HomeHeadlineSiasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Tentu terdapat alasan teknis, praktis, dan politis di balik penunjukkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Menariknya, kalkulasi sokongan eksternal eksis yang membuat daya tawar Sri Mulyani cukup berharga bagi pemerintahan Prabowo.


PinterPolitik.com

Sri Mulyani kembali dipercaya sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) oleh Prabowo Subianto dalam menyongsong pemerintahan 2024-2029 setelah menjadi salah satu nama yang dipanggil ke kediaman Presiden ke-8 RI itu di Jl. Kertanegara 4 Jakarta Selatan, kemarin (14/10).

Praktis, ini menjadi catatan sejarah bagi Sri Mulyani sebagai orang pertama yang menjadi Menteri Keuangan RI di tiga masa kepresidenan berbeda.

Selain karena jam terbangnya, penunjukan Sri Mulyani sebagai Menkeu oleh Prabowo sesungguhnya cukup menarik.

Hal itu dikarenakan, selama menjabat di periode terakhirnya, Kementerian Keuangan tak jarang mendapat sorotan minor, seperti isu pajak dan penerimaan negara, kasus oknum di jajaran Kementerian Keuangan yang memantik sentimen minor publik, hingga catatan minor perekonomian yang stagnan bahkan timpang karena kebijakan tak populer terkait keuangan negara dari Menkeu, termasuk mengenai gaji dan tunjangan ala sultan di kementeriannya.

Oleh karena itu, pertanyaan sederhana mengemuka, mengapa Prabowo mempercayakan posisi bendahara negara kepada Sri Mulyani?

Tameng Teknokratik?

Dari sisi teknis dan logis, Prabowo tentu menyadari bahwa Sri Mulyani memiliki penguasaan yang mendalam atas struktur anggaran negara.

Pengalaman Sri Mulyani selama menjabat sebagai Menteri Keuangan telah memberikan dirinya “kuncian” atas berbagai formula anggaran yang kompleks. Ihwal yang menjadi modal penting untuk mendukung kebijakan, program, dan janji politik Prabowo selama masa pemerintahannya di 2024-2029.

Dalam konteks administrasi publik, Christopher Hood mengemukakan konsep administrative capacity yang menekankan pentingnya pemimpin birokrasi yang mampu memahami secara teknis dan politis struktur anggaran negara serta bagaimana merumuskan kebijakan fiskal yang efektif.

Dengan rekam jejaknya yang panjang, Sri Mulyani dinilai belum memiliki penerus sepadan untuk memenuhi kriteria tersebut. Pengalamannya mengelola anggaran negara di tengah ketidakpastian global di berbagai krisis seperti pada tahun 2008, serta selama masa Pandemi Covid-19 juga menunjukkan kapasitas manajerialnya dalam merespons tantangan yang dinamis.

Baca juga :  Jokowi Presiden Terkuat Cuma Mitos?

Bagi Prabowo, mempertahankan figur yang memahami seluk-beluk anggaran adalah langkah strategis untuk memastikan kesinambungan dalam perumusan kebijakan fiskal yang mendukung program pembangunan.

Keynesian Economics juga dapat digunakan untuk menganalisis situasi ini, di mana peran negara dalam mengelola fiskal yang kuat menjadi kunci dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.

Sri Mulyani, dengan pendekatannya yang kerap dinilai cenderung pragmatis, telah menerapkan prinsip ini dalam kebijakannya, yang dapat mendukung agenda politik dan pemerintahan Prabowo yang telah direncanakan.

Selain faktor teknis, terdapat beberapa pertimbangan politik yang mungkin menjadi alasan Prabowo untuk mempertahankan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.

Pertama, Prabowo mungkin membutuhkan figur Sri Mulyani untuk memberikan impresi keberlanjutan, dalam konteks positif, atas pencapaian keuangan negara.

Meskipun terdapat berbagai kritik terhadap Kementerian Keuangan, secara keseluruhan, sebagian masyarakat kiranya menganggap kinerja Sri Mulyani, terutama dalam hal penerimaan pajak, memiliki dampak progresif bagi pembangunan negara.

Pendapatan negara yang terus meningkat dari sektor pajak, serta reformasi administrasi perpajakan yang ia pimpin, menciptakan kesan positif yang bisa dimanfaatkan Prabowo untuk menunjukkan konsistensi kebijakan ekonomi.

Dalam hal ini, teori path dependency dari Douglass North menjelaskan bagaimana keputusan masa lalu membentuk tindakan masa depan, di mana pilihan untuk mempertahankan sosok berpengalaman seperti Sri Mulyani merupakan upaya untuk menjaga jalur kebijakan yang sudah terbentuk sebelumnya agar tidak mengalami disrupsi.

Prabowo, dalam hal ini, mungkin ingin melanjutkan jalur tersebut agar pemerintahannya terlihat mampu melanjutkan fondasi kebijakan keuangan yang sudah kuat.

Kedua, Prabowo bisa saja melihat Sri Mulyani sebagai “tameng teknokratik dan politik” dalam menghadapi resistensi terhadap kebijakan keuangan yang akan dijalankannya.

Meskipun mendapat berbagai kritik, reputasi Sri Mulyani di mata publik tidak sepenuhnya negatif. Dalam beberapa hal, ia masih dianggap sebagai teknokrat berintegritas yang mampu menavigasi berbagai tantangan di sektor fiskal.

Baca juga :  Peringatan Darurat PPN 12%!

Figur Sri Mulyani pun seolah memiliki legitimasi di mata publik dan internasional dan akan sangat penting ketika Prabowo harus mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populer untuk memaksimalkan pendapatan negara..

Ketiga, ada kemungkinan Prabowo mempertahankan Sri Mulyani sebagai bagian dari strategi transisi ke tangan kanan Prabowo sendiri, yakni Thomas Djiwandono, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan.

Thomas, yang merupakan kerabat dekat Prabowo, tampaknya diproyeksikan sebagai penerus posisi Sri Mulyani di masa mendatang. Dengan mempertahankan Sri Mulyani, Prabowo mungkin ingin memberikan waktu bagi Thomas untuk lebih matang dalam mempersiapkan diri sebelum mengambil alih posisi tersebut.

Selain itu, terdapat satu kemungkinan lain yang cukup krusial di balik alasan mengapa Prabowo mempercayakan pos bendahara negara kepada Sri Mulyani.

Opsi Dukungan Bank Dunia?

Selain faktor teknis dan politik, ada satu kemungkinan lain yang mungkin menjadi pertimbangan Prabowo dalam menunjuk kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, yaitu dukungan dari Bank Dunia.

Hubungan Sri Mulyani dengan Bank Dunia, di mana ia pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana, memberikan posisi yang strategis bagi Indonesia dalam hal daya tawar terhadap institusi keuangan global.

Dalam beberapa kesempatan, elite Partai Gerindra, termasuk Hashim Djojohadikusumo, telah menyinggung bahwa Bank Dunia siap memberikan dukungan kepada Indonesia, meskipun berbicara dalam konteks rasio pajak Indonesia yang rendah.

Sosok Sri Mulyani yang memiliki jaringan kuat dengan institusi tersebut dapat menjadi modal penting bagi pemerintahan Prabowo dalam mendapatkan dukungan kebijakan dan pendanaan dari Bank Dunia.

Keberadaan Sri Mulyani di dalam kabinet juga bisa meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata investor asing, yang sangat bergantung pada stabilitas kebijakan ekonomi makro untuk menjaga iklim investasi.

Kendati demikian, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, kinerja apik Sri Mulyani tetap diharapkan terus eksis dan didorong pula untuk memperbaiki segala hal minor terkait pengelolaan anggaran negara selama ini. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?