HomeNalar PolitikBetulkah Jokowi Melemah? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Dengarkan artikel berikut

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 


PinterPolitik.com 

Dalam cerita yang dikisahkan novel sekaligus film Dune, House Atreides, -keluarga dari protagonis Paul Atreides-, merupakan keluarga yang memiliki kekuatan politik begitu besar. Kekuatan ini didapatkan karena mereka adalah penguasa planet Arrakis, planet yang memiliki sumber rempah paling berharga di alam semesta. 

Namun, dalam cerita Dune, House Atreides harus menelan pahitnya kehidupan karena kekuasaan mereka tidak bertahan lama setelah serangkaian pengkhianatan dan konflik yang membuat keluarga Atreides kehilangan kendali atas planet tersebut. Paul Atreides, keturunan House Atreides, pada akhirnya harus berjuang untuk memulihkan kekuasaan keluarga, tetapi pengaruh mereka tidak pernah benar-benar sama seperti di awal. 

Cerita singkat dari Dune tadi layaknya mampu jadi pembanding dari fenomena politik yang tampaknya mulai dirasakan banyak orang saat ini di Indonesia. Belakangan ini, muncul desas-desus bahwa Budi Arie, Menteri Koperasi Indonesia sekaligus ketua Relawan Projo, berpeluang akan ikut diperiksa terkait upaya pembongkaran judi online. Lalu, ada juga kabar gelar Doktor Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, ditangguhkan oleh Universitas Indonesia. 

Dua kabar tersebut sontak membuat sejumlah warganet berspekulasi bahwa ini adalah indikasi pengaruh politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) melemah, hal ini karena dua orang itu sering disebut-sebut salah orang yang termasuk cukup dekat dengan Jokowi. 

Namun, menarik untuk kita pertanyakan, apakah betul dinamika semacam ini adalah bukti bahwa pengaruh Jokowi telah melemah? Atau justru ada intrik mendalam lain yang tersembunyi di baliknya? 

image

Melemah atau Ilusi Politik? 

Narasi bahwa “Jokowi telah melemah” mungkin memiliki daya tariknya sendiri bagi sejumlah pihak, karena ketika masih menjabat Jokowi memang sempat disebut-sebut sebagai salah satu presiden Indonesia dengan kekuatan politik terbesar. Namun, ada kemungkinan sensasi tersebut hanyalah ilusi politik belaka. 

Ada beberapa faktor yang dapat jadi basis argumen bahwa pengaruh politik Jokowi sampai saat ini besar kemungkinannya sangat jauh dari melemah. Pertama, daftar calon jajaran tinggi salah satu lembaga ter-powerful, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terisi dari orang-orang yang telah melalui proses seleksi Presiden Jokowi. Kendati jabatan presiden sudah dipegang Prabowo, tapi Prabowo diketahui tidak merubah daftar calon pimpinan (capim) dan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK. 

Baca juga :  Gaining Weight yet, Mr. President?

Kedua, para calon kepala daerah. Pada 5 Agustus 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan bahwa ada 34 Penjabat (Pj) kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jika para Pj tersebut menang dalam kontestasi nanti, muncul kekhawatiran bahwa pengaruh Jokowi di daerah akan tetap kuat. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Jokowi sebagai Pj kepala daerah di pemerintahan sebelumnya. 

Ketiga, para petinggi kabinet pemerintahan bekas kabinet Jokowi yang sekarang masih menjabat. Saat ini, diketahui ada 16 menteri era Jokowi yang kembali mendapat jabatan di kabinet Prabowo. Jika yang namanya loyalitas politik itu ada, maka tidak heran jika setidaknya Jokowi masih memiliki pengaruh di beberapa orang tersebut. 

Ketiga hal di atas rasanya pantas membuat kita meragukan bahwa pengaruh Jokowi memang benar-benar melemah, karena faktanya variabel-variabel tersebut sifatnya sangat kental dengan pengaruh Jokowi. Jika keadaannya Jokowi memang benar masih memiliki pengaruh yang cukup kuat, maka ada kemungkinan bahwa kabar melemahnya pengaruh Jokowi bisa saja merupakan sesuatu yang disebut sebagai Social Construction of Reality (Konstruksi Sosial Realitas). 

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam buku mereka, The Social Construction of Reality, menjelaskan bahwa aktor politik acap kali secara aktif mengelola dan memanipulasi persepsi publik. Mereka mungkin membiarkan citra mereka terlihat melemah sebagai taktik untuk menurunkan ekspektasi atau mengalihkan perhatian dari isu yang lebih besar.  

Hal ini karena realitas sosial merupakan sesuatu yang diciptakan melalui interaksi sosial, di mana individu dan kelompok secara kolektif membangun pemahaman tentang dunia yang mereka jalani. Di dalam sebuah sistem seperti negara, di mana sebuah alur informasi bisa terkena bias, kemungkinan akan adanya penciptaan sebuah realitas sosial yang direkayasa secara otomatis juga hadir. Pada saat yang tepat, mereka yang diuntungkan dengan hal ini dapat mengungkapkan kekuatan sebenarnya untuk mengejutkan dan mempengaruhi opini publik. 

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Jika kita mengacu ke pandangan di atas, maka bisa saja narasi “melemahnya Jokowi” sebetulnya adalah sesuatu yang memang diharapkan dapat tersebar di benak banyak orang. Hal tersebut bisa sangat bermanfaat untuk menciptakan sensasi kesalahpahaman jika nantinya muncul suatu peristiwa yang justru memang sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik Jokowi. 

Menarik kemudian untuk dipertanyakan, jika skenario ini benar, apakah ini murni strategi dari Jokowi atau justru ada pihak lain? 

image

Siapa Mastermind-nya? 

Mengingat bahwa politik modern sangat bergantung pada bagaimana persepsi dikelola dan dimanipulasi, tidak menutup kemungkinan bahwa strategi ini melibatkan jaringan yang jauh lebih luas, termasuk para loyalis Jokowi. 

Dalam skenario ini, Jokowi bisa saja memiliki peran sentral, menggunakan ilusi melemahnya pengaruhnya sebagai taktik untuk mengurangi ekspektasi dan mengelola perhatian publik. Jika demikian, strategi semacam ini tidak hanya memperlihatkan kecerdasan politik Jokowi, tetapi juga mengungkap betapa kompleksnya permainan politik di Indonesia, di mana alur informasi dan persepsi publik tidak sesederhana yang kita kira.  

Namun, tidak bisa diabaikan ada kemungkinan bahwa aktor lain, yang bisa saja juga terlibat dalam hal semacam ini.  Sebagai referensi, sebelumnya, media Tempo sempat melempar kecurigaan bahwa Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Pratikno, merupakan operator politik Jokowi (28/1/2024). Jika memang ada orang-orang yang dicurigai jadi operator politik Jokowi, maka bisa saja hal ini pun merupakan sesuatu yang akan lebih menarik untuk ditelisik lebih dalam. 

Hal-hal semacam ini lantas membuat pertanyaannya tetap terbuka: apakah Jokowi benar-benar bertindak sendiri, atau ada aliansi dan dinamika kekuasaan yang lebih rumit di balik konstruksi ini? Well, sepertinya tidak akan ada yang tahu. 

Namun, pada akhirnya perlu diingat kembali bahwa ini semua hanyalah asumsi berdasarkan interpretasi belaka. Yang jelas, suatu dinamika politik jarang terjadi dengan alasan yang sederhana, kerap kali, ada intrik politik yang menarik di belakangnya namun tidak disadari banyak orang. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?