HomeHeadlineMenguak Siasat Yusril Tinggalkan PBB

Menguak Siasat Yusril Tinggalkan PBB

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Yusril Ihza Mahendra memutuskan untuk berhenti dari posisi ketua umum (Ketum) PBB dalam sidang Musyawarah Dewan Partai (MDP) pada Sabtu, 18 Mei 2024, kemarin. Mengapa keputusan Yusril ini tepat secara kalkulasi politik?


PinterPolitik.com

“Whoever wore ‘em before just wasn’t thinkin’ big enough, I’m ‘bout to leave ‘em with ‘em” – Drake, “0 to 100 / The Catch Up” (2014)

Pada 1 Juni 2014, saat masyarakat Indonesia memperingati Hari Pancasila, seorang penyanyi rap (rapper) kelahiran Kanada, Drake, merilis sebuah single berjudul “0 to 100 / The Catch Up”.

Dalam lagu itu, Drake menceritakan bagaimana dirinya sebagai seorang rapper memulai dari bawah hingga akhirnya menjadi seorang bintang yang sukses. Pria asal Toronto itu juga menuangkan cara berpikirnya soal dunia musik rap.

Drake menganalogikan musik rap layaknya sepasang sepatu. Menurutnya, banyak orang mengatakan bahwa siapapun bisa cocok secara ukuran untuk mengenakan sepatu itu.

Namun, ternyata, Drake merasa sepatu itu terlalu sempit. Pada akhirnya, rapper asal Kanada itu memutuskan untuk meninggalkan sepatu itu dan berpikir secara lebih luas dan lebih jauh ke depan.

Analogi sepatu ini tampaknya juga cocok untuk menggambarkan sebuah dinamika yang berlangsung di perpolitikan Indonesia, khususnya dalam PBB. Pasalnya, Yusril Ihza Mahendra memutuskan untuk menanggalkan posisi ketua umum (ketum) partai tersebut setelah kembali menjabat sejak tahun 2015 silam.

Keputusan ini diambil saat PBB menggelar sidang Musyawarah Dewan Partai pada Sabtu, 18 Mei 2024, lalu. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Afriansyah Noor mengatakan bahwa Yusril kini ingin berdiri sendiri dan bekerja secara profesional.

Namun, keputusan Yusril ini tentu meninggalkan sejumlah tanya. Bukankah partai politik (parpol) adalah kunci sukses untuk karier politik di kancah perpolitikan Indonesia, mengingat hanya parpol lah yang bisa mengusung kandidat dalam pemilihan presiden (pilpres)?

Lantas, mengapa Yusril memutuskan untuk meninggalkan PBB yang dulu didirikannya pada 17 Juli 1998 silam? Mungkinkah ada siasat lain yang tengah disiapkan oleh Yusril?

Menyoal Ambisi Politik Yusril

Layaknya Drake yang mengembangkan kariernya dalam dunia musik rap, para politisi-pun ingin memiliki karier politik yang baik. Inilah mengapa ada banyak pertimbangan bagi seorang politikus untuk menentukan arah manuver politiknya.

Inipun juga berlaku bagi Yusril. Dalam beberapa kesempatan, Yusril bahkan mengejar sejumlah kesempatan untuk mendapatkan jabatan publik yang bisa meningkatkan karier politiknya.

Dalam Pilpres 2024, Yusril secara terbuka bahwa dirinya siap bila menjadi calon wakil presiden (cawapres) untuk Prabowo Subianto. Bahkan, dalam sebuah acara diskusi pada 17 Oktober 2023 di Jakarta, Yusril mengatakan bahwa dirinya sudah siap menjadi cawapres sejak tahun 1999.

Inipun sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Gordon S. Black dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Political Ambition: Career Choices and the Role of Structural Incentives. Black menjelaskan bahwa setiap politisi pasti memiliki mimpi atau motivasi untuk mengincar jabatan politik yang lebih tinggi.

Yusril sendiri memiliki pengalaman panjang di sejumlah posisi-posisi pemerintahan. Pada tahun 1999, misalnya, Yusril pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada tahun 2001, Yusril kembali menjabat di posisi yang sama tetapi dengan nama fungsional yang berbeda, yakni sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Tidak berhenti di situ, Yusril kembali menjabat sebagai pembantu presiden, yakni sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004-2007.

Dengan pengalaman panjang ini, menjadi wajar apabila Yusril menarget jabatan politik yang lebih tinggi, misalkan sebagai wakil presiden (wapres) atau, bahkan, sebagai presiden di masa mendatang.

Namun, dengan berhenti menjabat sebagai ketum parpol, bukankah kesempatan itu semakin menipis? Mengapa malah meninggalkan PBB bila ingin jenjang karier politik yang lebih tinggi di masa mendatang?

Sudah Saatnya Yusril Tinggalkan PBB?

Parpol sebenarnya bisa dibilang merupakan modal penting bagi politisi. Bagaimanapun, modal ini bisa ditransformasikan menjadi modal politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan politik tertentu.

Mengacu ke penjelasan Kimberly Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital, parpol merupakan salah satu modal yang masuk dalam kategori modal institusional. Modal ini bisa ditransformasikan dari bentuk dukungan parpol hingga ideologi parpol yang sejalan dengan politisi yang maju di sebuah pemilihan.

Bila benar parpol adalah salah satu modal politik penting, mengapa lantas Yusril melepaskannya begitu saja? Untuk menjawab pertanyaan itu, muncul sebuah pertanyaan lanjutan: apakah modal itu bisa menjadi nilai tambah atau tidak?

PBB sejak berdiri pada tahun 1999 telaha mengikuti setidaknya enam kali pemilihan umum (Pemilu), yakni pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024. 

Namun, dari enam pemilu itu, PBB hanya sempat mendapatkan kursi di dua pemilu pertamanya. Pada empat pemilu selanjutnya, PBB gagal memperoleh suara yang cukup untuk lolos ke DPR RI.

Tidak hanya itu, sejak Pemilu 2009, PBB secara konsisten mengalami penurunan perolehan suara yang signifikan. Pada tahun itu, PBB mendapatkan jumlah suara sebanyak 1,86 juta suara.

Namun, di tahun 2014, suara PBB menurun menjadi 1,82 juta suara. Penurunan-pun terus terjadi di tahun 2019 dengan hanya memperoleh 1,09 juta suara.

Penurunan drastis justru terjadi di Pemilu 2024. Jumlah suara PBB bahkan tidak menyentuh angka satu juta lagi, melainkan hanya 484 ribu suara, menempati urutan ke-16 dari 18 partai nasional yang menjadi peserta pemilu.

Di saat pamor PBB yang terus menurun, pamor Yusril sebagai tokoh nasional bisa dibilang masih konsisten tinggi. Pada Pemilu 2019, misalnya, Yusril masih mendapatkan perhatian tinggi dari masyarakat dengan menjadi bagian dari tim hukum pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin.

Di Pilpres 2024, nama Yusril juga masih menarik perhatian publik. Yusril menjadi ketua de facto tim hukum pasangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka di sidang sengketa pemilu yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bisa dibilang, karier politik Yusril masih panjang dengan berbagai perhatian publik dan kesempatan yang dimilikinya. Bahkan, kini, Yusril disebut-sebut bakal menjadi salah satu menteri di pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dimulai pada Oktober 2024 nanti.

Sebenarnya, keputusan Yusril untuk meninggalkan PBB ini sejalan dengan penjelasan Black di tulisannya tadi. Black menyebutkan bahwa ambisi politisi juga didugung oleh kesempatan struktural.

Bila kesempatan struktural itu ada, maka ambisi politik sang politisi akan terbentuk. Namun, bila kesempatan itu minim, maka kecil kemungkinan juga bahwa ambisi itu bisa terbangun.

Alhasil, layaknya lirik Drake di awal tulisan, Yusril-pun bisa saja tengah berpikir lebih besar daripada situasi sekarang. Boleh jadi, “sepatu” PBB kini terlalu sempit baginya yang kini tetap memiliki kesempatan politik yang lebih luas. (A43)


Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?