Dengarkan artikel ini
Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang?
Indonesia sering disebut sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Menurut data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemdagri) pada semester I tahun 2024, jumlah penduduk Muslim di Indonesia mencapai 245.973.915 jiwa, angka tersebut artinya 87,08% populasi di Indonesia adalah orang beragama Islam
Karena itu, tidak mengherankan jika di Indonesia terdapat banyak partai politik (parpol) berbasis Islam yang besar, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Masing-masing partai tersebut pun bisa dibilang memiliki sejarah elektoral yang bisa cukup membanggakan.
Kendati demikian, pergelaran Pemilihan Kepala Daerah 2024 (Pilkada 2024) kemarin tampaknya menyajikan kepada kita semua indikasi bahwa para parpol Islam besar tadi tidaklah sekuat versi yang awalnya kita duga. Bagaimana tidak, kedua parpol berbasis Islam terbesar saat ini tersebut tidak berhasil memperoleh hasil elektoral yang memuaskan, keduanya bahkan kalah di wilayah-wilayah yang jadi lumbung suara mereka.
PKS contohnya, tidak berhasil memenangkan calon kepala daerah di wilayah-wilayah lumbung mereka, seperti di Provinsi Jakarta, Jawa Barat, hingga Kota Depok. Sementara, PKB sendiri gagal di Pilgub Jawa Timur, Jawa Barat, serta Kota Sidoarjo, kota yang kerap dianggap sebagai “Depok”-nya PKB karena jadi wilayah kekuasaan mereka setidaknya dalam 20 tahun terakhir.
Hal-hal ini maka dari itu pantas menjadi dasar bagi sebuah pertanyaan yang cukup menarik, kira-kira apakah ini adalah semacam pertanda bahwa partai-partai berbasis Islam di Indonesia kian melemah? Jika iya, mengapa?
Post-Islamism Membuat Kehilangan Arah?
Salah satu penyebab mengapa partai berbasis Islam di Indonesia mengalami performa yang kurang maksimal bisa jadi adalah karena kegagalan mereka menerapkan konsep politik yang disebut post-Islamism, secara efektif. Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Asef Bayat, seorang ilmuwan politik dan sosiolog, merujuk pada fase di mana gerakan Islamis bertransformasi dari ideologi keagamaan yang dogmatis menjadi pendekatan yang lebih pragmatis, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Bayat menjelaskan bahwa post-Islamism bukanlah penolakan terhadap Islam, melainkan upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam kerangka demokrasi, hak asasi manusia, dan pembangunan ekonomi.
Keberhasilan post-Islamism dapat dilihat dalam kasus Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. AKP mampu meninggalkan pola lama gerakan Islamis yang konfrontatif dengan negara, dan beralih menjadi partai yang mengedepankan demokrasi, stabilitas ekonomi, dan tata kelola pemerintahan yang efektif. Strategi ini memungkinkan AKP mendapatkan dukungan luas, bahkan dari kelompok sekuler di Turki.
Sebaliknya, partai Islam di Indonesia tampak gagal mengadopsi pendekatan serupa. Mereka masih terjebak dalam retorika agama yang eksklusif, sering kali mempromosikan isu-isu yang kurang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Ketidakmampuan ini menciptakan jarak dengan pemilih muda yang semakin pragmatis dan fokus pada isu-isu seperti lapangan kerja, inovasi teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.
Upaya mereka menjadi partai yang lebih moderat pun dinilai justru jadi masalah baru, karena ini artinya mereka harus berhadapan dengan partai nasionalis/sekuler di kolam pemilih yang sama. Akibatnya, kompetisi menjadi lebih sulit dimenangkan kecuali para parpol berbasis Islam ini rela menjadi hanya semacam “penambah suara” bagi partai nasionalis
Ditambah lagi, Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2023 pernah menyatakan bahwa partai-partai Islam kini tidak lagi mendapatkan sokongan dari konglomerat. Salah satu dugaannya karena para penyokong dana mungkin merasa bahwa akan lebih untung jika mendukung partai sekuler yang lebih besar daripada partai berbasis Islam yang kini sedang berusaha masuk ke ceruk suara pemilih moderat.
Jika benar, hal ini tentu menjadi kendala serius, mengingat persaingan politik di Indonesia sangat bergantung pada kekuatan finansial untuk mendanai kampanye dan memperluas pengaruh. Sebaliknya, partai-partai besar seperti PDI-P dan Gerindra memiliki dukungan finansial yang kuat, yang memungkinkan mereka memanfaatkan berbagai media dan jaringan untuk menjangkau pemilih.
Selain itu, fragmentasi internal menjadi salah satu penyebab lemahnya partai Islam. Tidak ada konsensus yang kuat untuk menyatukan kekuatan di bawah satu platform besar. Akibatnya, suara pemilih Muslim terpecah, yang justru menguntungkan partai nasionalis yang lebih terorganisasi.
Terkhusus PKS contohnya, saat Pilgub Jakarta kemarin kita bisa melihat sendiri bahwa mereka tidak bisa menjaga satu pandangan di antara konstituennya di Jakarta, karena sebuah riset dari Litbang Kompas justru mengungkap bahwa ternyata banyak simpatisan PKS yang justru mendukung pasangan Pramono-Rano.
Sementara itu, untuk PKB, fragmentasi belakangan terlihat semakin serius setelah pucuk kepemimpinannya tampak terus berseteru dengan persoalan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kalau hal ini berlanjut, kekuatan elektoral PKB bisa saja ikut terganggu ke depannya.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Pemilu 2029 berpotensi menjadi titik di mana partai-partai Islam semakin kehilangan relevansi. Tanpa transformasi strategis yang signifikan, termasuk mengadopsi pendekatan post-Islamisme yang lebih relevan dengan konteks Indonesia, partai-partai Islam hanya akan menjadi bayangan dari kekuatan politik mereka di masa lalu.
Lantas, bagaimana para partai berbasis Islam bisa membenahi diri mereka?
Jangan Samakan Diri dengan Partai Sekuler?
Terkait persoalan ini, mungkin ada dua hal yang sekiranya bisa jadi perhatian para parpol berbasis Islam jika mereka tidak ingin ditenggelamkan oleh zaman.
Pertama, regenerasi dan “reboisasi politik”. Partai Islam saat ini dicitrakan sebagai entitas politik yang stagnan dan kurang segar. Ketiadaan kader muda yang mampu menjadi ikon partai membuat mereka kesulitan menarik perhatian pemilih muda dan menghadirkan pembaruan.
Regenerasi kepemimpinan dengan mendorong tokoh-tokoh muda untuk tampil lebih menonjol, maka dari itu, sangatlah penting. Reboisasi politik ini akan memberikan energi baru dan menciptakan kesan bahwa partai Islam siap beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Kedua, pragmatisme politik yang seimbang dengan pendekatan ideologis. Saat ini, partai-partai Islam dipandang sebagai pilihan yang kurang menarik (lesser choice) dibanding partai nasionalis. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan partai nasionalis dalam memanfaatkan sayap keagamaan mereka sekaligus didukung oleh sumber daya yang lebih besar.
Untuk bersaing, partai Islam harus menerapkan pragmatisme politik yang tepat tanpa kehilangan ciri ideologisnya. Pendekatan ideologis yang konsisten akan memberikan identitas yang kuat, membedakan mereka dari partai nasionalis, dan menarik pemilih yang mencari representasi nilai-nilai keagamaan dalam politik.
Langkah-langkah ini menjadi krusial bagi partai Islam untuk tidak hanya bertahan tetapi juga kembali relevan dalam politik Indonesia. Dengan menggabungkan regenerasi kepemimpinan dan pendekatan pragmatis-ideologis, partai Islam dapat merebut hati pemilih dan bertransformasi menjadi kekuatan yang lebih tangguh di Pemilu 2029. (D74)