Kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Aceh menandai satu dari rangkaian safari politik yang dilakukannya selama bulan November 2017. Nostalgia masa tugas serta harum kopi Aceh menjadi teman perjuangan satu misi di tanah rencong: Pilpres 2019.
PinterPolitik.com
“Leadership is a choice, not a position” – Stephen Covey (1932-2012), penulis The 7 Habits of Highly Effective People
Saat semua mata publik sibuk terpesona oleh begitu melodramatisnya kasus Papa vs KPK, aktivitas kunjungan AHY ke Aceh tersebut seolah luput dari pemberitaan. Padahal, aktivitas ini merupakan bagian lain dari kunjungan politik Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI) tersebut.
Dalam rangkaian kunjungan antara 13-15 November 2017, putra pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini memiliki kurang lebih 12 agenda yang harus dilakukannya, mulai dari silaturahmi dengan Gubernur Aceh, kuliah umum di 3 tempat, hingga ngopi santai dan bernostalgia tentang masa-masa tugasnya di Aceh bersama wartawan dan masyarakat.
Berbalut jas merah tua khas TYI, AHY juga sukses membuat ratusan mahasiswi histeris ketika ia memberikan materi kuliah umum – tentu bukan itu yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
AHY Beri Kuliah Umum di Universitas Malikussaleh, Rektor: Mahasiswa Ingin Sosok Muda Inspiratif Beri Kuliah Umum Di Sini #AHYSaweuAcehhttps://t.co/7S23dUTGHD
_#TheYudhoyonoInstitute pic.twitter.com/Rig939ndGf— TYI (@YudhoyonoInst) November 15, 2017
Kunjungan ini menjadi bagian dari safari politik AHY di bulan November 2017. Sebelumnya, di awal bulan ini, AHY sudah mengunjungi beberapa tokoh politik, mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wapres Jusuf Kalla (JK), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Gubernur Jakarta Anies Baswedan, hingga mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
AHY bahkan dikabarkan juga ingin bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kalaupun pertemuan ini berhasil dilaksanakan, maka ini mungkin akan menjadi aktivitas politik yang layak untuk mengisi semua halaman depan surat kabar – mengingat hubungan yang penuh kesuraman antara SBY dengan Megawati.
Menjelang tahun politik di 2018 dan 2019, kunjungan AHY ini tentu menimbulkan banyak spekulasi terkait masa depannya dan juga Partai Demokrat. Apa yang ingin dicapai oleh suami Annisa Pohan ini?
Demokrat: Pilih Jokowi atau Prabowo?
Filosofi ‘kekuatan penyeimbang’ yang pada Pilpres 2014 lalu dipilih oleh SBY dan Demokrat, tampaknya harus ditanggalkan di 2019. Pasalnya, pilihan logis bagi sebuah partai politik – selain juga karena sifat dasarnya – adalah berkontes untuk memenangkan Pemilu. Mungkin, hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh Partai Demokrat melalui safari politik AHY.
Namun, dengan modal 10,19 persen suara pada Pilpres 2014 lalu, jelas tantangan terbesar partai berlambang bintang tiga arah ini adalah presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden. Pasalnya, Undang-Undang Pemilu yang disahkan pada Juli 2017 lalu mensyaratkan presidential threshold 20 persen. Hal inilah yang membuat Demokrat menjadi salah satu parpol yang menolak UU Pemilu tersebut.
Penolakan ini bisa dimaklumi mengingat syarat 20 persen ini membuat Demokrat kesulitan untuk mempunyai calon presiden sendiri pada Pilpres 2019. Dominasi koalisi pemerintah di DPR juga menjadi combo politik yang membuat Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang tidak dapat berbuat banyak.
Selain itu, agenda politik yang berbeda dengan kubu oposisi juga menyebabkan tidak banyak artikulasi politik yang terjadi – walaupun kita sempat menyaksikan pertemuan SBY dengan Prabowo Subianto beberapa hari setelah UU Pemilu disahkan.
Justru sebaliknya, ketika SBY menghadiri upacara peringatan HUT RI pada 17 Agustus 2017 di Istana Negara, selentingan hubungan manis dengan Presiden Jokowi dianggap sebagai hal yang paling masuk akal bagi partai biru tersebut. Apalagi, berbeda dengan Megawati Soekarnoputri, hubungan SBY dengan Jokowi terjalin cukup baik dan bahkan sangat cair.
Dengan kondisi politik nasional saat ini, memang pilihan yang paling masuk akal bagi Demokrat di 2019 adalah merapat ke salah satu kubu politik paling kuat: Jokowi atau Prabowo. Pilihan lain yang mungkin agak sulit adalah menggalang koalisi sendiri – sulit karena posisi tawar Demokrat dengan 10,19 persen suara tidaklah kuat.
Demokrat Berhitung Angka
Survei terakhir yang dilakukan oleh beberapa lembaga pada September hingga Oktober 2017 lalu menunjukkan elektabilitas Demokrat yang kian tergerus. Survei CSIS misalnya menunjukkan elektabilitas Demokrat hanya mencapai 6,4 persen, SMRC memberikan angka 6,9 persen, dan lebih buruk lagi Polmark memberikan angka 5,3 persen. Walaupun hasil ini masih sangat dinamis, namun ini bisa menjadi gambaran kekuatan Partai Demokrat saat ini, apalagi di tengah riuh munculnya partai-partai baru.
Meskipun kemungkinan mencalonkan presiden sendiri cukup sulit, namun pengaruh SBY masih cukup kuat di tingkat nasional, termasuk di antara partai-partai politik mantan koalisi pemerintahannya. Demokrat bisa menggalang poros baru dengan memanfaatkan pengaruh SBY tersebut.
Satu-satunya kekurangan dalam pilihan ini adalah terkait ketokohan. AHY yang menjadi putra mahkota Demokrat belum punya kekuatan dan pengalaman politik yang mumpuni.
Namun, pilihan ini masih mungkin diambil jika dalam waktu beberapa bulan ke depan, elektabilitas AHY dapat terus ditingkatkan. Tentu saja pilihan ini akan memakan waktu, energi dan modal yang jauh lebih besar, ketimbang lobi politik untuk merapat ke salah satu kubu.
Sifat dasar parpol yang tidak bisa jauh dari kekuasaan juga akan menjadi pertaruhan Demokrat. Jika kembali berada di luar kekuasaan, maka Demokrat harus punya modal besar untuk menjadi partai penyeimbang – seperti yang selama ini disematnya – atau bahkan menjadi partai oposisi seperti Gerindra.
Ibaratnya jalan, Demokrat memang sedang dihadapkan pada 3 pilihan: Jokowi, Prabowo, atau calon sendiri – dalam hal ini AHY. Dengan situasi politik nasional saat ini, maka pilihan mendekat ke Jokowi adalah yang paling masuk akal. Saat ini, kekuatan politik Jokowi sebagai presiden tidak terbendung – setidaknya berdasarkan survei beberapa lembaga. Satu-satunya kendala dalam pilihan ini adalah Megawati Soekarnoputri dan PDIP yang merasa diri sebagai ‘pemilik’ Jokowi.
Merapat ke Prabowo juga mungkin terjadi. Namun, jika melihat pertemuan SBY dan Prabowo dalam tajuk diplomasi ‘nasi goreng’ yang tidak menghasilkan hal yang signifikan, rasanya koalisi ini akan sulit tercapai.
Sementara, pilihan calon presiden sendiri mungkin menjadi pilihan yang kurang realistis untuk diambil. Pilihan ini memiliki risiko yang jauh lebih besar dibandingkan dengan merapat ke salah satu kubu.
Jadi, pilih Jokowi atau Prabowo, Demokrat?
Menanti Kiprah AHY
Sebagai figur politisi muda, AHY tidak bisa diremehkan. Pasca Pilgub DKI Jakarta, elektabilitas AHY terus naik dan bahkan berpotensi menjadi contender atau lawan serius di 2019 – entah sebagai calon presiden (capres), maupun sebagai calon wakil presiden (cawapres). Demokrat memang tengah serius meningkatkan elektabilitas AHY.
Sejauh ini, posisi AHY masih ada di bawah Jokowi dan Prabowo. Survei Polmark tentang pilihan calon presiden pada Oktober 2017 lalu menempatkan elektabilitas AHY di urutan 3 dengan 2,9 persen setelah Jokowi dan Prabowo. Namun, posisi AHY ada di atas Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan yang keduanya merupakan ketua parpol. Hal serupa juga ada dalam survei Tiga Roda Konsultan yang juga menempatkan AHY di urutan 3 capres 2019.
Peningkatan elektabilitas ini belum besar, namun cukup signifikan, mengingat pada Maret 2017 lalu, elektabilitas AHY baru menyentuh angka 0,4 persen menurut survei Indo Barometer. Ini berarti safari politik AHY setelah kontemplasi politik pasca Pilgub Jakarta tampaknya membuahkan hasil. Elektabilitas ini penting bagi AHY dan Demokrat sebagai ‘nilai jual’ kepada kubu politik yang bersaing.
Kelemahan AHY yang belum pernah menduduki jabatan publik akan tertutupi jika ia menjadi calon wakil presiden, entah untuk Jokowi maupun untuk Prabowo. Pertaruhan politik ini juga akan memanas dengan munculnya tokoh lain, misalnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang juga secara elektabilitas cukup mumpuni dan punya daya tawar politik yang kuat: berlatar militer dan dekat dengan kelompok umat Islam.
Lalu, ke kubu mana Demokrat paling mungkin berlabuh?
Selentingan dari beberapa praktisi politik menyebut merapat ke Jokowi adalah pilihan paling masuk akal yang bisa diambil Demokrat. Namun, semuanya masih sangat mungkin berubah. Sosok AHY yang populer di kalangan pemilih muda juga akan menjadi daya tarik tersendiri. Pada akhirnya, seperti kata Stephen Covey di awal tulisan: kepemimpinan itu bukan posisi tetapi pilihan. Mungkin sudah waktunya Demokrat menentukan pilihan dari tiga jalan politik yang ada. (S13)