Sebagai salah satu partai terlama, keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah berada di ujung tanduk akibat kisruh kepemimpinan yang berkepanjangan.
PinterPolitik.com
“Orang baik tidak butuh aturan yang menuntunnya untuk bersikap bertanggung jawab, sementara orang jahat akan mencari cara mengelabuinya.” ~ Plato
[dropcap size=big]K[/dropcap]isruh di internal partai, bukan hal yang luar biasa. Namun biasanya, perseteruan itu tidak sampai berlarut-larut hingga tiga tahun lamanya, layaknya yang tengah terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Baik Romahurmuzy (Romi) maupun Djan Faridz sama-sama meng-klaim dirinya sebagai ketua umum yang sah berdasarkan undang-undang.
Walau sudah berkali-kali mengupayakan islah (memperbaiki hubungan), namun dua pimpinan ini tetap bertahan hingga sekarang. Bahkan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 mendatang, gesekan dua kubu ini menjalar hingga membawa-bawa nama Menteri Hukum dan HAM (Menhukam) Yasonna Laoly.
Bila dualisme ini terus berlarut, tentu akan menghasilkan buah yang tak sedap bagi PPP sendiri. Buktinya dalam survei Polmark terbaru, perolehan suara PPP memperlihatkan jumlah yang tidak sampai empat persen. Artinya, di tahun 2019 nanti, bisa saja para kader PPP harus gigit jari karena tidak mendapatkan kursi di DPR RI.
Bahkan para pengamat politik juga memprediksi kalau 2019 adalah akhir dari keberlangsungan partai yang dibangun sejak zaman Orde Baru ini. Keputusan Partai yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan, membuat banyak kader di akar rumput memilih pindah haluan karena merasa suaranya tidak lagi didengar partai.
Survei PolMark Prediksi PKS, Nasdem dan PPP Nyungsep di 2019 https://t.co/4wyrO1ADpy
— teropongsenayan.com (@tropongsenayan) October 24, 2017
Ketakutan ini juga sempat dilontarkan Djan Faridz, ketua umum PPP versi Muktamar Jakarta yang menuding Romi menghancurkan masa depan partai mereka. Sebaliknya, Romi – ketua umum PPP versi Muktamar Surabaya, malah yakin kalau di bawah pimpinannya, PPP akan mampu masuk sebagai partai tiga besar di 2019 mendatang. Bagaimana sebenarnya kekuatan kedua ketua umum ini?
Awal Konflik Bermula
“Saya dipermalukan, martabat saya sebagai ketua umum DPP PPP dan Menteri Agama, meluncur ke bawah hingga ke garis nadir. Akibat itu, jabatan Menag saya tinggalkan. PPP pecah terkeping dua, karir politik hancur.” ~ Suryadharma Ali
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu, tidak hanya membelah pilihan masyarakat tapi juga Partai Politik (Parpol). PPP salah satunya. Perseteruan berawal dari sikap ketua umum mereka, Suryadharma Ali (SDA) yang mendukung Prabowo Subianto ketika mencalonkan diri sebagai presiden.
Keputusan SDA membawa PPP merapat ke Partai Gerindra ini ternyata tanpa sepengetahuan pengurus partai, sehingga ia mendapat respon keras dari 27 perwakilan DPW PPP. Salah satunya Romi yang kala itu menjabat sebagai Sekjen PPP. Terlebih secara sepihak SDA pun melepaskan jatah kursi ketua DPR untuk diberikan ke Demokrat agar mau bergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Ketika pengadilan menetapkan SDA bersalah dalam kasus korupsi dana haji, Romi pun langsung bertindak dengan memecat SDA dan langsung menggelar Muktamar di Surabaya. Saat itulan, secara aklamasi Romi diangat menjadi ketua umum. Tindakan sepihak Romi ini tentu membuat marah SDA. Namun dengan islah, kepengurusah PPP dikembalikan lagi seperti semula.
Namun ketika SDA berada dibalik jeruji, Djan Faridz, fungsionaris PPP yang mendukung koalisi dengan Gerindra, menggelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Jakarta dan mendaulat dirinya sebagai ketua umum baru. Namun Romi tak kalah cerdik, ia langsung mencatatkan keputusan Muktamar Surabaya ke Kemenhumkam, sehingga yang dinyatakan sah oleh pemerintah hanya PPP kubu Romi.
Romi dan Djan Bagi PPP
“Kunci dari kepemimpinan yang sukses saat ini adalah pengaruh, bukan otoritas.” ~ Ken Blanchard
Sebagai ketua umum partai, baik Romi maupun Djan memiliki pengikutnya sendiri-sendiri. Dua kubu ini saling berebut pengaruh, baik ditingkat pusat maupun akar rumput. Tak jarang, keputusan keduanya bertolak belakang sehingga sering menimbulkan kebingungan para kader diberbagai perwakilan.
Sebagai tokoh muda PPP, Romi yang berusia 43 tahun, memiliki latar keluarga Nahdlatul Ulama (NU) yang kuat. Ayahnya, HM. Tolchah Mansoer merupakan Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sementara ibunya, Dra. Hj.Umroh Machfudzoh adalah pendiri Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), Ketua DPW PPP DIY 1985-1995, dan Ketua Umum PP Wanita Persatuan 1993-1998.
Romi juga merupakan cucu dari Menteri Agama ketujuh, KH M. Wahib Wahab. Walau sejak kecil bercita-cita menjadi santri, namun peruntungan membawanya sebagai seorang politikus. Pada tahun 1998, Romi bergabung di Garda Bangsa PKB Bandung yang berafiliasi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski begitu, Romi memilih bergabung dengan partai ibunya, PPP, dan langsung menjadi orang kepercayaan SDA.
Walau tidak memiliki latar belakang NU yang kuat, namun kiprah Djan Faridz di PPP tidak bisa dibilang sedikit. Pria Betawi berusia 67 tahun dari pasangan Mohammad Djan dan Aisha Djan ini, merupakan pemilik PT Dizamatra Powerindo, kontraktor swasta mantan mitra Pertamina dan pernah menjadi anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Karir politiknya diawali pada 2004, dengan menjadi anggota NU. Ia sempat terpilih sebagai anggota DPD RI mewakili Jakarta, berkat dukungan NU dan sebagian besar pengusaha. Sebagai anggota DPD, dia mengutamakan pelestarian budaya Betawi dan meningkatkan kemampuan ekonomi Jakarta,dengan mengutamakan pasar tradisional.
Pada 17 Oktober 2011, Djan terpilih sebagai menteri perumahan rakyat di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dia juga didapuk sebagai kepala cabang NU Jakarta, periode 2011-2014. Djan yang pernah dituduh korupsi oleh ICW, memiliki andil cukup besar dalam pembangunan kantor pusat PPP.
Adu Kekuatan Hukum
“Masing- masing orang mempunyai hak untuk mengajukan pandangannya tentang itu. Yang sana bilang begitu, yang sana bilang begini, ya enggak masalah.” ~ Yasonna Laoly
Tepat 15 menit sebelum pendaftaran partai peserta Pemilu ditutup, Sabtu (14/10), PPP kubu Romi datang ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pendaftaran itu juga dilengkapi surat kepengurusan partai yang sah dari Kemenhukam. Selain itu, mereka turut membawa surat keputusan badan hukum terbaru dari Mahkamah Agung (MA).
Surat kepengurusan partai yang diberikan Kemenhukam kepada kubu Romi inilah yang tengah dipermasalahkan oleh kubu Djan. Sebab tanpa surat tersebut, kepemimpinannya di PPP dinyatakan tidak sah, sehingga tidak dapat mendaftarkan diri di KPU. Akibatnya, Djan akan menuntut Kemenhukam ke meja hijau.
Bahkan Djan mengatakan kalau perseteruannya mengenai PPP, bukan lagi dengan kubu Romi tapi pada Yasonna Laoly. Atas alasan apa? Bagi Djan yang juga diamini oleh para pendukungnya, perpecahanan di tubuh PPP banyak dikipasi oleh pihak eksternal partai. Menurut mereka, Yasonna Laoly yang merupakan kader PDI Perjuangan sengaja memihak pada Romi yang lebih condong ke pemerintah.
Djan curiga karena saat Romi mencatatkan kepemimpinannya, Kemenhukam langsung mengesahkan. Sementara saat Djan memenangi kasasi di Pengadilan Tinggi pada 2015, Kemenhukam seakan mengulur waktu dan menunggu Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Romi pada 2016. Hingga akhirnya, Juni lalu, Pengadilan Tinggi kembali mengukuhkan keputusannya yang mengesahkan Romi sebagai ketua umum PPP.
PPP: Elektabilitas Partai Tergantung Kerja Nyata dan Konsolidasi Internal @arsul_sani #BergerakBersamaRakyat https://t.co/f4e7tccDaR pic.twitter.com/FDq2N4vj7m
— DPP PPP (@DPP_PPP) October 6, 2017
Kabar yang ditiupkan oleh kubu Djan menuding kalau PDI Perjuangan sengaja memecah belah PPP, sebagai aksi balas dendam karena PDI Perjuangan tidak diberi jatah di kursi ketua DPR. Desas desus lainnya menyatakan kalau perpecahan ini memang sengaja diciptakan untuk menggoyang partai oposisi, sebab ketika itu bukan PPP saja yang terpecah, tapi juga Golkar. Apakah benar begitu?
Faktanya, baik PPP dan Golkar pada akhirnya memang menyeberang dari oposisi menjadi koalisi pendukung pemerintah. Namun menurut Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, berlarut dan melebarnya konflik di partai Ka’bah ini memperlihatkan kalau para kubu yang bertikai belum mampu bersikap dewasa.
Sebagai partai yang telah berdiri sejak 1973, seharusnya PPP mampu mengelola masalah yang terjadi di internalnya. Pandangan yang sama juga datang dari Direktur Indo Barometer M. Qodari yang mengatakan kalau permasalahan intinya hanyalah akibat perbedaan kepentingan dan penafsiran terhadap benar-salah, boleh tidak boleh dalam dinamika politik yang harus segera dicarikan solusi oleh para elitnya.
Baik Siti Zuhro maupun Qodari sama-sama memprediksi kalau suara PPP di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 nanti tidak akan mampu mencapai tujuh persen, seperti yang mereka miliki pada 2014 lalu. Di sisi lain, setelah mendapatkan legitimasi hukum dari peradilan dan pemerintah, Romi yakin kalau PPP mampu bangkit kembali dan meraih posisi tiga terbesar di 2019 nanti.
Ia juga menyatakan dirinya rela bergerilya ke berbagai kota dan daerah, untuk melakukan konsolidasi setelah 33 bulan lamanya berkonflik. Di sini kepemimpinan Romi diuji, mampukah dalam waktu kurang dari 20 bulan sebelum Pemilu, ia mengembalikan kepercayaan kadernya yang hengkang? Bila tidak, tentu akan menjadi senjata empuk bagi kubu Djan untuk mendepaknya dari kursi ketua umum. (R24)