Dengarkan artikel ini:
Dalam politik, nilai kesetiaan mempengaruhi manuver politik di masa mendatang, yakni soal keputusan politik apa yang akan diambil. Bagaimana konteks kesetiaan politik dalam kaitannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan presiden terpilih RI, Prabowo Subianto?
“People work together when it suits them. They’re loyal when it suits them. They love each other when it suits them, and they kill each other when it suits them.” – Orell, Game of Thrones (2011-2019)
Dalam dunia Game of Thrones (2011-2019), kesetiaan politik menjadi komponen utama yang menentukan hidup dan mati para karakter. Kita bisa melihat bagaimana para bangsawan seperti Stark, Lannister, dan Targaryen, mempertaruhkan nyawa demi kesetiaan pada raja, keluarga, atau tujuan mereka.
Bagi Eddard Stark, kesetiaan pada keadilan dan kebenaran membuatnya berakhir di tiang eksekusi, sementara Tyrion Lannister harus memilih antara keluarga atau ambisinya sendiri untuk bertahan hidup.
Namun, kesetiaan dalam dunia Game of Thrones tidak selalu stabil. Karakter seperti Jaime Lannister bahkan mengkhianati sumpahnya sebagai Kingsguard untuk menyelamatkan penduduk dari kegilaan Raja Aerys Targaryen.
Daenerys Targaryen pun merasakan pahitnya penghianatan ketika beberapa pengikutnya berbalik melawannya. Pengkhianatan ini menunjukkan bahwa kesetiaan bisa menjadi senjata bermata dua dalam politik, dan bergantung pada siapa yang paling bisa memberikan keuntungan di saat tertentu.
Kesetiaan politik di Indonesia memiliki dinamika yang mirip meski dalam konteks yang berbeda. Para politikus sering kali bergabung dengan partai atau koalisi demi keuntungan praktis, bukan karena keyakinan ideologis yang kuat.
Pada masa kampanye, kesetiaan ini diuji, dan sering kali muncul fenomena perpindahan dukungan di menit-menit terakhir. Seperti halnya di Game of Thrones, aktor politik di Indonesia harus hati-hati dalam menjaga aliansi, karena kesetiaan dapat berubah sewaktu-waktu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang pentingnya kesetiaan politik. Mengapa kesetiaan politik menjadi penting dalam dinamika politik Indonesia? Lantas, apa kaitannya dengan sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan presiden terpilih RI, Prabowo Subianto?
Menyoal Kesetiaan Politik
Pragmatisme dan idealisme adalah dua faktor utama yang mempengaruhi kesetiaan politik, dan keduanya sering berkonflik dalam keputusan-keputusan politik. Pragmatisme menekankan pada hasil nyata dan pendekatan praktis, sementara idealisme fokus pada prinsip moral atau tujuan jangka panjang yang lebih besar.
Dalam konteks politik, kesetiaan yang didasarkan pada pragmatisme cenderung lebih fleksibel. Aktor politik mungkin mengubah aliansi atau kebijakan jika hal tersebut memberikan keuntungan strategis yang lebih besar, baik secara personal maupun kelompok.
Di sisi lain, idealisme mendorong kesetiaan politik yang lebih kaku dan bertahan lama, karena prinsip-prinsip moral atau ideologis yang dipegang teguh. Mengacu pada tulisan “Political Loyalty and Ideology: The Interplay of Principles and Pragmatism” dari Daniel J. Levinson, kesetiaan politik sering kali bergeser ketika aktor politik menghadapi dilema antara mempertahankan prinsip atau mencapai tujuan jangka pendek.
Levinson menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, pragmatisme cenderung lebih dominan karena sistem politik yang penuh dengan kompromi dan tuntutan praktis. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pragmatisme sering kali muncul ketika para pemimpin harus bekerja lintas partai demi mencapai kesepakatan legislatif. Dalam “The Political Pragmatism of American Leaders” oleh John Mearsheimer, dijelaskan bahwa pragmatisme politik adalah alat penting bagi pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasaan dan mencapai hasil nyata.
Presiden Barack Obama, yang awalnya datang dengan idealisme “Hope and Change,” harus menyesuaikan kebijakannya, seperti dalam reformasi kesehatan (Affordable Care Act), untuk mendapatkan dukungan bipartisan.
Meski begitu, idealisme dapat memainkan peran penting dalam menjaga kesetiaan politik, meskipun pengaruhnya dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi politik tertentu.
Pertama, idealisme sering kali didasarkan pada prinsip moral dan nilai-nilai yang kuat. Ketika individu atau kelompok politik berpegang pada prinsip-prinsip ini, mereka cenderung lebih setia pada tujuan atau visi yang lebih besar.
Kedua, idealisme dapat membantu membangun identitas kolektif di antara anggota partai atau kelompok, menciptakan rasa persatuan di antara anggotanya. Terakhir, idealisme sering kali memberikan motivasi dan inspirasi bagi individu untuk terlibat dalam politik, mendorong mereka untuk berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Lantas, bagaimana persoalan kesetiaan politik ini mempengaruhi dinamika hubungan Prabowo dan Jokowi? Mengapa ini bisa mempengaruhi proses transisi pemerintahan menuju pemerintahan Prabowo?
Beda Setia Jokowi vs Prabowo
Jokowi dan Prabowo adalah dua tokoh politik Indonesia yang mewakili pendekatan kesetiaan politik yang berbeda dalam lingkungan mereka. Prabowo cenderung lebih idealis, mengedepankan prinsip dan visi jangka panjang dalam kepemimpinannya, serta mampu membangun loyalitas yang kuat di kalangan para pengikutnya, termasuk Fadli Zon, Ahmad Muzani, dan Sufmi Dasco Ahmad.
Sejak awal berdirinya Partai Gerindra pada 2006, Prabowo telah berhasil menarik individu-individu yang setia pada idealisme politiknya, sehingga menciptakan identitas kolektif yang kuat di partainya. Loyalitas ini terlihat dalam komitmen para pendukungnya yang tidak hanya terkait dengan kekuasaan, tetapi juga dengan visi dan nilai-nilai yang mereka anut.
Di sisi lain, Jokowi lebih dikenal dengan pendekatan pragmatis dalam politiknya, yang sering kali mengedepankan hasil konkret dan kompromi. Dalam perjalanan karier politiknya, Jokowi menghadapi tantangan dalam mempertahankan kesetiaan para bawahan, karena beberapa di antara mereka memilih untuk berpindah kubu demi mengejar keuntungan politik atau jabatan.
Mengacu pada buku Man of Contradictions dari Ben Bland, Jokowi memang dikenal sebagai sosok yang pragmatis, beradaptasi dengan berbagai situasi politik, tetapi sering kali menghadapi dilema ketika harus menjaga kesetiaan dan loyalitas di antara pengikutnya.
Situasi ini menunjukkan perbedaan mendasar antara kesetiaan yang dibangun melalui idealisme, seperti yang dilakukan Prabowo, dan kesetiaan yang mungkin lebih rapuh karena pragmatisme yang dipegang Jokowi. Meskipun Jokowi memiliki dukungan yang luas, tantangan yang dihadapinya adalah menjaga komitmen para pengikutnya dalam menghadapi dinamika politik yang terus berubah.
Kedua pendekatan ini mencerminkan bagaimana kesetiaan politik dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh pemimpin. Prabowo dengan idealismenya menciptakan loyalitas yang lebih mendalam di kalangan pengikutnya, sedangkan Jokowi, meskipun pragmatis, harus terus beradaptasi untuk mempertahankan dukungan dalam lingkungannya.
Mungkin, kutipan di awal tulisan dari Orell ada benarnya untuk sebagian orang. Boleh jadi, inilah yang sedang dirasakan oleh Jokowi menjelang akhir masa jabatannya. (A43)