Setya Novanto sudah resmi dibekuk setelah serangkaian ‘drama’-nya. Lantas bagaimana dengan rumah sakit yang ‘mendukung’ aksinya?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]asih lekat dalam ingatan bagaimana jurus-jurus Setya Novanto (Setnov) menghindari pemeriksaan dari KPK. Dari sekian dalih yang dikeluarkan, mendadak sakit merupakan alasan pamungkasnya.
Sebelum resmi dibekuk, terhitung sudah 11 kali, pria berusia 62 tahun tersebut mangkir dari panggilan komisi antikorupsi. Sebelumnya, saat menyandang status tersangka pertama kali, ia langsung menjalani perawatan di Rumah Sakit Premier, Jatinegara, Jakarta Timur , Minggu (17/11) lalu.
Alasannya, terserang vertigo setelah bermain pingpong. Namun, setelah dinyatakan bebas pra-peradilan dan lepas dari status tersangka, Setnov langsung meninggalkan rumah sakit dan dinyatakan pulih sama sekali.
Pola tersebut kembali berulang saat KPK mengalungkan lagi status tersangka kepadanya. Setnov mengejutkan hampir sebagian besar pihak, dengan pemberitaan kecelakaan menabrak tiang listrik. Ia kembali dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, sebelum nasibnya ‘berakhir’ di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dalih yang berulang dan keengganan untuk ‘belajar’ dari kasus terdahulu, membuat Setnov pada akhirnya kembali jadi bulan-bulanan Netizen. Meme yang menggambarkan keganjilan-keganjilannya saat dalam perawatan rumah sakit kembali merebak. Mulai dari jarum yang tak sesuai untuk orang dewasa, hingga kesalahan pemakaian alat kesehatan, dijabarkan secara rinci oleh pihak yang menggeluti bidang kesehatan.
Keganjilan tersebut mau tak mau memunculkan sebuah asumsi, jika Setnov benar sedang memainkan ‘drama’, rumah sakit sebagai pemilik fasilitas kesehatan, seharusnya turut mendapat sanksi karena berkontribusi melakukan kebohongan dan berpihak pada ‘maling’. Jika benar hal tersebut melanggar kode etik kedokteran, apakah rumah sakit dan elemennya bisa dikenai Perbuatan Melanggar Hukum (PMH)?
Sakit Karena Tanggung Jawab
Tak sedikit masyarakat dan Netizen yang menilai ‘drama sakit’ Setnov sebagai bentuk gangguan kesehatan jiwa atau psikopatologi. Bahkan ada yang menyebut Setnov mengidap mythomania, yakni kebiasaan kompulsif untuk terus berbohong.
Namun, dr Andri, SpKJ, FAPM menyatakan bahwa aksi Setnov itu tak ada kaitannya dengan gangguan kesehatan jwa. Psikiater yang bertugas di klinik Psikosomatik RS Omni, Alam Sutera, Serpong, Tangerang, ini mengatakan, apa yang dilakukan Setnov dapat disebut sebagai Malingering.
Malingering merupakan kondisi seseorang yang berpura-pura sakit sebagai upaya yang disengaja. Orang tersebut sengaja menampakkan gejala fisik atau psikologis palsu atau berlebihan. Kondisi ini, biasanya didorong oleh hal-hal bersifat eksternal, seperti menghindari kewajiban, pemeriksaan, tanggung jawab, hingga tuntutan pidana.
Malingering, berdasarkan buku Kaplan and Sadock’s Synopsys of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2007, juga tak termasuk dalam golongan gangguan kejiwaan.
Namun, tetap diperlukan bantuan dari tenaga psikiater forensik dan dokter untuk menentukan sakit yang diderita seseorang. Sehingga diagnosa dapat bersifat obyektif, terutama pada mereka yang tersandung masalah hukum, nyata atau tidak. Ini penting dilakukan, sebab menurut dr. Andri, malingering telah dianggap sebagai sebuah ‘tren’ tersendiri bagi para pesakitan politik.
Di sisi lain, aksi malingering yang dilakukan Setnov juga tak akan berjalan ‘meyakinkan’ jika tak disokong oleh fasilitas rumah sakit yang ada. Tentu publik belum melupakan bagaimana selang dan alat-alat pernapasan yang membelit tubuh Setnov beberapa waktu lalu di Rumah Sakit Premier, Jatinegara.
Beberapa dokter yang dikirimi foto Setnov, mengomentari kejanggalan yang terlihat di foto tersebut. Salah satu dokter dari RSCM yang tak mau disebutkan namanya, berkata bahwa layar EKG menyala namun tak digunakan, sehingga detak jantung tak terlihat pada mesin. Ini aneh, sebab menurut keterangan istri Setnov, Deitri, suaminya punya gangguan pengapuran jantung sehingga harus selalu dikontrol detaknya.
Dokter lainnya tak kalah mengomentari syringe pump yang tak dilengkapi alat suntik, serta jarum suntik pembuluh darah yang malah tertancap di pergelangan tangan, bukan urat nadi. Lalu tak ketinggalan sungkup di hidung Setnov, menurut keterangan dokter, sungkup yang digunakan Setnov lazimnya dipakai untuk terapi sinus, alih-alih sebagai alat bantu pernapasan.
Menanggapi ‘aksi’ terakhir Setnov di RS. Medika Permata Hijau, Kamis (16/11) lalu, dr. Rizky Ferdiansyah yang bertugas di sebuah rumah sakit negeri Yogyakarta, menjelaskan mengenai jarum suntik berwarna kuning yang digunakan Setnov.
Menurutnya, jarum kuning tersebut berukuran 24G yang biasa digunakan untuk bayi atau anak kecil, sebab itu ukuran yang paling kecil. Sementara bagi orang dewasa, umumnya menggunakan jarum ukuran 16G. “Tapi memang jarang sekali kita menggunakan jarum 24G untuk orang dewasa. Paling untuk orang dewasa jarum nomor 20G sudah bisa,” jelasnya.
Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan para dokter tersebut, tentu saja beralasan, sebab alat-alat medis yang dipasang oleh pihak rumah sakit, tak sesuai prosedur penggunaan alat medis. Dari sinilah, kebohongan Setnov tercium. Namun sekali lagi, kebohongannya itu tak akan ‘mulus’ jika pihak rumah sakit tak ikut memfasilitasinya.
Apa yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, tentu saja berseberangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Aturan ini tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, “Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian.”
Lantas jika Kode Etik sudah dilanggar, apakah hal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH)?
Lain Setnov, Lain Debora
Nasib Setnov tentu saja sangat kontras bila dibandingkan dengan bayi Deborah. Tiara Deborah Simanjorang, seorang bayi berusia 4 bulan 10 hari ini harus meninggal lantaran disinyalir terlambat mendapat penanganan dari pihak RS Mitra Keluarga, Kalideres. Keterlambatan ini, diakibatkan ketidakmampuan orangtua Deborah membayar biaya perawatan sebesar Rp. 19, 8 juta.
Kasus senada juga menimpa Rohaini, warga Batam yang meninggal karena kartu BPJS-nya mati. Sang anak, Alamsyah, disarankan untuk pulang oleh pihak rumah sakit setelah mengetahui kalau kartu BPJS ibunya mati. Sehari kemudian, Rohaini menghembuskan napas terakhir tanpa mendapatkan perawatan dari rumah sakit sama sekali.
Setnov, bukanlah Deborah, apalagi Rohaini yang harus berjibaku mendapat perawatan rumah sakit yang memadai. Dengan titel sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, tentu termasuk kemampuan finansialnya, Setnov tak perlu menghadapi kesulitan berarti untuk mendapat perawatan. Bahkan walau (mungkin) ia hanya terlihat sakit. Dengan mudah, Setnov dapat menempati kamar VIP di RS. Medika Permata hijau yang per malamnya bertarif Rp. 1,5 juta.
Rumah Sakit Melanggar Hukum
Tentu saja rumah sakit yang terlibat menyediakan fasilitas alat medis kepada Setnov, walau yang bersangkutan tidak menderita sakit (malingering), sudah melanggar Etika Kedokteran. Padahal, rumah sakit maupun dokter yang terbukti melanggar kode etik tersebut bisa dicabut izin dan hak prakteknya, dengan kata lain dipecat.
Hukuman ini tidaklah berlebihan, sebab secara tak langsung, jika benar rumah sakit terlibat, terdapat indikasi suap di dalamnya. Setnov memiliki ‘kekuatan’ finansial untuk mendapatan akses medis ke rumah sakit, walau tak sakit sekalipun, dan menggunakan fasilitas di dalamnya. Aksi tersebut tentu sudah masuk ke dalam bentuk manipulasi, karena adanya kucuran dana.
Dengan demikian, selain telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia, pihak rumah sakit sebenarnya telah terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pemikiran ini, tentu bukan hal berlebihan jika seharusnya pihak rumah sakit-rumah sakit tersebut ikut dikenai delik pidana. Apakah pemecatan dokter berdasarkan pelanggaran Kode Etik Kedokteran saja sudah cukup? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/ A27)