Dengarkan artikel ini:
Airlangga Hartarto menyatakan mundur dari posisi ketua umum (ketum) Partai Golkar. Mungkinkah ini berkaitan dengan ‘pertarungan internal’ antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto?
“I heard it was best to keep your enemies close” – Jon Snow, Game of Thrones (2011-2019)
Pada hari itu, semua tampak bahagia. Terjadi sebuah persatuan atas dua keluarga besar. Semua pihak turut berpesta dan merayakan hari monumental itu.
Namun, tanpa disadari, hari bahagia itu berubah menjadi sebaliknya dalam waktu seketika. Pernikahan antara Edmure Tully dan Roslin Frey tiba-tiba berubah menjadi serba merah.
Bukan karena anggur yang mereka minum ketika perayaan, semua berubah merah melainkan karena pembunuhan massal yang terjadi dalam resepsi pernikahan itu. Acara pernikahan itu akhirnya dikenal sebagai Red Wedding semenjak itu.
Setidaknya, momen itulah yang disajikan oleh George R.R. Martin dalam seri buku-bukunya A Song of Ice and Fire. Di tengah periode sejarah Westeros yang disebut sebagai Perang Lima Raja, Raja Utara Robb Stark dari Winterfell berniat untuk membangun aliansi dengan keluarga bangsawan Frey.
Namun, niat baiknya itu gagal akibat Red Wedding. Frey ternyata sudah berkongkalikong dengan musuh Stark, yakni keluarga bangsawan Lannister yang sudah menguasai takhta Westeros di King’s Landing, di bagian selatan Westeros.
Alhasil, setelah mengakhiri perjuangan Stark dan keluarga-keluarga bangsawan di Utara, Lannister akhirnya memilih penguasa baru di utara, yakni keluarga bangsawan Bolton, dengan diberi gelar Warden of the North.
Namun, tampaknya penggulingan kekuasaan yang kemudian berakhir dengan peletakan penguasa baru yang lebih menurut ini tidak hanya terjadi di dunia serial televisi Game of Thrones (2011-2019), melainkan juga di dunia nyata, khususnya perpolitikan Indonesia terkini.
Mundurnya Airlangga Hartarto dari posisi ketua umum (ketum) Partai Golkar disinyalir kuat merupakan hasil dari upaya pendongkelan “takhta” tertinggi di partai berlambang pohon beringin.
Lantas, mengapa ini semua bisa terjadi? Ada manuver politik apakah di balik mundurnya Airlangga ini? Mungkinkah ini berkaitan dengan transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke presiden terpilih, Prabowo Subianto?
The Stark Uprooting of Golkar?
Red Wedding menjadi pengingat bagi siapa saja yang pernah menonton atau membaca karya-karya Martin bahwa politik-pun bisa bersifat keji. Terkadang, manuver politik bisa berujung pada pencabutan aktor politik lain dari sumber yang dimilikinya.
Kontestasi persaingan dan perebutan sumber seperti ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori permainan (game theory). Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Adam Ozimek dalam tulisannya yang berjudul “It’s Time For Some Game Theory About The ‘Game Of Thrones’ Finale” di Forbes.
Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa kontestasi politik di antara keluarga-keluarga bangsawan dalam Game of Thrones merupakan sebuah permainan, di mana setiap pemain saling berebut untuk mendapatkan poin.
Dalam situasi Red Wedding, misalnya, terdapat tiga pihak yang tengah bermain. Pihak pertama adalah keluarga Stark yang menguasai bagian utara Westeros.
Pihak kedua adalah keluarga Lannister yang menguasai bagian selatan. Sementara, pihak ketiga adalah Frey yang menguasai Riverlands, sebuah wilayah yang terletak di antara King’s Landing dan Winterfell.
Siapapun yang bisa memenangkan hati Frey akan mendapatkan poin tambahan, setidaknya dalam permainan antara Stark dan Lannister. Namun, Frey di sini juga menjadi pihak yang menentukan.
Mulanya berpihak kepada Stark, Frey akhirnya dibujuk oleh Lannister untuk berpindah kubu. Upaya membujuk ini akhirnya membuat Frey menimbang karena dia juga ingin mendapatkan poin lebih, yang mana bisa didapatkan bila berpihak pada Lannister.
Hal yang sama bisa saja juga terjadi dalam perpolitikan Indonesia. Golkar, misalnya, bisa dianalogikan layaknya Frey.
Posisi Golkar sebagai partai politik dengan jumlah kursi kedua terbanyak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, yakni setelah PDIP dan lebih dari Gerindra, menjadi sangat penting. Siapapun yang menguasai Golkar bisa mengendalikan sumber yang terbilang strategis.
Namun, siapakah pihak yang memperebutkan Golkar kini? Mengapa Golkar menjadi penting bagi mereka?
‘Perang Dingin’ Jokowi-Prabowo ala Jon Snow?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Riverlands menjadi penting baik bagi King’s Landing maupun Winterfell. Dengan menundukkan Riverlands, pemain bisa memenangkan permainan dengan sangat mudah.
Begitu juga halnya dengan Golkar. Siapa yang bisa menguasai Golkar, maka permainan juga akan menjadi lebih mudah bagi pemain tersebut.
Menariknya, Airlangga sendiri sebelumnya merupakan ketum dari partai yang merupakan anggota dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi yang mendukung Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang mana di dalam kontestasi itu juga terdapat Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi.
Airlangga ditengarai semakin dekat dengan Prabowo. Salah satu indikasi yang terlihat adalah ketika Airlangga tiba-tiba melakukan uji coba program makan siang gratis yang digadang-gadang oleh Prabowo pada kampanye lalu.
Sementara, Jokowi dinilai tengah membutuhkan partai politik setelah dirinya putus hubungan dengan partai lamanya, PDIP, yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Salah satu parpol yang disebut paling berpotensi adalah Golkar.
Di Golkar, terdapat salah satu politikus yang disebut sangat patuh dan dekat dengan Jokowi, yakni Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Meskipun juga berada pada satu KIM yang sama, berdasarkan sumber PinterPolitik.com, Bahlil bukanlah salah satu menteri yang akan dipilih oleh Prabowo. Padahal, Bahlil adalah salah satu nama yang disebut diusulkan oleh Jokowi.
Sebagai presiden yang akan berakhir masa jabatannya, Jokowi juga memiliki kepentingan, yakni melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Namun, kepentingan ini dinilai terancam karena melemahnya pengaruh Jokowi dan karena fokus Prabowo yang lebih mengarah pada kebijakan makan bergizi gratis.
Bila benar Bahlil tidak dipilih untuk menjadi menteri Prabowo, bukan tidak mungkin, pengaruh Jokowi juga akan melemah setelah dirinya lengser. Ini bisa menjadi mimpi buruk bagi Jokowi.
Bukan tidak mungkin, Golkar menjadi jawabannya. Dengan menguasai Golkar, katakanlah dengan naiknya Bahlil sebagai ketum, bukan tidak mungkin Jokowi dan Bahlil bisa menaikkan daya tawarnya terhadap Prabowo.
Bisa saja, dengan Golkar, Jokowi bisa meminta Prabowo untuk tetap memilih Bahlil. Dengan begitu, kebijakan Jokowi juga akan menjadi lebih aman dengan pengaruhnya yang terjaga.
Pada akhirnya, ini menjadi sebuah permainan yang tengah dimainkan oleh Prabowo dan Jokowi. Airlangga menjadi sosok yang sebelumnya dekat dengan Prabowo kini bisa saja digantikan dengan Bahlil yang lebih dekat dengan Jokowi.
Mungkin, seperti yang dikatakan Jon Snow di awal tulisan, menjadi lebih baik untuk membuat musuh-musuh berada di sekitar kita karena, dengan menjaga mereka dekat, pengaruh kita dan gerak-geriknya masih bisa dalam jangkauan. Bukan begitu? (A43)