adalah PDIP dan begitu pula sebaliknya. Ada kekuatan ‘absolut’ Megawati di PDIP, di mana semua keputusan hampir pasti tunduk kepada arahannya. Tak heran, Megawati telah menjabat sebagai Ketua Umum PDIP (dulu PDI) sejak 1993, hingga sekarang. Ia adalah aktor politik yang paling lama menjabat sebagai pimpinan suatu partai di Indonesia.
Mitos lanjutan mengatakan, PDIP harus dikuasai oleh keturunan Bung Karno, guna menjaga keluhuran nilai Pancasila maupun semangat Trisakti Bung Karno di dalamnya. Itu sebabnya, Megawati nampak belum mau melepas jabatannya, kemungkinan karena dua anaknya Puan Maharani, maupun Prananda Prabowo atau bahkan keponakannya Puti Guntur Soekarno belum siap menggantikan posisinya. Itu pula mengapa, dukungan PDIP kepada Jokowi terlihat ragu-ragu sejauh ini, karena ‘kenakalan’ Jokowi kepada PDIP. (Baca juga: PDIP: Goodbye Jokowi)
Keputusan PDIP amat bergantung pada kedekatan Megawati dengan seseorang. Sekalipun tidak memiliki darah Bung Karno, hubungan kekerabatan pernikahan pun dapat menumbuhkan kepercayaan Megawati. Suaminya sendiri—alm. Taufik Kiemas—saat itu ditunjuk menjadi Ketua MPR sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan PDIP, atas alasan kepercayaan dan kekerabatan.
Begitu pula dalam memilih calon untuk diusung dalam Pemilu. PDIP cenderung berpusat pada nama di seputar Megawati saja. Kader-kader lain tidak dapat terlalu banyak memberi masukan, karena ada mitos ‘veto’ Megawati di internal partai. Terlihat di dalam Pilkada 2016 maupun 2018 esok, banyak nama yang ditunjuk langsung oleh Megawati, yang melangkahi proses penjaringan di tingkat DPC dan DPD, seperti Syaifullah Yusuf di Jatim dan I Wayan Koster di Bali.
Hal ini juga berdampak pada ‘kaderisasi ragu-ragu’ – istilah untuk lahirnya keraguan dari para kader partai. Kader akan sulit berkembang karena adanya ‘absolutisme’ Megawati di sana. Kader yang telah melalui proses penjaringan maupun seleksi internal, dapat gugur karena pilihan personal Megawati saja.
11 November Megawati Umumkan Langsung Calon yang Diusung PDIP Dalam Pilkada Serentak … https://t.co/qKBYKXl9Pm
— PDIP Online (@PDIP_Online) October 30, 2017
Karenanya, Megawati sudah pasti memilih calon dari siapapun sosok yang dekat dengannya. Bila Puan, anaknya, masih menjadi kontroversi terkait kinerjanya di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Puti, keponakannya, masih terlalu muda, maka Megawati harus mencari sosok di luar keluarganya.
Selentingan muncul dari beberapa pihak yang menyebut bahwa Budi Gunawan (BG) adalah salah satu nama yang paling mungkin dicalonkan sebagai wakil presiden, mengingat kedekatannya secara personal sejak Megawati menjabat sebagai presiden. Indikasi hubungan PDIP dan BG terlihat ketika PDIP melindungi BG dari serangan KPK saat pro-kontra pencalonan Kapolri, hingga posisi kepala BIN kemudian yang dipercayakan padanya.
Bila Megawati dapat memercayai orang dari luar trah Soekarno, seperti Taufik Kiemas, untuk menjabat Ketua Dewan Pertimbangan partai hingga Ketua MPR RI, mengapa tidak BG di Pemilu 2019?
Berebut Balon RI-2
PDIP sudah beberapa langkah tertinggal dari partai lain. Partai-partai lain telah mengusungkan nama yang mungkin diajukan kepada Jokowi. Beberapa bahkan sudah mulai bersafari, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan seragam The Yudhoyono Institute-nya.
Bila benar PDIP ingin menentukan pilihan pada Oktober 2018, seperti yang diucapkan Hasto, maka PDIP harus berhati-hati. Calon-calon dari partai lain memiliki kapabilitas yang sudah cukup terukur, popularitasnya yang cukup tinggi, dan cenderung sudah mendekat ke Jokowi lebih dulu.
Sebut saja, misalnya Muhaimin Iskandar yang nampak cukup dekat dengan Jokowi. Partai Cak Imin, PKB merupakan pemilik kursi kementerian terbanyak kedua setelah PDIP. Selain Cak Imin, ada AHY yang sudah bersilahturahmi ke istana dan bertemu presiden dan anaknya. Atau, Jenderal Gatot Nurmantyo yang sejauh ini amat dipercaya oleh Jokowi. Hampir semua calon tersebut memiliki keunggulan masing-masing dan telah dekat dengan Jokowi.
Sementara itu, PDIP sama sekali belum terdengar mengusung nama tertentu. Hanya selentingan isu seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang mungkin diusung. Selain itu, tidak ada sosok di luar Megawati dan Puan yang punya gairah untuk menjabat posisi selevel wakil presiden. Internal PDIP jenuh dan kader-kadernya kemungkinan tak dapat maju tanpa restu Megawati.
Mengikuti pola ‘orang kepercayaan’ Megawati dan ‘kaderisasi ragu-ragu’ PDIP, maka calonnya kemungkinan tak akan jauh dari orang yang dipercaya oleh Megawati. Dari sedikit nama orang kepercayaan Megawati, hanya BG yang mungkin paling dekat dan sempat menghiasi perjalanan pemerintahan Jokowi sejauh ini.
Kisah tentang BG merupakan ‘warna’ tersendiri dalam pemerintahan Jokowi. Ia pernah menjadi pemicu salah satu konflik antara Polri dan KPK pada 2015 lalu terkait status tersangka yang diberikan oleh KPK atas kepemilikan rekening gendut dan transaksi mencurigakan. Jokowi pun diduga tersandera oleh tekanan Megawati untuk tetap mempertahankan pencalonan BG saat itu. Bahkan, pengusaha Riza Chalid dalam bukti rekaman percakapan terkait kasus Papa Minta Saham, mengatakan kalau Megawati memaki Jokowi akibat sempat menolak BG dicalonkan sebagai Kapolri.
Sebagai seorang perwira kepolisian, BG memang memiliki karir yang cukup baik. Ia adalah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) terbaik tahun 1983. Karir tertingginya di kepolisian adalah posisi Wakapolri, pada tahun 2015-2016. Dia juga sempat menjadi ajudan pribadi Presiden Megawati pada tahun 2000-2004.
Namun sebagai catatan, BG merupakan calon Kapolri dengan harta terbesar yang pernah ada kala itu. Tak ayal, kasus-kasus BG dengan KPK kemudian turut menimbulkan persepsi negatif publik kepada sosok BG. Kinerjanya di BIN pun tak dapat dikatakan memuaskan.
Nama BG yang kontroversial namun dipercaya Megawati tersebut, sepertinya belum cukup kapabel dan diterima publik untuk menjadi cawapres. Karenanya, mungkin Megawati perlu menimbang orang-orang kepercayaannya yang lain, termasuk dari internal PDIP.
PDIP Disalip Partai Lain?
PDIP harus dengan segera memperkenalkan kepada publik nama-nama yang mungkin saja dicalonkan untuk mendampingin Jokowi di 2019. Bila di internal tidak memungkinkan, penggodokan nama-nama calon eksternal pun harus segera dilaksanakan
Proses yang cenderung lama akan membuat PDIP semakin ketinggalan dari partai lain. Sejauh ini PDIP masih merasa di atas angin karena Jokowi adalah petugas partainya. Walaupun demikian, sikap PDIP yang lamban dalam dukungan kepada Jokowi sebagai calon presiden 2019 juga patut dipertanyakan.
Sebagai kader yang paling powerful, Jokowi sudah berkali-kali memberontak dari arahan partai. Bisa saja, kali ini Jokowi malah semakin dekat dengan partai-partai lain, bukan? (R17)