HomeNalar PolitikDensus Tipikor, Tarik Ulur Jokowi

Densus Tipikor, Tarik Ulur Jokowi

Kecil Besar

Awalnya memberi lampu hijau pada wacana pembentukan Densus Tipikor, tapi kini Presiden Jokowi seolah berbalik arah. Ada apa?


PinterPolitik.com  

[dropcap size=big]B[/dropcap]eberapa bulan belakangan, topik pembentukan Datasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang berada di bawah wewenang Kepolisian mengaduk emosi dan respon khalayak. Sempat timbul dan tenggelam, kini wacana pembentukan Densus Tipikor sudah membelah suara DPR, bahkan istana, mengenai siapa yang setuju atau tidak dengan pembentukannya.

Berdasarkan data yang diperoleh, pihak yang mendukung pembentukan Densus Tipikor adalah Ketua DPR Setya Novanto, Fraksi Partai Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Sementara pihak yang lantang menolak keberadaan Densus Tipikor adalah Jusuf Kalla, Partai Gerindra, dan PPP.

Menariknya, di awal wacana pembentukan Densus Tipikor, selain Polri sebagai lembaga pengusul, Presiden Jokowi dan KPK sendiri bahkan memberi lampu hijau. Melalui salah satu wakilnya, Laode M. Syarif, KPK menyatakan jika pihaknya mendukung keberadaan Densus Tipikor dan memastikan tak akan tumpang tindih dengan kinerja dari tim tersebut.

Namun ketika pembahasannya semakin memanas, Jokowi  melalui juru bicaranya, Johan Budi, malah menarik kembali dukungannya tersebut. Ditemui di Hotel Borobudur pada Kamis (16/10) lalu, Jokowi berkata bahwa pembentukan Densus Tipikor masih sebatas usulan. Ia bahkan masih akan membahas keberlanjutan pembentukan Densus Tipikor dalam ratas (rapat terbatas) minggu depan.

Pertanda apa ini? Apa maksud dari perubahan sikap Jokowi yang tiba-tiba tersebut?

Anggaran dan Kompleksitas Wewenang

Selain menimbulkan pro kontra, pembentukan Densus Tipikor juga terbelit kritik atas anggaran dana yang mencapai Rp. 2, 6 triliun. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai, ada sejumlah kejanggalan terkait anggaran dalam pembentukan Densus Tipikor.

Kejanggalan tersebut dilihat dari tidak adanya rincian kebutuhan dalam penegakan hukum. Adery, salah satu peneliti MaPPI FHUI menyatakan jika Kapolri ‘tak terlalu’ membutuhkan angaran sebesar Rp. 2,6 triliun untuk membentuk Densus, karena sebetulnya Polri sudah memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor). Menurutnya, jika Kapolri ingin menunjukan komitmen dalam memberantas korupsi, seharusnya anggaran tersebut digunakan untuk memperkuat Dittipikor yang sudah ada.

Baca juga :  PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

Selain itu, wewenang yang terjalin dalam Densus Tipikor, Dittipikor, dan KPK akan semakin rancu. Selama ini, Kapolri hanya menjejal hubungannya dengan KPK lewat pembagian besaran nilai uang yang dikorupsi. Selebihnya, baik KPK dan Kapolri membuat tameng UU KPK sebagai jalan keluarnya. Hal tersebut belumlah cukup efektif dan transparan membuka tumpang tindih kewenangan serta bagaimana distribusi anggaran Rp. 2,6 triliun dialokasikan pada lembaga-lembaga yangterkait .

Relasi PDIP dan Polri

Di balik kompleksitas wewenang dan anggaran selangit, peran PDIP dalam pembentukan Densus Tipikor layak pula ditelaah. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri diketahui memiliki hubungan yang erat dengan lembaga kepolisian. Hal ini terekam lewat kedekatannya dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan.

Budi Gunawan dan Megawati (Sumber: Antara)

Hubungan tersebut mulai terjalin saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI dan Budi Gunawan sebagai ajudan Presiden. Dari sana, Megawati berupaya menempatkan BG pada posisi berpengaruh di Kepolisian RI, salah satunya sebagai calon Kepala Kepolisian pada 2014 lalu. Namun secara mengejutkan, Presiden Jokowi memilih sendiri ‘orang kepercayaannya’, yakni Tito Karnavian.

Dari peristiwa ini, secara tidak langsung Megawati sebenarnya masih memiliki akses ‘menguasai’ BIN dan lembaga Kepolisian, melalui BG. Dari sini aroma keeratan PDIP dengan pembentukan Densus Tipikor menjadi semakin nyata. Apalagi di bangkulegislatif sendiri, Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PDIP telah menyatakan dukungan pembentukan Densus Tipikor

Tentu saja memiliki ‘akses kuasa’ kepada Kepolisian dan BIN memiliki keuntungan yang banyak. Apalagi jika Densus Tipikor berhasil dibentuk, maka wewenang menangkap koruptor bisa diintervensi oleh pihak yang ‘memegang’ kedua lembaga tersebut. Dengan demikian, ini bisa jadi celah bagi Megawati atau siapapun itu, untuk keluar dari kejaran kasus BLBI atau kasus korupsi besar lainnya yang akan dibuka dan ‘menghadang’.

Baca juga :  The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Strategi Tarik Ulur Jokowi

Jika asumsi di atas benar adanya, dapat dikatakan, jika Densus Tipikor kandas, maka PDIP juga ikut terombang-ambing. Sebab kepentingan PDIP tak kecil dan sedikit di dalam wacana pembentukan Densus Tipikor.

Tarik ulur yang dilakukan Jokowi juga sangat menarik, sebab lewat pernyataan yang berubah inilah ia seakan hendak memperlihatkan kekuatannya. Dibentuk atau tidaknya Densus Tipikor, Jokowi tetap bisa memegang para koruptor lewat KPK. Namun, jika Densus kandas dibangun, maka PDIP dan para pendukungnyalah yang akan kelimpungan.

Sementara itu, DPR sebagai pihak yang menggagas anggaran senilai Rp. 2,6 triliun juga harus melewati persetujuan Presiden Jokowi untuk meluluskan ‘amunisinya’ tersebut. Akan sangat percuma jika pembentukan Densus Tipikor didukung oleh mayoritas anggota DPR dari banyak fraksi partai, tapi tak disetujui oleh presiden. Bagaimana pun juga, keputusan akhir terbentuk atau tidaknya tetap berada di tangan Presiden.

Anggota Tim Pansus Hak Angket KPK (sumber: istimewa)

Kepentingan DPR dalam pembentukan Densus Tipikor juga tak sedikit. Beberapa Parpol yang mendukung Densus Tipikor tentu akan mendapat amunisi tambahan untuk ‘melenyapkan’ KPK setelah membentuk Pansus KPK. Bagi Pansus KPK, keberadaan Densus Tipikor akan dianggap lebih ‘kuat dan efektif’ dalam melindungi kepentingan mereka.

Namun sekali lagi, keputusan akhir tetap berada di Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Melalui strategi tarik ulur dukungannya pada Densus Tipikor, membantunya melihat dengan jelas pihak mana saja yang mendukung dan menolak. Dari pro kontra yang ada, ia jadi lebih mudah mencatat apa kepentingan, keuntungan, dan kebuntungan yang akan diperoleh pihak-pihak tersebut. Dari strateginya ini pula terlihat bagaimana kejelian yang dimiliki sang Presiden. (Berbagai Sumber/A27)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Nadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Kondisi sektor pariwisata Indonesia kini berada di titik nadir. Di balik layar kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, para pelaku industri perhotelan sedang berjuang bertahan dari badai krisis.

Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Dengan Perang Dagang yang memanas antara AS dan Tiongkok, mungkinkah Presiden Prabowo Subianto bidani kelahiran Gerakan Non-Blok 2.0?

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Di Balik Kisah Jokowi dan Hercules?

Tamu istimewa Joko Widodo (Jokowi) itu bernama Rosario de Marshall atau yang biasa dikenal dengan Hercules. Saat menyambangi kediaman Jokowi di Solo, kiranya terdapat beberapa makna yang cukup menarik untuk dikuak dan mungkin saja menjadi variabel dinamika sosial, politik, dan pemerintahan.

Prabowo dan Strategi “Cari Musuh”

Presiden Prabowo bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin (7/4) kemarin. Mengapa Prabowo juga perlu "cari musuh"?

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

The Game: PDIP Shakes the Cabinet?

Pertemuan Prabowo dan Megawati menyisakan tanda tanya dan sejuta spekulasi, utamanya terkait peluang partai banteng PDIP diajak bergabung ke koalisi pemerintah.

Saga Para Business-Statesman

Tak lagi seputar dikotomi berlatarbelakang sipil vs militer, pengusaha sukses yang “telah selesai dengan dirinya sendiri” lalu terjun ke politik dinilai lebih ideal untuk mengampu jabatan politis serta menjadi pejabat publik. Mengapa demikian?

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....