HomeNalar PolitikKelas Menengah ‘Punah’ di Era Jokowi? 

Kelas Menengah ‘Punah’ di Era Jokowi? 

Dengarkan artikel berikut

Belakangan ini ramai perbincangan proporsi kelas ekonomi menengah di Indonesia yang semakin menurun. Mengapa hal ini bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Kelas menengah, kelompok masyarakat yang satu ini belakangan cukup ramai jadi perbincangan di media sosial.  

Hal ini utamanya terpantik oleh laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market bulan Juli 2024, yang mengungkap jumlah kelas menengah di Indonesia ternyata turun cukup drastis selama beberapa tahun terakhir.  

Menurut laporan tersebut, populasi kelas menengah pada tahun 2023 berjumlah 17,44 persen dari populasi Indonesia, turun dari 21,45 persen pada tahun 2019. Menariknya, data tersebut berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat rentan yang naik dari 68,76 persen pada 2019 menjadi 72,75 persen pada 2023. 

Sebagai informasi singkat, klasifikasi kelas ekonomi menengah menurut World Bank adalah masyarakat dengan pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita. Sementara, masyarakat kelas rentan adalah mereka dengan pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu per bulan per kapita. 

Temuan data ini lantas tentu memancing pertanyaan besar soal keadaan ekonomi Indonesia. Apakah ini artinya kondisi ekonomi kita saat ini sedang memburuk? Mengingat kelas ekonomi menengah sendiri merupakan tulang punggung perekonomian sebuah negara.  

Lantas, apa yang membuat kelas menengah di akhir era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini semakin tergerus? 

image

Indonesia Terlanda Efek Market Bifurcation? 

Hal yang menarik tentang kelas ekonomi menengah di Indonesia adalah ketika di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu, harapan akan kelompok masyarakat yang satu ini sempat begitu tinggi.  

Data Indonesia Middle-Class Consumer Report 2013 yang dirilis oleh Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) sempat menyebut bahwa kelas menengah Indonesia bertambah sekitar 8-9 juta orang setiap tahun. Dengan rentang penghasilan tersebut, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia tahun 2013 diasumsikan mencapai sekitar 130 juta jiwa.  

Baca juga :  BG FALL

Fenomena tersebut tentu menjadi sorotan dunia kala itu karena dianggap turut membantu Indonesia menjadi salah satu contoh negara dengan perekonomian relatif kokoh kendati alami krisis ekonomi 1998 dan krisis finansial 2008. 

Lantas, apa yang terjadi dengan kelas menengah Indonesia belakangan ini? Well, selain karena faktor-faktor umum seperti yang diungkap ekonom senior Chatib Basri, yaitu tekanan harga bahan pangan yang melonjak, daya beli masyarakat yang stagnan, dan kredit kendaraan & rumah yang tidak “friendly”, ada juga indikasi bahwa Indonesia Indonesia saat ini menderita efek market bifurcation

Will Kenton, seorang pengamat ekonomi dari Investopedia dan Kapitall Wire, menjelaskan bahwa market bifurcation adalah situasi di mana pasar terpolarisasi menjadi dua segmen, yaitu pasar kelas bawah dan pasar kelas atas. 

Dalam fenomena ini, pasar kelas menengah semakin menyusut, sehingga semakin banyak pengusaha yang menghadapi kesulitan jika target konsumennya adalah kelas menengah. Pendapatan yang diperoleh dari pasar ini pun tidak cukup untuk mengembangkan bisnis sehingga membuat banyak pengusaha mencari SDM tinggi dengan upah rendah. Hal ini lantas berdampak pada banyaknya pekerjaan kelas menengah yang memerlukan kualifikasi tinggi tetapi tidak diiringi dengan upah yang memadai. 

Keadaan ini menjadi ancaman serius bagi kelas menengah di Indonesia. Abdul Manan Pulungan, Kepala Makro Ekonomi dari INDEF, pernah mengingatkan bahwa kondisi ekonomi yang demikian bisa terjadi salah satunya karena peningkatan jumlah kelas menengah ditimpali oleh tingginya jumlah konsumsi daripada produksi.  

Padahal, seharusnya ada upaya juga dari pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan yang bisa menopang welfare dari para masyarakat kelas menengahnya. Namun, kondisi sekarang yang dirasakan sejumlah kelas menengah Indonesia tampaknya justru sebaliknya. Tren saat ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kelas menengah Indonesia kesulitan mendapatkan kepastian kepemilikan hunian.  

Tafridj dalam penelitiannya Mapping the housing needs of the urban middle class in greater Jakarta, bahkan ungkap dari 80 persen respondennya menyebut bahwa mereka hanya mampu menyewa atau mengontrak rumah karena harga rumah di Jakarta yang sudah terlalu mahal. 

Baca juga :  Gibran: Like Father Like Son

Menariknya, sejumlah pengamat kaitkan fenomena hilangnya kelas menengah akibat efek market bifurcation ini berkaitan dengan akses teknologi. Mengapa demikian? 

image

Teknologi, Kunci Bangkitkan Kelas Menengah? 

Jamie Bartlett dalam bukunya The People Vs Tech: How the Internet is Killing Democracy menjelaskan bahwa alasan mengapa perekonomian banyak negara di dunia saat ini menghadapi masalah market bifurcation adalah akibat minimnya kesempatan mengeksploitasi perkembangan teknologi. 

Kesenjangan dalam mengakses sumber ‘kekuatan’ ini telah membuat mereka yang sudah kaya menjadi lebih kaya. Oleh karena itu Bartlett berpandangan bahwa jika suatu lapangan pekerjaan mengetahui cara mengembangkan kecerdasan buatan, maka mereka dapat menjadi pemimpin industri di banyak sektor ekonomi yang berbeda ,tanpa perlu pabrik besar.  

Akibatnya, pekerjaan-pekerjaan berat yang mereka miliki bisa lebih efektif terdelegasikan ke kelas ekonomi bawah, sementara para pekerja kelas menengah bisa lebih difokuskan ke pekerjaan yang lebih terakomodasi oleh teknologi canggih, seperti posisi manajerial misalnya, yang diyakini Bartlett akan semakin banyak jika teknologi canggih berada dalam genggaman para perusahaan di lapangan pekerjaan tersebut. 

Di Indonesia, perusahaan-perusahaan dengan akses teknologi tinggi sendiri masih sangat terbatas. Kita memang memiliki beberapa perusahaan teknologi unicorn seperti Gojek dan Tokopedia, tetapi banyak startup teknologi lainnya yang gagal berkembang karena akses teknologi canggih masih terbatas. 

Oleh karena itu, salah satu kunci untuk menghindari perangkap yang menjerat kelas menengah di Indonesia bukanlah menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan saja, karena itu hanya akan memberi kelas menengah akses ke konsumerisme dan memulai masalah baru yang lebih kompleks, tetapi pemerintah pun harus mendorong permudahan akses ekosistem teknologi yang mumpuni kepada para perusahaan di Indonesia. 

Jika akses teknologi di Indonesia bisa ditingkatkan, maka kita tidak hanya akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, tetapi juga SDM yang mampu menjadi entrepreneur teknologi. Ini pada akhirnya akan salah satu penangkal perangkap market bifurcation dan dampak buruknya dalam jangka panjang. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?