HomeHeadlineThe War of Java: Rambo vs Sambo?

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional. Setidaknya Jokowi dan Megawati akan adu kuat terkait pengaruh siapa yang lebih unggul di provinsi yang jadi kandang banteng ini. Tajuk “the war of Java” atau “perang Jawa” mungkin pantas untuk disematkan pada perebutan kekuasaan di tanah juang Pangeran Diponegoro ini. Siapa menang?


PinterPolitik.com

Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2024 menjadi ajang pertarungan yang menarik di kancah politik Indonesia, dengan dua mantan jenderal – Andika Perkasa dan Ahmad Luthfi – berhadapan satu sama lain.

Andika Perkasa, mantan Panglima TNI yang terkenal dengan postur kekar dan mendapatkan julukan “Rambo,” akan melawan Ahmad Luthfi, mantan Kapolda Jawa Tengah yang diserang dengan julukan “Sambo”. Panggilan terakhir mengingatkan publik akan sosok kontroversial Ferdy Sambo – jenderal polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan bawahannya. Dua julukan tersebut mencerminkan perbedaan mencolok antara keduanya, yang masing-masing mewakili kekuatan politik yang berlawanan.

Selama beberapa dekade, Jawa Tengah dikenal sebagai basis kuat PDIP yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, mantan presiden sekaligus sosok penting dalam perpolitikan Indonesia. Loyalitas Jawa Tengah terhadap PDIP dianggap tak tergoyahkan, terutama dalam pemilihan presiden.

Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, dukungan terhadap Jokowi, putra asli Jawa Tengah dan mantan kader PDIP, meningkat pesat. Sebagai presiden, Jokowi berhasil memanfaatkan kedekatannya dengan daerah ini untuk mempertahankan pengaruh signifikan, bahkan saat dirinya bersekutu dengan Prabowo Subianto, mantan rival yang kini menggantikannya.

Dalam Pilpres 2024 lalu, dukungan Jokowi berhasil memenangkan Prabowo di Jawa Tengah, mematahkan dominasi PDIP di daerah tersebut. Dengan demikian, pemilihan gubernur kali ini pun menjadi pertaruhan besar bagi PDIP untuk merebut kembali pengaruhnya, sementara Jokowi dan Prabowo berusaha memperkuat kekuasaannya.

Ahmad Luthfi yang disebut didukung Jokowi dan Prabowo, menjadi ancaman nyata bagi PDIP, sementara Andika Perkasa yang diusung oleh PDIP berdiri sebagai upaya partai tersebut untuk kembali menguasai Jawa Tengah. Siapa menang?

Rambo vs Sambo: Kisah Dua Jenderal

Latar belakang Andika Perkasa dan Ahmad Luthfi menambah kompleksitas pertarungan ini. Andika, dengan pengalaman militer dan fisiknya yang tegap, mendapat julukan “Rambo” – simbolisasi kepemimpinan yang tangguh, disiplin, dan berorientasi aksi. Komitmennya terhadap pertahanan nasional dan pelayanan publik sejalan dengan citra kuat yang ingin PDIP tampilkan di Jawa Tengah.

Dengan mengusung Andika, PDIP berupaya menunjukkan strategi untuk melawan Luthfi yang berafiliasi dengan Jokowi dan Prabowo, serta membangun citra otoritatif di wilayah yang dikenal sebagai basis mereka.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sementara itu, Luthfi, yang dikenal sebagai mantan Kapolda, harus berjuang melawan label “Sambo” yang kerap diasosiasikan dengan skandal polisi. Dukungan dari Jokowi dan Prabowo memperkuat posisi Luthfi, menjadikannya tokoh utama dalam koalisi luas yang dapat berpotensi menaklukkan PDIP.

Pemilihan Andika Perkasa oleh PDIP menunjukkan upaya kontra-strategi untuk melawan pengaruh koalisi Jokowi dan Prabowo di Jawa Tengah. Dalam bahasa lain, banyak penulis menggunakan istilah countermeasure untuk menggambarkan situasi ini.

Salam strategi politik, countermeasure sering kali digunakan untuk menanggapi lawan yang kuat, dengan memanfaatkan taktik yang menargetkan kelemahan lawan. Teoretikus politik ternama Carl Schmitt memperkenalkan konsep counter-strategy dalam konteks perang politik, menekankan pentingnya kekuatan untuk melawan kekuatan lain yang sebanding.

Menurut Schmitt, kubu yang berseberangan akan terlibat dalam politik “teman-musuh” di mana pilihan strategis berfokus pada pengurangan legitimasi lawan melalui perang simbolik.

Dalam hal ini, keputusan PDIP mengusung mantan Panglima TNI menjadi penyeimbang simbolis terhadap latar belakang kepolisian Luthfi, yang dianggap sebagian masyarakat sebagai kontras terhadap militer dalam hal kedisiplinan dan integritas.

Narasi “Rambo vs Sambo” tidak hanya memanfaatkan persona fisik Andika tetapi juga secara halus mengingatkan skeptisisme publik terhadap sosok polisi. Apalagi TNI selalu jadi institusi yang paling dipercaya oleh masyarakat, jauh mengungguli Polri. PDIP berusaha menampilkan Andika sebagai alternatif yang bersih dan kuat, mencerminkan kekuatan fisik dan integritas moral – kualitas yang sangat sesuai dengan keinginan pemilih akan kepemimpinan yang kuat dan bebas dari kontroversi.

Countermeasure dan Perang Simbolik

Penggunaan countermeasure dalam kampanye politik sering dibahas oleh ilmuwan politik seperti Gene Sharp, yang terkenal dengan teorinya tentang perjuangan tanpa kekerasan. Sharp berpendapat bahwa countermeasure dalam politik tidak terbatas pada serangan langsung terhadap lawan, tetapi sering melibatkan aksi simbolik dan representasi yang mampu mengubah narasi.

Dengan menampilkan Andika sebagai sosok “Rambo,” PDIP membentuk citra visual dan psikologis yang dirancang untuk menutupi asosiasi “Sambo” pada Luthfi, sambil menegaskan kredibilitas Andika.

Taktik ini sejalan dengan pandangan Sharp tentang “resistensi simbolis,” di mana pembentukan citra strategis dapat memengaruhi persepsi publik sekuat proposal kebijakan konkret. Melalui narasi “Rambo vs Sambo,” PDIP berusaha mengendalikan imajinasi publik, mendorong pemilih untuk mengaitkan kekuatan dan integritas moral dengan Andika, sambil secara halus meragukan kelayakan Luthfi.

Terkait hal ini, media memainkan peran penting dalam memperkuat narasi “Rambo vs Sambo,” mengubahnya menjadi tema yang dikenal luas dan membentuk diskursus publik. Strategi ini tidak hanya meningkatkan drama seputar pemilihan gubernur tetapi juga memberikan lensa sederhana yang memudahkan pemilih dalam menilai kandidat.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Dengan menarik perbandingan pada ikon budaya populer, media membuat pemilihan ini lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum, seolah-olah Andika dan Luthfi adalah protagonis dalam saga nyata.

Namun, meski persona “Rambo” dapat memperkuat daya tarik Andika, keberhasilan strategi ini bergantung pada kemampuan PDIP dalam menjaga narasi dan mencegah Luthfi dari membalikkan persepsi tersebut. Kampanye Luthfi perlu berhati-hati menghadapi asosiasi “Sambo,” misalnya dengan menekankan rekam jejaknya sebagai abdi negara dan merangkai aliansinya dengan Jokowi serta Prabowo sebagai kelanjutan dari kemajuan Jawa Tengah.

Siapa yang Akan Menang?

Survei terbaru Litbang Kompas menunjukkan persaingan ketat antara Andika dan Luthfi, di mana keduanya mendapat tingkat dukungan yang hampir seimbang. Data ini menandakan bahwa narasi “Rambo vs Sambo” efektif dalam menarik perhatian pemilih dan meningkatkan ketertarikan terhadap pemilihan ini. Apalagi, Andika berangkat dari posisi di mana elektabilitasnya tertinggal dari Luthfi.

Tantangan selanjutnya adalah mengonversi ketertarikan ini menjadi suara nyata, terutama di daerah pedesaan Jawa Tengah, di mana PDIP memiliki basis dukungan kuat namun pengaruh Jokowi juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

PDIP mengambil risiko tinggi dengan mengusung Andika, seorang tokoh militer, yang bisa memperkuat kembali basis mereka atau justru menjauhkan pemilih yang masih loyal terhadap Jokowi.

Mengingat sejarah Jawa Tengah sebagai basis PDIP, kampanye Andika mungkin mendapat respons positif dari pendukung lama PDIP yang melihatnya sebagai penghadang koalisi Jokowi dan Prabowo. Namun, dengan popularitas Jokowi, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan, kampanye Luthfi dapat meraih dukungan dari pemilih yang sejalan dengan visi Jokowi untuk Indonesia.

Pada akhirnya, strategi Rambo vs Sambo ini akan tergantung pada seberapa kuat label “Sambo” melekat pada Luthfi atau jika ia dapat merombak citranya sebagai simbol keberlanjutan pengaruh Jokowi di Jawa Tengah. Hasil pemilihan pun akan bergantung pada persepsi pemilih tentang kekuatan, integritas, dan loyalitas – kualitas yang mewakili persona “Rambo” Andika.

Jika strategi countermeasure PDIP efektif, Andika tidak hanya bisa memperkuat kehadiran PDIP di Jawa Tengah tetapi juga menandakan ketahanan partai melawan pengaruh Jokowi. Meski begitu, dengan daya tarik Jokowi yang tetap kuat dan dukungan Prabowo, Luthfi tetap menjadi pesaing yang tangguh, menjadikan pilkada ini salah satu pertempuran politik paling dinantikan dalam sejarah politik Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.