Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Setelah dikabarkan akan menerima tawaran mengelola tambang, Muhammadiyah menerima respons minor mengingat narasi sebelumnya saat Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukannya terlebih dahulu. Namun, pertaruhan besar bagi kedua ormas Islam terbesar itu. Mengapa demikian?
Dipisahkan oleh qunut dan tahlil, disatukan oleh tambang, begitu lelucon satir yang muncul setelah Muhammadiyah mengikuti jejak Nahdlatul Ulama (NU) untuk menerima tawaran pengelolaan tambang. Di titik ini, “perjudian” kiranya mau tak mau dilakukan oleh kedua ormas keagamaan paling prominen di negeri ini.
Sebelum menginterpretasi lebih dalam postulat itu, elite di kepengurusan Muhammadiyah saat ini seolah terus berupaya melakukan public relation terbaik setelah sepakat turut mengelola tambang.
Itu dikarenakan, sebelum menerima tawaran, Muhammadiyah sekilas tampak menjadi antitesis NU, sebagai ormas keagamaan pertama yang sepakat mengelola tambang.
Bahkan, Muhammadiyah bisa dikatakan sempat menikmati pujian dari sebagian kalangan karena sikapnya saat itu yang tak tergiur impresi “cuan” dari eksploitasi sumber daya alam.
Kendati tak menentukan sikap pasti saat itu, Muhammadiyah tampak selaras pula dengan ormas keagamaan lain yang justru tegas menolak tawaran pengelolaan tambang seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Kekhawatiran kehilangan legitimasi moral menjadi landasan kedua sampel sikap itu, yang di kemudian waktu tak dipegang oleh Muhammadiyah.
Bahkan, di internal Muhammadiyah pun sebenarnya tak semua sepakat dengan sikap kepengurusan pusat.
Namun, Muhammadiyah, termasuk NU, kiranya memiliki justifikasi kuat untuk tetap menerima tawaran itu dengan konsekuensi yang sebenarnya cukup berisiko. Mengapa demikian?
NU-Muhammadiyah Sampel Keberanian?
Risiko memang selalu hadir dalam setiap keputusan organisasi. Terlebih, yang terkait dengan sentimen masyarakat. Akan tetapi, justifikasi tentu dimiliki oleh NU dan Muhammadiyah di mana mendasari keputusan tersebut.
Salah satu alasan normatif yang memiliki probabilitas mendasari ormas keagamaan sebagai penerima konsesi tambang adalah konsep eko-teologi.
Konsep tersebut menggabungkan perhatian terhadap ekologi dengan ajaran agama, menekankan bahwa menjaga bumi adalah tugas spiritual.
Selain tawaran dan deal tertentu di baliknya, NU dan Muhammadiyah kiranya mengambil justifikasi bahwa mereka memang memiliki kewajiban moral untuk menjadi teladan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Selain kemampuan teknis dalam pengelolaan tambang, operasional pertambangan harus dinilai secara kritis dan dikelola sesuai dengan nilai-nilai eko-teologis. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan mendorong upaya restorasi ekologi.
Ormas keagamaan, yang dipandu oleh ajaran dan nilai agama yang menekankan pentingnya menjaga alam, berpotensi untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Tentu, itu yang diharapkan.
Mereka pun memiliki peluang untuk mengadopsi praktik pertambangan berkelanjutan yang meminimalkan kerusakan lingkungan serta memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan dengan menjunjung etika yang tinggi.
Selain itu, ormas keagamaan juga memiliki kemampuan untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mereka dapat mengadvokasi praktik-praktik yang ramah lingkungan dan melibatkan komunitas lokal dalam upaya restorasi ekologi.
Dibandingkan dengan perusahaan swasta yang mungkin lebih fokus pada keuntungan, ormas keagamaan dapat dianggap lebih transparan dan akuntabel.
Hal ini dikarenakan mereka diawasi oleh komunitas mereka sendiri dan harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka tidak hanya di hadapan publik, melainkan yang paling penting, kepada Tuhan.
Lebih jauh lagi dan masuk ke ranah praktikal, pemberian konsesi tersebut mungkin bertujuan untuk memenuhi tujuan yang disiratkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Menurut politisi Partai NasDem itu, eksistensi ormas keagamaan, dengan segala kekuatannya, bisa saja mereduksi pungutan liar, ormas liar, dan para penguasa lokal yang menghambat serta menambah biaya tambahan bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui sektor pertambangan.
Namun demikian, terdapat beberapa kekhawatiran mengenai pemberian ruang bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang. Utamanya, yang bersifat politis dan mempertaruhkan marwah ormas keagamaan itu sendiri.
No Turning Point?
Pada praktiknya, kendati memiliki landasan moral yang kuat untuk menjaga alam, tidak ada jaminan pasti bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan akan selalu mematuhi prinsip-prinsip eko-teologi.
Terdapat risiko bahwa kepentingan ekonomi dan politik dapat lebih dominan daripada tanggung jawab ekologi. Terutama jika ada tekanan untuk menghasilkan pendapatan atau mencapai target tertentu serta tak berhasil melampaui kepentingan stakeholder lain di dalam ekosistem pertambangan yang telah lama eksis.
Selain itu, kekhawatiran bahwa pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan bisa menjadi alat politik kiranya tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Ketika sudah berjalan, boleh jadi mereka mungkin akan lebih rentan menjadi bumper politik atau alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan tertentu.
Risiko lainnya, adalah ormas keagamaan dapat menjadi sandera politik, baik dalam kontestasi elektoral maupun saat berhadapan dengan kebijakan pemerintah dan irisannya dengan kelompok-kelompok lain.
Pemberian konsesi tambang juga bisa menjadi transaksi, di mana keberpihakan politik atau sosial dibarter dengan akses ke sumber daya alam. Ihwal yang membuka peluang terciptanya ekosistem rasuah baru yang bisa merugikan masyarakat dan lingkungan.
Saat itu terjadi, kemudaratan dinilai akan cukup mudah terlihat dan bisa menjadi bumerang bagi nama baik ormas keagamaan itu sendiri, dalam hal ini NU dan Muhammadiyah.
Oleh karena itu, keputusan menerima tawaran untuk mengelola tambang tak berlebihan kiranya untuk dikatakan sebagai perjudian besar bagi kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Jika tak ingin aspek minor itu terjadi, kerangka regulasi yang ketat, pengawasan yang efektif, pemberdayaan komunitas lokal, dan pemenuhan literasi berkelanjutan tentang eko-teologi tampaknya menjadi kunci untuk mencapai tujuan mulia di balik keputusan tersebut.
Independensi dalam menolak deal yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat pada umumnya juga kiranya wajib diaktualisasikan oleh NU dan Muhammadiyah agar kecemasan menjadi “sandera politik” tak menjadi kenyataan. (J61)